Ketika Biaya Pendidikan Mahal

Oleh : Lidia, S.Pd.I

Fenomena yang sering menjadi perbincangan di kalangan masyarakat setiap kali pergantian tahun ajaran baru salah satunya adalah mengenai persoalan mahalnya pendidikan. Hal ini bukan hanya terjadi pada sekolah swasta saja, namun juga pada sekolah yang berstatus negeri.

Akibat semangkin tingginya biaya pendidikan, orangtua harus berfikir ulang ketika hendak melanjutkan anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan orangtua harus mengukur kemampuan keuanganya dengan ke sekolah mana ia akan menyekolahkan anaknya.

Padahal men­da­patkan pendidikan yang la­yak merupakan salah satu hak bagi setiap orang yang harus dipenuhi, bukan hanya dinikmati oleh orang yang hanya mampu membayarnya saja. Karena itu, negara dalam hal ini pemerintah wajib me­nyelenggarakan pendidikan secara murah dan bahkan gratis untuk masyarakatnya.

Jika dilihat dari segi pe­lak­sanaan dan pem­biayaannya, pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab bersama. Hal ini sebagaimana yang di jelaskan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 yang mengatur tentang sis­tem pendidikan nasional, khususnya pada pasal 36 pada ayat 1 disebutkan bahwa, biaya penyelenggaraan pendidikan disatuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pe­me­rintah menjadi tang­gungjawab pemerintah.

Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa, biaya penyelenggaraan ke­giatan pendidikan pada sa­tuan pendidikan yang di­se­lenggarakan oleh masyarakat men­jadi tanggungjawab ba­dan/perorangan yang me­­­nye­leng­garakan satuan pendidi­kan. Kemudian pada ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah dapat memberi bantuan ke­pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dengan demikian, dalam sistem penyelenggaraan pen­didikan yang merupakan tang­gungjawab bersama, khu­susnya pemerintah. Hal ini bukan berarti siswa tidak dibebankan atau bebas dari kewajiban membayar biaya pendidikan, namun harus ikut serta dalam menanggung biaya yang jumlahnya ditetap­kan menurut kemampuan orang tua atau wali siswa.

Akan tetapi, pada jenjang pendidikan yang merupakan ketentuan wajib belajar sem­bilan tahun seharusnya biaya pendidikan seutuhnya men­jadi tanggung jawab pemerintah, sehingga siswa tidak dikenai kewajiban untuk ikut menanggung biayanya.

Namun dalam kenyatanya, kondisi dilapangan tidak sesuai dengan kenyatanya, sebab masih banyak ditemui sekolah-sekolah memungut biaya pen­didikan bahkan berlebih-le­bihan. Maka dikalangan ma­syarakat munculah slogan “pendidikan bermutu itu ma­hal”. Slogan tersebut muncul disebabkan untuk memvonis mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.

Tentunya hal ini sangat miris kita melihatnya, sebab bagi masyarakat yang memiliki perekonomian menengah ke bawah, mahalnya biaya pen­didikan membuat masyarakat terkadang lebih memilih untuk tidak bersekolah dengan ber­bagai alasan yang terkadang logis dirasakan. Misalnya untuk memasukkan anaknya pada tingkat pendidikan TK atau SD saya, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yaitu sekitar satu sampai dua juta rupiah.

Bagi kalangan yang berpeng­ha­si­lan rendah tentunya uang satu sampai dua juta rupiah bukanlah uang yang sedikit jumlahnya, sebab masih ada yang memiliki penghasilan perbulannya di bawah lima ratus ribu rupiah.

Hal ini ten­tunya untuk memenuhi hidup sehari-hari saja susah, apala­gi untuk biaya pendidikan. Ma­halnya biaya pendidikan ten­­tunya tidak terlepas dari be­berapa kebijakan pe­me­rintah, salah satunya ada­lah: Pertama, Penerapan ma­najemen berba­sis sekolah. Dalam prakteknya penerapan manajemen berba­sis sekolah lebih dimaknai seba­gai upa­ya untuk melakukan mo­bi­­lisasi dana. Sebab kebe­radaan komite sekolah yang merupakan bagian dari ma­najemen berbasis sekolah se­lalu disyaratkan adanya un­sur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Maka setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu mengatasnamakan sesuai keputusan komite se­kolah, yang implementasinya terkadang kurang transparan. Sebab terkadang orang-orang yang menjadi komite sekolah adalah orang-orang terdekat dengan kepala sekolah atau yayasan.

Kedua, Penstatusan seko­lah. Saat ini banyak bermuncu­lan sekolah dengan berbagai jenis label/penstatusan, seper­ti sekolah unggulan, sekolah plus, sekolah standat basional (SSN) dan sekolah berstandat internasional (SBI) dan lain sebagainya.

Hal ini tentunya salah satu bentuk strategi yang digunakan oleh pengelola sekolah untuk menarik hati masyarakat, selain untuk me­nye­kolahkan anaknya ke se­ko­lah tersebut dengan iming-iming tertentu juga merupakan sebuah strategi untuk meminta sumbangan dengan dalih me­ningkatkan mutu pendidikan.

Dengan demikian pe­me­rintah harus lebih mem­per­hatikan lebih serius terhadap biaya pendidikan yang se­mangkin lama semangkin ma­hal, jika biaya pendidikan semangkin mahal tentunya hal ini akan mempersulit ma­syarakat untuk mengeyam pendidikan. Jika masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang layak dikarenakan ma­halnya biaya pendidikan, maka bagaimana bangsa ini dapat meningkatkan sumber daya manusianya.

*) Penulis Alumni FAI UMSU.

Close Ads X
Close Ads X