Keterlibatan Publik dalam Aktivitas Pendidikan : Sinergi dan Peduli jadi Kata Kunci

Oleh : James P. Pardede
tuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan pendidikan seseorang bisa mengenal dirinya sendiri, mengetahui potensi yang ada di dalam dirinya dan pendidikan menjadi bekal bagi seseorang untuk bisa menikmati hidup yang diberikan Tuhan.

Setiap individu diberi kebebasan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, karena pendidikan adalah milik semua manusia ciptaan Tuhan. Setiap manusia memiliki hak un Dalam falsafah suku Batak ada disebutkan “Anak kon hi do hamoraon di au” (Anak adalah kekayaan bagi orangtua). Berdasar pada falsafah tersebut, suku Batak sangat gigih dalam membimbing anak-anaknya untuk bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Tak heran kalau suku Batak tersebar di berbagai penjuru tanah air.

Banyak kalangan mengakui kalau falsafah tersebut sangat dijunjung tinggi suku Batak. Itu sebabnya, setiap kali suku Batak bertemu dalam pesta atau hajatan, yang pertama kali ditanya adalah: “Berapa anakmu ? Sudah sekolah apa saja anakmu ?” Jika anak-anak mereka bisa sekolah dan berhasil menyandang gelar sarjana, maka orangtua akan bangga dan merasa paling bahagia di daerah tersebut.

Kalau anak-anaknya tidak mau sekolah, orangtua biasanya akan marah besar dan malu pada sanak family. Apabila sang anak benar-benar tidak mau sekolah, maka orangtua akan merasa sakit hati dan membiarkan sang anak begitu saja sampai kelak ia bisa menentukan pasangan hidupnya.

Masih adanya ditemukan anak putus sekolah karena banyak hal perlu ditindaklanjuti dan menjadi perhatian semua pihak. Ketika melihat ada anak yang ‘bolos’ dari sekolah, siapa pun yang melihatnya harus memiliki kepedulian untuk menanyakan kenapa berada di luar sekolah pada saat jam belajar. Publik harus dilibatkan dalam menuntaskan permasalahan pendidikan saat ini agar ke depan tidak ada lagi masyarakat kita yang tidak bisa baca tulis hitung.

Pelibatan publik menjadi salah satu kerangka strategi dalam Tiga Kerangka Strategi Kemendikbud untuk membangun bidang pendidikan dan kebudayaan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan menekankan pentingnya mengomunikasikan informasi ke publik mengenai kebijakan Kemendikbud. Adanya informasi yang baik dapat menciptakan interaksi antarpelaku pendidikan untuk menggerakkan ekosistem pendidikan.

“Apabila ada suplai informasi yang baik, dapat memperkuat pelaku-pelaku dalam ekosistem pendidikan untuk bisa berinteraksi dengan baik. Informasi yang kaya dan akurat serta komunikasi yang terjaga adalah bahan bakar bagi keterlibatan publik,” kata Mendikbud dalam Rapat Koor­dinasi Informasi, Komunikasi, dan Layanan Masyarakat Kemen­dikbud di Jakarta.

Bidang pen­didikan merupakan salah satu bidang yang paling banyak ber­kaitan dengan kehidupan masyarakat sehingga tuntutan ter­hadap Kemendikbud juga tinggi dari masyarakat. “Karena itu kita (Kemendikbud) juga yang mendapat potensi kom­plain paling besar. Kita harus serius memikirkan bagaimana melayani masyarakat,” ujarnya.

Mendikbud juga meng­ga­risbawahi tentang de­sen­tralisasi pendidikan yang sudah berjalan selama 15 tahun namun belum banyak dipahami masyarakat. Sejak desentralisasi di bidang pendidikan berlaku pada tahun 2001, sebagian otoritas pen­didikan dilimpahkan ke pemerintah daerah. Namun hingga sekarang, sebagian besar masyarakat me­ngadukan semua masalah pendidikan ke pemerintah pusat (Kemendikbud), bukan menuntut ke pemerintah daerah.

