Kontroversi e-Toll

Seperti telah kita ketahui, pada bulan Oktober akan diberlakukan e-Toll, yang bertujuan untuk mengurai kemacetan di kota-kota besar, termasuk di Sumatera Utara sendiri. Berbarengan dengan kebijakan ini, tentu penganggaran pemerintah untuk belanja negara akan meningkat.

Kebijakan pemberlakuan e-Toll 100% ini menimbulkan pertanyaan buat penulis, apakah dengan adanya e-Toll, kemacetan akan benar terurai? Isu yang beredar, jika menggunakan tenaga manusia membutuhkan beberapa menit untuk menyelesaikan registrasi masuk tol, dan jika mengunakan e-Toll hanya butuh beberapa detik.

Menurut saya, bila tujuannya untuk mengurai kemacetan, bukan masalah kecepatan dalam regestrasi melalui e-Toll saja, tapi pemerintah juga harus memberi kebijakan yang menekan laju pertumbuhan kendaraan roda empat di Indonesia. Registrasi 100% menggunakan e-Toll, kemudian infrastruktur jalan diperbaiki, namun pertumbuhan kendaraan terus meningkat tanpa ada peraturan yang menekan dan kebijakan masa guna kendaraan. Banyak kendaraan di Indonesia yang usang, tuanya melebihi umur pengemudinya, masih berkeliaran di jalanan.

Kebijakan gerbang tol otomatis (GTO) ini, menurut Konfenderasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia mengancam mata pencaharian. Yaitu dengan merumahkan 20.000 pekerja, menambah pengangguran di kota-kota yang menyelenggarakan 100% e-Toll, meningkatkan usia siap kerja untuk masuk dalam daftar angkatan pencari kerja. Jadi, menutup masalah kemacetan, dengan menambah masalah pengangguran?

Meski perihal PHK sempat dibantah oleh Direksi PT Jasa Marga namun faktanya PHK pasti akan terjadi.

ASPEK Indonesia menduga bahwa otomatisasi gardu tol hanya untuk kepentingan bisnis pihak tertentu saja. Teknologi bukan untuk mengorbankan orang/pekerja namun justru harus memudahkan. Perlu juga diingatkan kepada masyarakat untuk mewaspadai “pengambilan paksa” dana masyarakat berkedok otomatisasi gardu tol. Bahwa pemilik & pengguna kartu e-toll, tanpa sadar sesungguhnya telah “diambil paksa” uangnya oleh pihak pengelola jalan tol dan oleh bank yang menerbitkan kartu e-toll. Contoh, apabila masyarakat membeli kartu e-toll seharga Rp.50.000,- sesungguhnya hanya mendapatkan saldo sebesar Rp.30.000,-. Kemana selisih uang yang Rp.20.000? Konsumsen dipaksa untuk merelakan kehilangan dananya, bahkan sebelum kartu e-toll digunakan untuk transaksi.

Dengan tidak adanya gardu tol manual yang dioperasikan oleh pekerja gardu tol, maka secara tidak langsung pengguna jalan dipaksa untuk membeli kartu e-toll dan dipaksa untuk merelakan kehilangan uangnya dengan dalih biaya administrasi/biaya kartu e-toll. Bayangkan, berapa triliun dana masyarakat yang akan diambil paksa dari sistem full GTO ini? Kondisi ini jelas-jelas membuat pengguna jalan tol sebagai konsumen diperlakukan tidak adil, bahkan bisa dikatakan “dicurangi” oleh sistem bisnis antara perusahaan pengelola jalan tol dengan perbankan yang menerbitkan kartu e-toll. Ketika perusahaan pengelola jalan tol hanya menyediakan gardu tol otomatis tanpa menyediakan gardu manual, apakah itu bukan paksaan kepada konsumen pengguna jalan tol? Pengguna jalan tol sebagai konsumen tidak diberikan pilihan dalam mendapatkan pelayanan tol. (*)

Close Ads X
Close Ads X