Manajemen Mutu yang ‘Cengli’ Obat Pungli

Oleh : Boy Anugerah
Pada 20 Oktober 2016 yang lalu, dalam rapat koordinasi dengan gubernur dari seluruh Indonesia di Istana Negara, Presiden Joko Widodo mengajak seluruh aparat negara untuk mencari solusi konkret dalam pemberantasan pungutan liar (pungli) di semua lapisan masyarakat.

Pada kesempatan tersebut, presiden mengutarakan kekhawatirannya bahwasanya pungli bukan sekedar masalah kerugian negara dan kehilangan daya saing, namun yang lebih krusial adalah berurat-berakarnya pungli sebagai budaya masyarakat.

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pungli merupakan hantu nomor wahid bagi masyarakat. Adanya pungli menjadikan setiap kebutuhan masyarakat berada dalam jerat ekonomi biaya tinggi. Ketika hendak mengurus KTP, harus ada uang pelicin, memperpanjang SIM, harus ada uang capek, dan masih banyak lagi.Proses yang harusnya cepat, dibuat bertele-tele dan memakan waktu, jauh dari spirit pelayanan publik yang menjunjung tinggi efektivitas, efisiensi, dan kepuasan pelanggan.

Secara filosofis, tak ada bedanya antara pungli dengan korupsi, sama-sama perilaku yang tidak cengli (baca: adil). Jangan sekali-kali kita terjebak untuk membedakan keduanya. Upaya Presiden Joko Widodo membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) jika kita baca lebih cermat merupakan bentuk kejelian beliau sebagai pemimpin dalam memerangi korupsi di negeri ini.

Pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh KPK saja,‏ ‎tapi butuh perang total yang melibatkan seluruh masyarakat. Pungli yang notabene menjadi momok bagi keseharian masyarakat diyakini akan memantik semangat segenap lapisan masyarakat apabila ada trigger yang diberikan oleh pemerintah untuk memberantasnya. Melalui pemberantasan pungli, kesadaran masyarakat disentil bahwa korupsi dapat diberantas dari hal-hal yang paling kecil yang ada di depan mata masyarakat.

Ada benarnya pendapat Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut niscaya berlaku korup. Tak heran jika pungli selalu melekat pada aparat pemerintah, entah itu PNS, polisi, atau tentara. Para aparat negara yang dibebankan mandat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berlaku tidak amanah dengan menyalahgunakan kewenangan yang melekat pada mereka. Mereka memungut uang dari masyarakat secara ilegal dengan segudang dalih.

Celakanya, laku korup para aparat negara ini perlahan tapi pasti seolah-olah mendapatkan pembenaran dari masyarakat yang pragmatis. Hasilnya mengerikan, lahirlah budaya permisif dan budaya tahu sama tahu yang sangat merugikan bangsa dan negara.

Tindakan pemerintah dengan membentuk Saber Pungli merupakan langkah yang patut diapresiasi. Namun demikian, agar penanganan pungli ini tidak terkesan bersifat punitif, diperlukan upaya yang bersifat preventif dan lebih mendidik, baik bagi masyarakat sebagai penerima manfaat, maupun bagi aparat negara sebagai pelaksana mandat.

Jika perang terhadap pungli hanya difokuskan kepada pemberantasan saja, yakinlah permasalahan tidak akan selesai. Pungli sudah menjadi budaya. Pemerintah akan kehabisan amunisi untuk memenangkannya.

Upaya preventif pemerintah dalam menangani pungli dapat dilakukan dengan memperketat prosedur tugas bagi semua aparat negara,‏ ‎tanpa kecuali. Di semua instansi pemerintah, baik sipil atau militer, terdapat prosedur pelaksanaan tugas.

