Melestarikan Budaya Sumut Melalui Ulos

Oleh : Seli Alfianti

Sebagai masyarakat Indonesia, tentunya sudah tidak asing lagi dengan ulos yang merupakan kain khas suku batak. Kain ulos menjadi warisan turun temurun masyarakat suku batak. Berawal dari pencarian orang-orang batak yang hidup di daerah pegunungan, untuk memberikan kehangatan akan dinginnya udara pegunungan mengantarkan ulos menjadi hasil kerajinan seni budaya, yang sarat dengan arti dan makna.

Selama berabad-abad perempuan batak menenun dengan alat tenun tradisional. Kain tenun ulos ini selalu digunakan dalam setiap upacara, kegiatan dan berbagai acara dalam adat suku batak. misalnya untuk perkawinan, kelahiran anak, sampai acara kematian. Ulos begitu memikat dengan berbagai warna alam yang didominasi hitam, merah, biru atau putih serta ragam tenun dari benang emas atau perak.

Kain ulos ini mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi produk busana fashion dan mode. Corak tenun tampil elegan berpadu dengan kain yang ringan agar mudah digunakan, membuat para desainer menunjukan kelihaiannya mengolah kain tradisional dalam wujud busana. Selain itu, agar pengrajin ulos tidak memudar diperlukan pelatihan demi mendukung pengembangan tenun ulos.

Namun, jika penenun ulos semakin tahun semakin berkurang maka produksi kain ulos semakin sedikit. Harus diakui seandainya generasi muda ingun mengetahui dan mempelajari seni budaa batak, tidaklah semudah yang dibayangkan. sungguh banyak lembaga atau komunitas berkesenian yang siap menampung minat dan bakat putra-putri mereka di bidang seni dan budaya.

Sandra Niessen, seorang ahli antropologi dari Belanda, mengatakan kain ulos semakin punah karena sedikitnya jumlah penenun. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa jumlah penenun yang aktif sangat sedikit dan penenun yang aktif tersebut sudah lanjut usia.

Bahkan sekarang, penjualan kain ulos didominasi oleh ulos yang dihasilkan dengan mesin, dengan harga yang rendah. Sandra juga mengatakan bahwa menenun ulos sekarang diindentikan dengan kemiskinan, banyak ibu yang malu dan tidak ingin jika anaknya menjadi penenun seperti dirinya.

Menurut Maroker Siregar salah seorang pakar tenun ulos di Desa Huta Nagondang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, jenis-jenis ulos yang sudah tidak diproduksi antara lain jenis ulos Batak yang pada zaman dahulu biasa dikenakan di kalangan bangsawan.

Ada pula kain ulos yang pada zaman dahulu digunakan sebagai pakaian sehari-hari,tetapi tidak banyak lagi dipakai karena harganya terlalu mahal.

Kepala Dinas Pariwisata dan kebudayaan Tapanuli Utara, Gibson Siregar mengatakan masyarakat etnis Batak kini lebih memilih ulos yang dikerjakan dengan mesin dari pabrikan yang harganya lebih murah.

Bahkan sudah sejak lama masyarakat banyak beralih menggunakan tenun songket dari Padang, Sumatera Barat, dan Palembang, Sumatera Selatan. Songket dipilih karena harganya lebih murah dan warnanya banyak yang cerah. Sementara motif ulos yang asli cenderung gelap.

Agar kebudayaan tetap terjaga dan terus dilestarikan maka produk yang dihasilkan tidak memudar. Salah satu cara mengatasinya dimulai dari diri sendiri, seperti meningkatkan kesadaran bahwa ulos tenun batak adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang mempunyai nilai budaya yang tinggi dan harus dilestarikan.

Cara lain adalah pemberdayaan kain ulos khusus generasi muda agar mempelajari teknik menenun dan motif-motif asli ulos batak. Marilah kita generasi Indonesia mulai mencintai dan melestarikan budaya bangsa, di samping menikmati budaya dari luar.

Jangan sampai anak cucu kita tidak mengenal dan melestarikan keanekaragaman budaya kita, apalagi sampai tidak mengetahui budaya asli kita sendiri.

*) Penulis Adalah Alumni FKIP UMSU

Close Ads X
Close Ads X