Kompromi Politik Elit Kita

Di berbagai negara dan kelompok sosial, kompromi politik memiliki reputasi yang buruk meskipun semua orang mengetahui bahwa dalam kehidupan pribadi mereka, kompromi adalah suatu hal yang normal dan dilakukan secara umum dalam kehidupan bermasyarakat sebagai cara untuk menemukan solusi. Penilaian yang buruk terhadap konflik politik memiliki beberapa alasan. Alasan pertama adalah di dalam budaya politik otoriter masyarakat terbiasa dengan situasi pihak yang berkuasa memiliki kemampuan memaksakan kepentingan mereka tanpa berkompromi. Selama situasi ini dianggap sebagai cerminan kekuatan penguasa, maka kompromi politik akan segera dicap sebagai suatu hal yang bertentangan, melanggar aturan dan indikasi kelemahan.

Alasan kedua yang mengakibtkan kompromi politik memiliki citra negatif adalah karena masyarakat tidak memiliki cukup pengalaman yang terkait dengan hal tersebut. Hal ini terjadi karena sering kali peserta politik, melakukan kompromi yang tidak baik atau patut dipertanyakan. Jika sebuah partai ketika berkampanye menjanjikan untuk menghapus uang kuliah ketika mereka terpilih, namun kemudian menjauh dari klaim ini tanpa alasan yang jelas, maka oleh masyarakat mereka akan dianggap melakukan “kompromi yang malas” atau setengah hati.

Alasan mengapa mereka menjanjikan hal itu adalah karena mereka ingin memenangkan keikutsertaan individu-individu terkemuka dalam kekuasaan dan pemerintahan dan membentuk pemerintah mayoritas, mitra kondisi ini merupakan prasyarat untuk berkoalisi. Dalam sebagian besar situasi, kompromi yang malas atau setengah hati merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sasaran, nilai dan kepentingan yang diyakini peserta dengan tujuan untuk memenuhi sasaran lain yang benar-benar berbeda dan cenderung mau menang sendiri, dimana hal ini tidak dapat dibenarkan.” Sering kali di dalam politik, terutama ketika demokrasi belum benar-benar terbangun, banyak sasaran-sasaran yang digaungkan selama kampanye pemilu kemudian dikorbankan hanya karena kepentingan egoistis politisi untuk berkuasa dan menduduki jabatan.

Jika “pengkhianatan” seperti ini kemudian dinyatakan sebagai kompromi yang perlu dilakukan sementara tidak ada alasan pembenaran apapun terhadapnya, maka kompromi sebagai strategi politik seperti ini akan dipahami publik sebagai upaya menyembunyikan pengkhianatan politik. Karakter “kompromi yang malas atau setengah hati“ yang ditampilkan di hadapan publik dapat dengan segera dan secara efektif mendiskreditkan keseluruhan konsep “kompromi“ di jangka panjang, termasuk untuk penggunaan istilah itu sendiri. Seorang filsuf Jerman Leonard Nelson menyebut kompromi yang baik sebagai Realisasi Idealisme di Dunia Nyata. Bahkan perkiraan untuk mendekati sasaran ideal hanya mungkin terjadi terjadi dalam bentuk kompromi.

Setiap manusia mengetahui dari kehidupan pribadi mereka sendiri bahwa sasaran ideal tidak dapat sepenuhnya dicapai dalam kondisi dunia saat ini. Hampir semua orang juga mengetahui bahwa hal ini terjadi tidak hanya karena sumber daya yang ada terbatas sementara sasaran ideal cenderung tak terbatas. Namun di balik semua hal trivial ini, kenyataan bahwa dua peserta atau lebih tidak pernah memiliki sasaran yang benar-benar sama juga memiliki peranan yang menentukan di masyarakat. Akan selalu ada perbedaan diantara mereka, baik kecil ataupun besar, meskipun tidak ada bentuk oposisi yang meluas.

Namun demikian, perbedaan sasaran secara total juga mungkin terjadi. Karena sasaran dari beberapa orang tidak akan pernah sejalan seutuhnya, kompromi hampir selalu menjadi hal yang penting dalam bekerjasama. Dan karena bisa dikatakan bahwa pertentangan penuh antara sasaran orang-orang sangat jarang terjadi, maka kompromi hampir selalu mungkin dilakukan. Sebagai contoh, jika sebuah partai yang memenangkan kekuasaan pemerintahan dan menjadi partai mayoritas di suatu negara, selama berkampanye menjanjikan untuk melakukan moderenisasi sistem pendidikan dan membangun infrastruktur negara, partai ini tidak akan memiliki sumber daya yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dalam dua bidang yang memerlukan biaya besar ini.

Dalam situasi ini, maka partai harus mencapai kompromi antara dirinya dan berbagai kelompok pemilih, dimana, seperti halnya dengan kompromi lain, tidak membahas pilihan ‘semua atau tidak sama sekali’, namun lebih ke pembagiannya. Sebagian sumber daya ini akan diinvestasikan ke dalam sistem pendidikan dan sebagian lagi untuk pembangunan infrastruktur.

Di kedua bidang ini, pembangunannya akan jauh tertinggal dari harapan, namun kita tetap dapat melihat kemajuan-kemajuan yang dihasilkan di dalam bidang tersebut. Akan tetapi, apabila sebuah partai hanya dapat membentuk pemerintahan koalisi dengan bantuan partai lain tergantung pada sistem pemilihan yang digunakan dan hasil pemilu, maka sudah jelas bahwa kompromi harus dicapai dalam hal-hal yang terkait dengan perbedaan kepentingan dan sasaran kedua mitra ini. Hal ini hanya dapat diperoleh di dalam situasi yang saling ‘memberi dan menerima’.

Dalam skenario terbaik, masing-masing partai yang berpartisipasi dapat mencapai sasaran terpenting yang mereka harapkan, sementara mereka juga harus menerima pencapaian hasil dari pihak lain di bidang lain sebagai timbal balik, yang tidak kalah pentingnya. Sebagai contoh, jika salah satu dari dua partai menjanjikan pemilih untuk menghubungkan semua desa-desa di negara tersebut dengan jalan raya, namun setelah duduk di pemerintahan ternyata sumber daya yang ada mencukupi atau bahkan tidak ada sama sekali bagi kedua partai ini, karena mungkin formasi pemerintahan mayoritas tidak setuju dengan sasaran ini karena ada sasaran lain yang lebih penting seperti pembangunan sektor pertanian, maka kemajuan perlahan-lahan yang dapat diverifikasi yaitu menghubungkan sejumlah desa ke jaringan jalan raya diterima sebagai kompromi yang dapat dibenarkan.
Penulis adalah Dosen UMSU

Close Ads X
Close Ads X