Krisis Mutu Pendidikan Indonesia

Oleh : Hasrian Rudi Setiawan, M.Pd.I

Semangkin canggih tek­nologi maka tentunya akan semangkin mudah untuk me­ningkatkan mutu pendidikan. Namun kenyataannya tidaklah demikian, sebab faktanya ke­canggihan teknologi sering disalah manfaatkan oleh se­bagian orang.

Penggunaan tek­nologi dapat diibaratkan seperti mata pisau, jika digunakan untuk hal yang positif maka akan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun sebaliknya jika digunakan untuk hal yang negatif maka akan berdampak buruk bagi yang me­manfaatkannya.

Dengan de­­­mi­kian, dengan semangkin cang­­­gihnya teknologi, maka se­be­nar­nya tugas guru sebagai pen­didik­ menjadi lebih berat. Sebab seorang guru harus selalu me­ngarahkan peserta didiknya untuk dapat memanfaatkan teknologi secara tepat guna.

Saat ini pendidikan di In­donesia sedang mengalami berbagai masalah, diantaranya masalah rendahnya mutu pen­didikan, serta mulai terkikisnya moral anak bangsa. Banyak fenomena-fenomena yang terja­di yang merupakan indikasi dari lemahnya mutu pendidikan dan moral anak bangsa, diantaranya adalah beberapa tahun yang lalu terkuak peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di sekolah taman kanak-kanak Jakarta International School, kemudian lagi peristiwa kekerasan fisik di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, yang menewaskan seorang taruna junior, karena dianiaya oleh tujuh taruna seniornya. Belum lagi peristiwa tawuran antar pelajar yang setiap bulannya kian terjadi.

Lembaga pendidikan yang seharusnya menyiapkan ka­der-kader penerus perjuangan bangsa di masa yang akan datang, malah justru terka­dang menjadi tempat penana­man moral yang kurang baik.

Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di lembaga pendidi­kan terkadang membuat hati miris melihatanya. Hal yang sering terjadi adalah tinda­kan kekerasan fisik baik yang dilakukan oleh guru atau bahkan oleh teman sekelasnya.

Guru melakukan tindakan kekerasan kepada siswa dengan dalih ingin menegakkan disiplin kepada siswa, apakah penegakan disiplin kepada siswa harus dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Tentunya tidak. Penegakan disiplin dapat dilakukan denagan pemberian teladan yang baik kepada siswa.

Tentunya kita masih ingat ungkapan Ki Hajar Dewantara, yang menyatakan bahwa seorang guru di de­pan harus memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.

Dari ungkapan Ki Hajar De­wan­tara tersebut, bahwa se­orang guru dalam mendidik siswanya harus dengan le­mah lembut, bukan sebalik­nya dengan kekerasan. Kemu­dian kekerasan yang juga se­ring dilakukan antar sesama siswa adalah sebuah pengaruh buruk yang harus dihilang­kan dalam dunia pendidikan.

salah satu indikasi mengapa praktik kekerasan antar siswa terjadi adalah karena proses pembelajaran yang berlangsung di lembaga pendidikan hanya sekadar mengejar target pen­capaian kurikulum sehingga proses pendidikan nilai ma­kin kabur.

guru selama ini ha­nya mengutamakan transfer of know­lage dibandingkan dengan trans­fer of value. Hal yang sa­ma juga sering ditunjukkan oleh sikap orang tua, orang tua lebih senang jika anaknya pandai ini dan itu, tetapi orang tua seringkali mengabaikan dan mendorong anaknya untuk bermoral dan berakhlak baik.

Apabila proses pendidikan hanya diarahkan semata-ma­ta hanya untuk mengejar pen­­ca­paian kurikulum dan pengua­sa­­an materi pem­belajaran saja, tan­pa memperdulikan pena­naman emosional dan spiritu­al, maka lembaga pendidikan hanya dijadikan tempat/pabrik yang melahirkan produk yang miskin akan moral dan akhlak.

Sekolah memang seharusnya sebagai lembaga pendidikan formal menyiapkan alumninya sebagai orang yang siap masuk kepasar kerja, namun dengan cacatan harus dibarengi pula dengan penanaman moral dan akhlak mulia. Apa gunanya jika generasi bangsa ini pintar secara intelektual namun lemah dalam emosional dan spiritual.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus se­gera merubah mindset serta tujuan yang hendak dicapai, jika selama ini sekolah hanya mengutama­kan pencapaian aspek penge­tahuan (kognitif) saja, maka saat ini sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus menyeimbangkan antara pencapaian aspek pe­ngetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (prikomotorik).

Kemudian, baik guru maupun orang tua harus dapat selalu mengarahkan anak-anaknya untuk dapat memanfaatkan teknologi secara tepat guna, jika teknologi dimanfaatkan secara tepat guna, maka mutu pendidikan akan meningkat.

*) Penulis Dosen UMSU.

Close Ads X
Close Ads X