Kisah Sel Mewah Bandar Narkoba

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly memberikan keterangan pers kepada wartawan seusai melakukan ‘teleconfrence’ dengan seluruh Kepala Lembaga Permasyarakatan (Kalapas) di Indonesia di Jakarta, Selasa (26/4). Teleconfrence tersebut dilakukan guna memberikan arahan terkait dengan penanganan narapidana dan juga penanganan sterilisasi peredaran narkoba di dalam Lembaga Permasyarakatan (Lapas). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/kye/16

Ruang sel itu memang tak seperti pada umumnya. Satu unit televisi LED terpasang di dinding, di atasnya menggantung jaringan internet nirkabel (Wifi) dan mesin pendingin ruangan (AC). Kasur pegas dengan seprai hijau lumut terbujur persis di bawah televisi.

Di sebelahnya, ada meja kayu cokelat yang di atasnya terdapat sebuah tas hitam berisi seperangkat komputer jinjing (laptop) dan beberapa telepon genggam. Di sisi lainnya, ada peralatan memasak dan bahan dapur untuk memasak makanan. Sebuah akuarium ikan air tawar, Arwana, juga jadi pemanis ruang persegi itu.

Luar biasanya, ruang tersebut dilengkapi kamera pengintai atau CCTV, untuk mengawasi siapa saja yang akan masuk ke ruang tersebut. Itulah sekelumit pemandangan tak biasa dari sebuah sel milik Haryanto Chandra alias Gombak, terpidana kasus narkotika yang kini mendekam di Lapas Cipinang Klas IA, Jakarta Timur. Chandra yang divonis 14 tahun penjara itu, tinggal di sebuah sel mewah yang dilengkapi berbagai fasilitas layaknya kamar pribadi.

Badan Narkotika Nasional (BNN) memergoki pemandangan tak biasa sel bandar narkoba di Lapas Cipinang itu melalui operasi senyap pada 31 Mei 2017.

Dalam operasi itu, BNN berhasil menangkap basah Chandra, saat tengah asyik bersama narapidana lainnya, menggunakan sabu di dalam lapas.

“Pada saat penggeledahan, tim juga menemukan aktivitas para narapidana sedang menghisap sabu di dalam ruang sel,” kata Kepala BNN, Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso saat jumpa pers di kantornya, Selasa, 13 Juni 2017.

Buwas, begitu disapa, memang tak terlalu terkejut dengan temuan ini. Sebab, kejadian ini akan terus terulang sepanjang mata rantai jaringan narkoba dengan oknum lapas tidak diputus. Menurut dia, para bandar narkoba itu tetap bisa mengendalikan peredaran narkoba dari dalam lapas, karena mendapatkan fasilitas dan dukungan melalui bantuan oknum lapas.

“Buktinya mereka bisa punya laptop, iPad bahkan bisa masang CCTV. Ini luar biasa, koordinasinya mudah. Bahkan, mereka masih aktif melakukan kegiatan jaringannya yang berada di luar lapas,” ujarnya.

Mantan kabareskrim Polri itu menegaskan, kasus sel mewah bandar narkoba ini sudah berulang kali terjadi. Karenanya, dia meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh agar penemuan lapas dengan fasilitas mewah tidak terulang lagi.

“Sudah berkali-kali kami sampaikan (laporan), tergantung sana tindakannya seperti apa. Kalau masih pembiaran, besok akan kami temukan seperti ini kalau sistem tidak diperbaiki. Tidak ada pembersihan di internal maka besok akan kami temukan lagi,” tuturnya.

Jaringan Freddy Budiman
Pengungkapan sel mewah ini berawal saat satu tim dari BNN mengamankan tersangka berinisial LLT dan A. Mereka terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) kasus narkotika dari tersangka LLT, yang merupakan penghuni Lapas Medaeng Surabaya yang ditangkap pada 2016, dengan kepemilikan 40 butir ekstasi.

LLT merupakan seorang residivis kasus narkotika dengan barang bukti kurang lebih lima gram sabu dan divonis empat tahun penjara pada 2001. Komjen Buwas menyebut, tersangka LLT ini merupakan jaringan dari Haryanto Chandra alias Gombak, napi Lapas Cipinang.

Kemudian, BNN mengembangkan penyelidikan melalui tersangka LLT dan berhasil menangkap satu tersangka berinisial A alias Xuxuyati di Surabaya. “Tersangka A merupakan pengelola keuangan milik tersangka Haryanto Chandra alias Gombok selama ia berada di dalam lapas,” ujar Buwas.

Dari situ, tim BNN bergerak melakukan penggeledahan di ruang sel di Lapas Cipinang yang dihuni oleh terpidana Haryanto Chandra alias Gombak. Ditemukanlah sel mewah dengan fasilitas pendukung mengelola jaringan dari dalam lapas.

Berdasarkan hasil pengungkapan ini, petugas TPPU BNN berhasil mengamankan barang bukti di antaranya, uang dalam rekening tersangka LLT, uang dalam rekening tersangka A, satu unit rumah di Jawa Timur, satu unit mobil minibus tahun 2017, dengan total aset senilai Rp9,6 miliar.

Selanjutnya, selain pengungkapan di Surabaya dan Cipinang, tim BNN lainnya juga bergerak mengungkap tindak pidana pencucian uang kejahatan narkoba yang berasal dari jaringan terpidana mati Chandra Halim alias Akiong.

Aset yang disita jumlahnya fantastis mencapai Rp29 miliar lebih. Akiong merupakan jaringan mafia narkoba Freddy Budiman. Akiong adalah pemasok narkotika 45 kilogram sabu dari Hong Kong yang dimasukkan dalam tiang pancang tahun 2016.

“Jaringan Akiong yang ada hubungan dengan almarhum Freddy Budiman, yang katanya menyuap oknum BNN,” kata Komjen Buwas.

Dalam kasus ini, BNN menangkap seorang berinisial CJ, seorang pengusaha money changer. Lokasi money changer milik CJ diketahui sebagai tempat penukaran dan pengiriman uang dari hasil perdagangan gelap narkotika dan beberapa bandar seperti Chandra Halim dan Loe Kok Ming, seorang narapidana di Rumah Tahanan Salemba.

Kemudian, petugas BNN melakukan pengembangan dari tersangka CJ dan berhasil menangkap satu orang berinisial CSN alias Calvin warga negara Inggris di wilayah Lokasari Blok A No.5-6 Jakarta Utara. “Yang merupakan keponakan Chandra Halim yang berperan sebagai pengelola keuangan,” ujarnya.

Menurut Buwas, tersangka CSN alias Calvin sempat melarikan diri ke Bali, China dan Hong Kong untuk menghindari kejaran petugas BNN. Upaya pengejaran ini terjadi saat BNN menangkap Akiong dan Piter Chandra pada 2016.

Dengan demikian, BNN berhasil menyita aset pencucian uang dari kejahatan narkoba senilai Rp39 miliar. Jumlah itu berasal dari penggabungan tindak pidana pencucian uang dengan rincian sitaan dari Haryanto Chandra, Angelina, dan LLT sebesar Rp9,6 miliar. Kemudian, CSN dan CJ senilai Rp29,9 miliar.

Adapun para tersangka kasus TPPU ini dikenai Pasal 137 huruf b Undang Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain itu, para tersangka dikenai Pasal 3,4, dan 5 Ayat 1 Undang Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (vn)

Close Ads X
Close Ads X