Medan, Antara Realita dan Penghargaan

Oleh : Sagita Purnomo

Tahun 2017 lalu dapat dibilang sebagai periode manis bagi Kota Medan karena berhasil menerima sejumlah penghargaan bergengsi. Adapun penghargaan yang berhasil diperoleh Medan tahun ini diantaranya 9 penghargaan sekaligus dalam Rating Kota Cerdas Indonesia (RKCI) 2017, Indonesia Attractiveness Award (IAA) untuk kategori Kota Terbaik Indonesia 2017 dan Kota Terbaik Per Region Sumatera (September).

Walikota Medan, Dzulmi Eldin, juga berhasil menerima penghargaan dari Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, sebagai penyelenggara Gowes Terbaik (Februari).

Sementara di bidang ekonomi, Walikota Medan juga sukses menyabet penghargaan International Council for Small Buniness (ICSB) City Awards. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi dan upaya yang telah dilakukan Walikota dalam upaya membantu serta memajukan UMKM di Medan.

Koleksi penghargaan ini tentu saja patut diapresiasi dan dibanggakan, penulis pribadi sebagai warga Kota Medan merasa senang bercampur heran atau sejumlah penghargaan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan realitanya ini.

Warga Kota Medan pasti tahu betul seberapa banyak persoalan klasik yang belum mampu diselesaikan oleh pejabat kota. Mulai dari buruknya kondisi infrastruktur, pelayanan birokrasi yang penuh KKN, masalah sampah dan kebersihan lingkungan, hingga aksi kejahatan yang semakin mengkhawatirkan.

Harus Bangga?

Dalam satu ajang, Kota terbesar ketiga di Indonesia ini sukses meraih 9 penghargaan sekaligus dari Rating Kota Cerdas Indonesia (RKCI) 2017 di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, pada Senin (11/12) lalu.

Adapun kesembilan penghargaan itu masing-masing kategori Kota Besar dengan Rating Lingkungan Cerdas (Smart Environment), Kesiapan Infrastruktur (Infrastructure Readiness), Mobilitas (Smart Mobility), Ekosistem Teknologi Finansial, Ekonomi Cerdas (Smart Economy), Ekosistem Inovasi, Ekonomi Kompetitif, Sosial Cerdas (Smart Social) dan Kesehatan Cerdas (Smart Health).

Sebagai warga yang setiap hari merasakan dampak permasalahan klasik Kota Medan, penulis merasa bahwa panitia dan surveyor telah keliru dalam melakukan penilaian. Harusnya penilaian dilakukan lebih selektif dan objektif karena jika dicek kelapangan secara langsung dan meminta pendapat warga kota mengenai masing-masing kategori penghargaan, tidak satupun yang mendapat nilai positif dari mayoritas masyarakat.

Terkhusus untuk kategori smart city, Kota Medan dinilai mampu mengkolaborasikan antara sistem informasi dan teknologi dalam pelayanan birokrasi. Namun kenyataannya bisa kita lihat sendiri bagaimana gapteknya pelayanan administrasi di Kantor Camat maupun Kelurahan setempat yang rata-rata masih menggunakan sistem manual. Begitu juga dengan pelayanan informasi website resmi Pemko Medan yang sama sekali tak mengalami inovasi dan modrenisasi berarti.

Jangankan untuk mendapatkan rincian dana APBD Medan, mencari beberapa Perda, terutama Perda Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Retribusi Bidang Perhubungan, sampai saat ini belum dapat diunduh dan terpublis. Kondisi ini sangat berbeda dengan Kota Bandung yang secara de facto telah jauh lebih unggul dalam penerapan teknologi informasi (smart city) dalam pelayanannya.

Terkhusus penghargaan kota terbaik yang diterima Medan beberapa bulan lalu, ini paling banyak disoal baik oleh masyarakat maupun anggota dewan. Salah seorang anggota DPRD Medan, Anton Panggabean, mengatakan bahwa Kota Medan masih terdapat begitu banyak kekurangan seperti kriminalitas yang tinggi hingga sektor pariwisata yang belum baik, sehigga belum waktunya bagi Medan untuk mendapat penghargaan tersebut.

“Sekarang indikatornya apa? Resapan air berkurang, drainase tidak berfungsi, jalan masih banyak rusak, infrastruktur lainnya juga carut-marut, bahkan sampah ada di mana-mana. Jadi yang mana dinilai? Objek wisata yang bisa kita tonjolkan mana? Istana Maimun aja kurang terawat. Bahkan, tindak kejahatan seperti begal di kota ini semakin marak. Semua gak ada acuan, jadi kita pun heran. Mungkin penilaian pusat dengan penilaian kita itu berbeda, tapi kalau kita lihat secara umum, sepertinya belum layak kita menerima itu,” tegas Anton (Analisadaily.com)

Sebanyak apapun simbolis atau trofi penghargaan yang diterima, jika warga kota tidak merasakan dampak positif (perubahan) atas apresiasi tersebut, semua akan percuma. Warga Medan tidak memerlukan penghargaan atau piala apapun, yang dibutuhakan adalah keseriusan, pembuktian dan kerja nyata Pemko Medan dalam merealisasikan selogan Medan Rumah Kita yang paling dibangga-banggakan itu. ***

*) Penulis adalah Alumni UMSU

Close Ads X
Close Ads X