Membatasi ‘Serangan Udara’ Capres –

Fenomena politik akhir-akhir ini sungguh menggelitik. Kesalahan penggunaan istilah “Calon Presiden” (Capres) saja sudah salah kaprah, di mana istilah tersebut seharusnya adalah untuk pasangan calon yang sudah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Istilah “Bakal Capres” saya kira lebih tepat.Kalau hanya sekedar istilah saya pikir lebih baik akan puas dengan melabeli diri sendiri dengan “Saya Presiden partai A, Presiden partai B, dan seterusnya”. Bahkan Sudjiwo Tedjo puas dengan melabeli dirinya “Presiden Jancukers di dunia twitter”

Tapi itulah politisi, sikap percaya dirinya lebih mirip arogansi dengan mendahului ‘takdir’ dari KPU. Secepat mungkin menamakan dirinya “Capres” lengkap dengan sederatan langkah ‘mencuri’ waktu kampanye lebih dini melalui iklan di media. Tentu saja yang paling banyak adalah lewat frekuensi udara yaitu televisi, “serangan udara” adalah istilah yang biasa dipakai untuk hal ini.

Saya sendiri sangat tergelitik namun miris, saat penggunaan media televisi dimonopoli oleh pemilik statiun TV tersebut. Baru-baru ini lucunya, Partai Hanura yang tergolong kecil kursinya di parlemen, berani mengusung tunggal pasangan bakal capres dan cawapres Wiranto dan Hary Tanoe. Walaupun tanpa survei politik yang matang, deklarasi tersebut secara langsung dan live di statiun TV miliknya.

Padahal sesuai UU Pilpres No 42 tahun 2008, seharusnya ketika partai tersebut memperoleh angka di atas 20 persen dari total Pemilih Pemilu Legislatif baru bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Bahkan biasanya, walaupun sudah di atas 20 persen, partai masih menjajaki koalisi dengan partai lain untuk memperkuat dukungan politik dan basis masa.
Dari fenomena tersebut setidaknya ada tiga problem penting masalah politik dan berbangsa kita. Pertama, masalah kepemimpinan di mana saat ini sedang krisis kepemimpinan. Selain karakter tersebut, niatan proses sebagai pemimpin juga terus bergeser, dari yang seharusnya diusung oleh rakyat, saat ini justru bakal capres itu atas kehendak sendiri sebagai ketua partai yang akhirnya mempengaruhi gerbong strukturnya meligitimasi jalan untuk menjadi pemimpin negeri. Proses kedekatan batin antara pemimpin dengan rakyat ataupun sebaliknya dalam kehidupan berbangsa saat ini jarang dirasakan, yang ada hanya pendekatan programatik dan birokratis.

Kedua, cara memperoleh kepemimpinan sendiri saat ini bergeser dari yang seharusnya meraih simpati rakyat melalui kerja nyata, mulai berubah distorsi dengan cara yang sangat instan yaitu iklan. Iklan hanya dibuat di studio dengan background masyarakat yang membutuhkan disertai testimoni yang tidak nyata untuk dukungan.

Diputar berulang-ulang di televisi, dengan biaya iklan yang dimanipulasi karena milik sendiri agar publik masyarakat menilai seolah-olah bakal capres tersebut telah melakukan sesuatu. Padahal cuma sekali di studio lalu, diputar berulang-ulang. Sambil santai si bakal capres memantau hasil survei yang didongkrak dari iklan serangan udara itu.
Ketiga, untuk menciptakan pemimpin yang berkualitas, undang-undang kita tidak memberikan dukungan untuk itu. Dalam UU Pilpres No. 42 Tahun 2008 misalnya, partai kecil yang tidak memenuhi elektoral treshold cukup susah untuk mengajukan calon, calon independen tidak dimungkinkan, sehingga yang akan terjadi adalah hegemoni elit partai yang berkongkalikong kembali berkuasa. Jadilah bentuk rezim dari masa ke masa, rezim yang jauh dari hati dan uluran tangan rakyat.

Aturan yang lain misalnya, dalam aturan KPU tentang Kampanye Calon. Dimana iklan saat ini sebelum Pemilu dilangsungkan, tetap dibolehkan dan tidak ada sanksi. Dampaknya, bakal capres itu akan terus melakukan kerja instan dan terus menipu masyarakat dari layar kaca. Masyarakat tentu saja dirugikan dalam hal ini.
Selain itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) misalnya, tidak bisa membatasi iklan yang belum jelas realitasnya di lapangan, fiktif yang seolah-olah dijadikan nyata. Dari sisi biaya kampanye dan frekuensi publik juga tidak dibatasi, sehingga aspek pertarungan pemilu fairness atau berimbang menjadi pudar. Hanya elit partai yang mempunyai media televisi saja yang akan menguasai frekuensi publik udara untuk mempengaruhi publik agar menang Pemilu 2014.

Ironis memang, di mana secara pagar moral dan kerangka hukum kita, jaminan kualitas pemimpin yang bagus tidak bisa dilahirkan. Lihat saja, saat ini bakal capres seperti Aburizal Bakrie (ARB) telah penuh iklan di televisinya, Wiranto dan Harry Tanoe juga di televisinya, Prabowo hampir di semua tivi. Berapa uang yang mereka kelaurkan hanya untuk popularitas di udara?

Oleh karena itu, dalam momentum menjelang Pemilu saat ini, KPU harus tegas dan jelas membatasi jumlah kampanye yang fairness. Pertama untuk menciptakan keseimbangan, kedua untuk menyelamatkan masyarakat dari ‘pembodohan’ iklan yang dibuat di studio itu. Revisi aturan KPU terkait dengan kampanye perlu dilakukan. Selain itu, juga aturan terkait dengan pembatasan dana kampanye juga harus direalisasikan, agar penentuan pemimpin kita tidak didasarkan pada seberapa besar bakal capres punya modal.

Selain itu, KPI yang sudah berganti dengan komisioner baru semoga dapat membawa semangat dan kebijakan baru untuk melawan politik praktis dalam kekuatan media dalam bentuk serangan udara. Hal ini lagi-lagi tidak sehat ketika terus diteruskan, tanpa kebijakan pembatasan agar bermbang dan tanpa lemahnya saksi yang ada. Sasarannya bukan hanya bakal capres yang beriklan, namun media yang dimonopoli oleh bakal capres dengan kepemilikan modalnya.

Akhirnya, saya berharap, kualitas demokrasi kita akan meningkat dan berkualitas. Namun kekhawatiran saya sebaliknya, yang dapat menurunkannya adalah, kampanye serangan udara yang tidak ada batas, “daratan yaitu realita masyarakat ditinggalkan” pertarungan menjadi tidak teratur dan terkontrol, pencitraan menjadi raja dari cara kampanye, modal masih menjadi syarat utama menjadi pemimpin, dan dampaknya?

Rakyat yang masih dibodohi, dan terus menjadi korban kebohongan janji pemimpin saat berukuasa di negeri ini. Semoga ada perbaikan revolusi cara meraih kursi kepemimpinan dalam berpolitik dan berbangsa kita.

Oleh : Apung Widadi

Penulis Analis Politik Independen, Alumni Universitas Diponegoro.

Close Ads X
Close Ads X