Namun demikian, prosedur tersebut mempunyai banyak kelemahan seperti prosedur yang tidak mencakupi proses secara keseluruhan, prosedur yang tidak diperbaharui, kurang pahamnya aparat negara dengan prosedur yang ada, serta ketiadaan evaluasi pelaksanaan prosedur. Membudayanya pungli merupakan konsekuensi lemahnya penerapan prosedur dalam pelaksanaan tugas kerja aparat negara.

Kondisi ini harus segera diperbaiki oleh masing-masing instansi pemerintah. Diperlukan penerapan sistem manajemen mutu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai konsumen. Sistem manajemen mutu ini dapat dituangkan dalam bentuk pembuatan manual mutu, prosedur mutu, prosedur operasional standar, instruksi kerja, serta monitoring dan evaluasi secara komprehensif yang mengatur dan mengawal setiap pelaksanaan tugas aparat negara.

Untuk menciptakan fungsi kontrol yang baik, sudah semestinya prosedur yang melekat kepada aparat negara ini diketahui masyarakat sebagai konsumen yang diperoleh melalui proses sosialisasi masif. Dengan kondisi ini diharapkan tidak ada lagi dusta dan perilaku tipu-tipu dari aparat negara kepada masyarakat. Masing-masing pihak dapat mengontrol satu sama lain.

Untuk menciptakan sistem manajemen mutu yang tangguh dalam mengawal kerja aparat, Kementerian PANRB selaku instansi yang mengampu tanggung jawab memperbaiki kinerja birokrasi harus mampu memeluk perubahan. Kementerian PANRB tak perlu ragu untuk mengadopsi sistem yang diterapkan di sektor swasta agar proses di birokrasi lebih efisien, kerja lebih efektif, dan meminimalisasi potensi kecurangan dalam bentuk pungli.

Majunya sektor swasta tidak terlepas dari keberanian mereka mengadopsi sistem manajemen mutu berbasis ISO 9001 dan sejenisnya. Terbukti dengan penerapan sistem tersebut, tujuan perusahaan tercapai dan kepercayaan masyarakat sebagai pelanggan dicapai dengan baik.

Penerapan sistem manajemen mutu yang baik di instansi pemerintah juga diharapkan dapat melahirkan sistem kontrol internal di instansi itu sendiri. Segala bentuk kecurangan, bahkan korupsi seratus perakpun dapat dicegah apabila segenap pengawak di suatu instansi dapat melakukan fungsi kontrol satu sama lain.

Kita wajib meyakini bahwa tak semua aparat negara di suatu instansi isinya bandit. Pasti banyak juga figur-figur yang berpegang pada amanah yang mereka pegang. Figur-figur inilah yang dapat menjadi rem pencegah laku lucah dari sejawatnya.

Agar sistem kontrol ini dapat berjalan lancar, dibutuhkan whistle blower system. Setiap kecurangan dapat dilaporkan kepada pengawas internal, bahkan pihak yang berwajib untuk ditindaklanjuti. Ada efek penggentar dari sistem ini, hukuman juga menanti bagi para pelaku kecurangan.

Penerapan sistem manajemen mutu merupakan langkah paling bijak dalam penanganan pungli. Sistem ini jauh lebih komprehensif dan mendidik, baik aparat negara sendiri, maupun masyarakat. Tanpa menegasikan pemberantasan pungli yang dilakukan pemerintah saat ini, penulis khawatir bahwa pemberantasan pungli hanya dijadikan dagangan politik para penguasa, terlebih lagi republik ini sedang memasuki periode kenduri politik bernama Pilkada.

Aksi-aksi turun lapangan yang dilakukan oleh Kapolda Sumsel atau pejabat negara lainnya baru-baru ini dalam memberantas pungli yang terkesan pencitraan dan cari muka juga takkan dibutuhkan lagi. Sistem manajemen mutu jauh lebih efektif, efisien, dan komprehensif. Ini lebih mendidik semua pihak!
*)Penulis Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI, PNS di Lembaga Ketahanan Nasional RI

Close Ads X
Close Ads X