Memelihara Kebudayaan Daerah

Oleh : Usman Efendi.
Cukup banyak selogan kita dengar tentang pemujaan dan imbauan memelihara kebudayaan daerah sebagai aset bangsa. Dalam berbagai kesempatan, para pejabat sangat fasih mengucapkan imbauan itu. Namun ketika pernyataan para pejabat itu kita uji melalui berbagai kebijakan pemerintah menyangkut seni budaya bertolak belakang.

Kebijakan anggaran dan program-program tentang kebudayaan tidak sebanding dengan semangat melestarikan seni budaya daerah. Berbagai program pemerintah tentang budaya daerah justeru tidak menyentuh para pelaku dan pengembang kesenian daerah di basisnya.

Sudahkah para pemangku kebijakan bangga dengan budaya sendiri? Pertanyaan ini muncul tak sengaja ketika membuka-buka arsip berita pertikaian Indonesia-Malaysia soal asal-usul kerajinan batik. Hikmahnya, pemerintah kemudian menetapkan setiap 2 Oktober kita peringati sebagai Hari Batik Nasional.

Pertikaian yang dipicu klaim Malaysia atas produk kebudayaan Indonesia sudah berkali-kali terjadi. Pelajaran apa yang bisa kita petik? Peristiwa itu mungkin bisa dilihat sebagai pelecehan terhadap kedaulatan budaya Indonesia. Namun di sisi lain menuntut kita untuk instropeksi, khususnya pada pemangku kepentingan terhadap pemeliharaan seni budaya daerah.

Sebelumnya, mari kita telisik beberapa kasus klaim budaya oleh Malaysia yang pernah mengundang kemarahan bangsa Indonesia itu. Salah satunya batik. Malaysia mengklaim batik merupakan asli produk kesenian Malaysia.

Klaim itu spontan mengundaqng kemarahan masyarakat Indonesia yang dialamatkan kepada negeri jiran itu. Pejabat, politisi, saya, Anda dan semua orang ikut melepas emosi dengan berapi-api. Setiap kali Malaysia melakukan provokasi menjengkelkan itu, darah kita mendidih, seolah paling terusik rasa nasionalisme sebagai bangsa.

Begitu pula ketika Malaysia mengklaim tari Tor-tor dan Gordang Sambilan milik mereka. Protes keras pemerintah dan masyarakat Indonesia pun kembali dilancarkan. Sampai saat ini, tercatat sudah 23 kali Malaysia memicu ketegangan dengan klaim-klaim kontroversialnya. Sekadar mengingatkan, beberapa klaim Malaysia sebelumnya atas budaya Indonesia adalah, batik, Tari Pendet, lagu Rasa Sayange, wayang kulit, gamelan, angklung dan lainnya.

Di antara klaim-klaim itu, yang paling konyol adalah kasus Tari Pendet. Tari khas asal Bali ini pertengahan tahun 2009 muncul dalam iklan ‘Enigmatic Malaysia’ di Discovery Channel. Pemerintah dan masyarakat berang, kemudian melayangkan surat protes ke Malaysia.

Malaysia memang nekad, bahkan bisa dibilang meremehkan. Sudah jelas-jelas penciptanya orang Bali, Wayan Rindi, masih juga Malaysia berkelit tari yang memiliki kandungan spritual seperti Pendet tak bisa dimonopoli oleh manusia maupun bangsa tertentu.

Alasan lain, Rindi yang menciptakan Tari Pendet penyambutan sekitar tahun 1950 itu tidak mematenkannya. Belakangan terbukti, penari dalam iklan wisata Malaysia yang direkam sekitar tahun 2005-2006 itu, gadis Bali bernama Lusia dan Wiwik. Pemerintah Malaysia pun dengan rasa malu menyampaikan permohonan maafnya.

Kurang lebih sama. Tor-tor dan Gordang Sembilan yang nyata-nyata milik masyarakat Mandailing, Sumatera Utara diusulkan didaftarkan sebagai warisan budaya Malaysia. Meski akhirnya Malaysia juga berkelit, klaim budaya kontroversi itu bukan tindakan resmi negara, toh emosi bangsa terlanjur terbakar.

Instropeksi
Bila persoalan itu semata-mata dilihat dari sudut pandang pemiliknya, Malaysia memang keterlaluan. Apalagi tindakan yang sama terulang berkali-kali. Seolah memang ada unsur kesengajaan dan terkesan melecehkan. Seperti anak nakal yang sedang iseng mengganggu temannya, Malaysia berkali-kali memancing kemarahan bangsa Indonesia. Bila persoalan itu dilihat dari sudut pandang pelestarian budaya Mandailing sebagai warisan budaya, kita harusnya malu karena Malaysia lebih peduli untuk mendata aset budaya yang berkembang di tengah rakyatnya, sekalipun hal itu bukan budaya lokal asli.

Harus kita akui, apresiasi Malaysia terhadap budaya cukup tinggi. Negeri itu menyediakan anggaran yang cukup bagi upaya pelestarian budaya yang berkembang di tengah rakyatnya. Apresiasi Malaysia terhadap budaya (diwujudkan melalui kebijakan anggaran), pastinya dengan alasan kemanfaatan yang cukup kuat. Salah satu alasannya, budaya dengan segenap kearifannya dianggap sebagai pemersatu warga.

Sekarang, setelah kita pernah melepaskan semua emosi kemarahan kita kepada Malaysia atas nama kebanggaan kita sebagai bangsa yang memiliki ragam kebudayaan yang bernilai tinggi, selanjutnya bagaimana? Benarkah kita bangsa yang bersyukur dan bangga memiliki warisan kebudayaan daerah yang kaya seni tradisi?

Reaksi keras menyikapi klaim budaya oleh asing merupakan sikap tegas kita menunjukkan pada dunia: kita adalah bangsa yang sadar menjaga warisan kebudayaan leluhur. Kesadaran itu harusnya tercermin dalam kepedulian nyata untuk membina dan melestarikan budaya.

Pemerintah bisa menjabarkan kepeduliannya melalui kebijakan anggaran pembinaan maupun program apresiasi kesenian asli daerah. Bukan cuma statemen keras, namun harus merealisasikan upaya pembinaan kebudayaan nasional. Harapannya, dengan pembinaan yang memadai akan menumbuhkan motivasi masyarakat maupun kalangan generasi muda yang bangga dengan kebudayaan sendiri.
*) Penulis peminat masalah sosial dan budaya

Close Ads X
Close Ads X