Korupsi Sistemik e-KTP

Di zaman yang disebut-sebut sebagai era reformasi ini korupsi malah subur kembali, bahkan uang negara yang dijarah dalam kasus e-KTP mencapai Rp 2,3 triliun.

Angka itu hanya “kalah” dari kasus Century yang diduga menghabiskan Rp 7 triliun. “Rekor” lain dalam kasus ini, jumlah anggota DPR yang diduga menerima suap ternyata paling banyak: 51 orang. Kas partai diduga ikut kecipratan. Rp 150 miliar mengalir ke Demokrat dan Golkar, dan Rp 80 miliar ke PDIP.

Ketua DPR Setya Novanto, beserta tiga orang lain, diduga merancang semua permainan ini. Membiarkan seorang politikus dengan reputasi “belang” menduduki kursi paling terhormat di DPR bukan pendidikan politik yang baik.

Publik perlu mengawal pengadilan kasus e-KTP ini agar tak sampai gembos di tengah jalan. Presiden Joko Widodo bisa mengirim pesan pada semua pihak agar tidak coba-coba mengganggu proses persidangan.

Sidang kasus korupsi e-KTP bisa menjadi tonggak penting dalam upaya membersihkan Indonesia dari korupsi. Penangkapan koruptor gencar dilakukan tapi kondisi seolah tak berubah. Vonis berat untuk semua pelaku korupsi e-KTP mungkin bisa menerbitkan kembali harapan akan Indonesia yang lebih baik.

Dalam kasus korupsi E-KTP titik persoalannya adalah pada mental para anggota DPR yang berasal dari pilihan rakyat secara langsung dimana parpol pada dasarnya menjadi kendaraan politik. Sehingga yang terjadi, para anggota DPR lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya ditambah juga mental birokrat yang lebih kurang sama. Tak ada seorang presidenpun yang mampu mengatasi mental seperti ini, kecuali hukum benar-benar ditegakkan. Kondisi ini juga diperparah dengan dengan budaya hukum yang menggunakan lembaga peradilan untuk mencari keuntungan. Alhasil, presiden maupun rakyat layaknya sebagai penonton penjarahan uang negara. Ibarat sebuah lingkaran setan, sulit memutus mata rantai prilaku korupsi karena kedaulatan rakyat pada perwakilan rakyat sudah berubah menjadi kedaulatan melakukan penjarahan uang rakyat. Budaya “penjarah” yang begitu mengental menjadikan hukum itu tumpul sebab korupsi dilakukan secara beramai-ramai. Tak heran dengan enteng mengaku tidak korupsi karena hukum memerlukan bukti dan saksi.

Pertanyaan, apakah hanya proyek e-KTP yang dirancang sedemikian rupa untuk dikorupsi? Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua proyek pemerintah, terutama yang pendanaannya murni APBN dan APBD, bahkan mungkin proyek yang didanai pinjaman atau hibah luar negeri pun, masih bergelimang korupsi yang berlangsung secara sistemik.

Korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan ini merupakan bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya. Sebab dilakukan secara sistematis dengan sistem administrasi korupsi yang amat lihai dan rapih sehingga seolah-olah tidak ada KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Mereka (koruptor) yang tertangkap tangan, umumnya belum tergolong dalam jaringan korupsi sistemik ini.

Mereka yang sudah lihai dalam ’lembaga dan administrasi korupsi sistemik’ ini tidak bakalan mudah tertangkap tangan. Maka, kemungkinan inilah penyebabnya sehinggga nyaris tidak ada efek jera dari penindakan korupsi yang sedemikian gencar dilakukan oleh KPK dan penegak hukum lainnya.

Sementara, kalau korupsi yang telah menjadi rahasia umum itu dilaporkan kepada KPK, akan sia-sia. Sebab KPK selalu minta bukti-bukti dari pelapor. KPK tampaknya lebih asyik melakukan operasi tangkap tangan atas adanya laporan dari rakyat daripada bersusah-payah memberantas korupsi secara sistematis.

Bukan berarti pemberantasan korupsi dengan operasi tangkap tangan itu tidak penting. Tetap penting sebagai tindakan shock teraphy.

Inilah tantangan bagi bangsa ini, terutama bagi KPK. Bagaimana mencegah agar korupsi sistemik tersebut jangan tetap menggurita. Sebagai contoh, alangkah lebih baik KPK bertindak sejak dini sehingga korupsi e-KTP tersebut tidak sampai terjadi. Bukankah sudah tercium adanya bau korupsi sejak proses penganggaran e-KTP tersebut? Bukankah kejahatan bisa terjadi karena adanya kesempatan? Maka, terbukanya kesempatan untuk korupsi itulah yang perlu dicegah sejak dini. (*)

Close Ads X
Close Ads X