Literasi dan Kita

Oleh : Hidayat Banjar
Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).

Deklarasi UNESCO juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-kemampuan itu perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.

GLS (Gerakan Literasi Sekolah) merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah. Mereka: peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat, dan pemangku kepentingan. Semuanya di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

GLS di-launching pada 2015. Gerakan ini muncul berdasarkan survei tentang literasi, Indonesia selalu menempati ranking bawah, bahkan hampirbuncit di antara negara-negara di dunia. Merespons permasalahan itu, Mendikbud Anies Baswedan – ketika itu – me-launching GLS. Hingga saat ini, gaungnya secara perlahan merambat dari sekolah ke sekolah. Kita beharap menteri pengganti – Muhadjir Effendy – melanjutkan program GLS ini.

Membaca
Program GLS, sejatinya membangun budaya baca masyarakat yang masih relatif rendah. Kemampuan berliterasi terkait erat dengan bacaan sebagai bahan referensi dialog, berdiskusi dan lainnya. Menurut UNESCO, pembaca Indonesia yang serius 0,0001 persen saja.

Berarti cuma satu di antara seribu. Dari 250 juta penduduk Indonesia yang membaca serius cuma 250 ribu orang. Sejalan dengan itu, guru hendaknya menjadi teladan dalam gerakan ini. Guru merupakan ujung tombak dalam GLS. Sebuah tombak akan dapat bekerja maksimal hanya ketika ujungnya lancip dan tajam. Oleh karena itu, jika siswa diwajibkan membaca buku nonpelajaran minimal 15 menit per hari, sepantasnya guru lebih dari itu.

Di antara tindakan yang dilakukan guru adalah selalu menyediakan anggaran pribadi untuk membeli buku, membiasakan membawa buku di kelas, dan membiasakan diri menulis. Siswa biasanya penasaran dan bertanya tentang buku yang dibawa guru. Pada kesempatan tertentu, guru seyogianya menyempatkan diri menyampaikan isi buku yang dibaca. Dengan teknik ini, pengaruh yang dihasilkan lebih kuat.

GLS pun pada akhirnya akan menghidupan penulis dan penerbitan buku lokal. Sejarah penerbitan buku lokal (Sumatera Utara – Medan) sudah memperlihatkan hal tersebut. Jauh sebelum Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional RI No 2 Tahun 2008, tentang Buku diundangkan, penerbit-penerbit Sumut (Medan) berjaya karena mendapat kesempatan menerbitkan buku-buku pelajaran dan pengayaan yang dipasarkan di sekolah-sekolah. Kemudian muncullah Permen No 2 Tahun 2008 yang menyulitkan penerbit daerah untuk mendapatkan kelayakan pakai buku di sekolah-sekolah.

Pada Bab III Pasal Pasal 4 ayat:
Buku teks pada jenjang pendidikan dasar dan menegah dinilai kelayakan-pakainya terlebih dahulu oleh Badan Standar Nasional Pendidikan sebelum digunakan oleh pendidik dan/atau peserta didik sebagai sumber belajar di satuan pendidikan.

Kelayakan buku teks sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Dengan peraturan itu, berguguranlah penerbitan-penerbitan lokal karena selama ini “dimanjakan” dengan proyek penerbitan buku sekolah. Di masa sebelum Permen No 2 Tahun 2008 diterbitkan, penerbit-penerbit tersebut tak tertarik menerbitkan buku-buku di luar proyek pengadaan buku sekolah. Setelah Permen No 2 Tahun 2008 diundangkan, buku-buku sekolah didominasi oleh penerbitan-penerbitan berasal dari Pulau Jawa.

Proteksi
Namun sejatinya ada alternatif bagi penerbit-penerbit lokal. Bab IV, Pasal 5, Ayat (3) menyebutkan: Buku teks untuk mata pelajaran muatan lokal yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih oleh rapat pendidik pada satuan pendidikan dari buku teks yang ditetapkan kelayakan-pakainya oleh Gubernur.

Sehubungan dengan hal tersebut, Gubernur selayaknya memproteksi buku-buku yang ditulis penulis lokal dan diterbikan penerbit lokal. Untuk kondisi Sumut, penerbit lokal – yang dapat dihitung dengan jari dan di antaranya telah mati suri – perlulah mendapat perlindungan dari Gubernur.

Penulis buku muatan lokal Sumatera Utara yang selama ini telah banyak menulis buku muatan lokal dan diterbitkan oleh penerbitan resmi anggota IKAPI di Sumatera Utara. Namun sulit (tak) dapat dipasarkan ke sekolah-sekolah karena terganjal Permen No 2 Tahun 2008 tersebut.

Agar Gubernur berkenan memproteksi buku-buku pelajaran dan pengayaan, para penulis buku disarankan membuat komunitas dan kemudian beraudiensi dengan Gubernur. Paparkan ke Gubernur kondisi kepenulisan buku di Sumut (Medan) yang jika tidak diproteksi akan mati. Proteksi dari Gubernur akan membuat penerbit dan penulis lokal dapat tetap hidup dan menghidupi.

Apresiasi
Buku-buku yang ditulis dan dicetak oleh penerbit lokal sejatinya salah satu peran masyarakat dalam mensukseskan gerakan literasi bangsa. Selama ini, dikarenakan tidak adanya proteksi dari pemerintah daerah, buku-buku muatan lokal yang beredar di Sumatera Utara justru datangnya dari luar yang isinya belum tentu cocok dengan warna lokal Sumatera Utara. Keberadaan penerbit pun akhirnya matisuri. Sementara penulis lokal harus “berdarah-darah” untuk dapat menerbitkan buku pada penerbitan mayor.

Keberadaan penerbit lokal yang peduli terhadap penulis lokal dan budaya kearifan lokal perlu mendapat apresiasi. Bahkan penerbit lokal Sumut seperti CV Mitra merupakan satu-satunya penerbit dari Sumatera Utara yang mendapat penghargaan khusus dari KPK atas penerbitan buku-buku antikorupsi.

“Sejalan dengan GLS tentu diperlukan buku – pelajaran maupun pengayaan. Jika saja Gubernur berkenan memproteksi buku-buku terbitan lokal sehingga dapat dipasarkan di sekolah, kita sebagai penerbit pun tak ragu menerbitkan pula buku-buku untuk umum. Dengan demikian masalah yang terkait dominasi pengadaan buku – pelajaran, pengayaan, dan umum – tidak terjadi lagi. Sejalan dengan itu, penulis-penulis buku tidak lagi memaksakan diri menerbitkan buku secara indi dengan memalsukan ISBN (International Standard Book Number),” tutur Rimson Tambun pula. Semoga.
*) Penulis Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya serta berkhidmat dalam Penulisan Buku

Close Ads X
Close Ads X