“Kita ingin mengedukasi pub­lik. Kita ingin membangun ekosistem pendidikan. Mas­yarakat seharusnya juga me­nuntut pemerintah daerah supaya lingkungan terlibat dan mendorong peningkatan mutu pendidikan,” tutur Mendikbud.

Terkait dengan pelibatan publik dalam aktivitas pendidikan, sesungguhnya sudah banyak perusahaan atau kampus yang perduli dengan peningkatan sumber daya manusia dengan menerjunkan timnya turun langsung ke lapangan. Tim yang dibentuk untuk mendata daerah disekitar kampus atau daerah di lingkungan tempat tinggal mahasiswa untuk menjaring anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena berbagai alasan.

Rektor Universitas Quality AP Tambunan dalam sebuah kesempatan menyampaikan bah­wa Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan dan pe­nga­jaran, Penelitian serta Pe­nga­bdian pada masyarkat) me­­ngi­syaratkan kampus me­miliki kepedulian terhadap pen­di­dikan.

Untuk mewujudkan Tri Dharma ini, Universitas Qua­lity melakukan pendekatan holistik dan membangun rumah belajar dengan pola kerja sama masyarakat yang ada di sekitar kampus. “Program ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa dan membentuk anak-anak yang berkarakter dan siap bersaing di masa yang akan datang,” tegasnya.

Rumah belajar, menurut Tambunan akan memberikan kursus Matematika, Bahasa Inggris dan Komputer secara gratis kepada siswa kelas 1 sampai 6 SD dan SMP kelas 7 sampai 9. Pola pengajaran yang diterapkan bervariasi antara pagi dan sore hari tergantung waktu luang dari para peserta didik yang ingin ikut belajar di rumah belajar.

Komitmen
Program rumah belajar fo­kus pada peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan kualitas lingkungan hidup dan kesehatan, peningkatan kesejahteraan eko­nomi, kesadaran hukum serta kepedulian sosial.

“Tujuan kita tidak terlalu muluk-muluk. Kita hanya ingin melahirkan generasi yang cer­das, cakap dalam berbahasa Inggris dan terampil dalam mengoperasikan komputer. Kalau salah satu dari bidang ini benar-benar dikuasai, maka generasi ke depan akan siap bersaing di pasar global, terutama di pasar Asia yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA),” paparnya.

Rumah belajar menurut Tambunan tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat, tapi juga untuk mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) serta Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang nantinya akan terjun ke masyarakat.

Rumah belajar menjadi tempat pertama mereka dalam menguji kemampuan mengajar dan mengembangkan terobosan-terobosan baru dalam pengajaran. “Ketika mahasiswa sudah menyelesaikan studinya, mereka akan menjadi terang dalam kegelapan.

Mereka akan menjadi pelita bagi orang-orang yang masih hidup dalam kegelapan, terutama yang gelap dalam dunia pendidikan. Mereka menjadi guru masa depan dan merekalah nantinya yang akan memberikan nafkah pendidikan bagi orang-orang yang terbelakang dalam dunia pendidikan,” tandasnya.

Pelibatan publik dalam ak­tivitas pendidikan harus benar-benar dimaksimalkan. Pemerintah daerah perlu lebih kreatif dalam menggugah peran serta semua kalangan agar perduli dengan permasalahan yang ada dan ikut serta mencari jalan keluarnya.

Dibutuhkan keseriusan dari semua pihak baik pemerintah, swasta, dan lembaga atau or­ganisasi masyarakat se­ba­gai penyelenggara prog­ram yang nantinya akan diim­p­lementasikan di lapangan. Salah satu lembaga pendidikan masyarakat yang dipandang efektif untuk melaksanakan program tersebut, adalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga atau organisasi keagamaan, komunitas, CSR perusahaan dan lembaga /organisasi masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian dalam pemberdayaan masyarakat me­lalui pendidikan.

Pendidikan masyarakat meru­pakan suatu proses dimana upaya pen­didikan yang diprakarsai pe­merintah diwujudkan se­cara terpadu dengan upaya penduduk setempat untuk mening­katkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih bermanfaat dan memberdayakan mas­ya­rakat.

Sejatinya pe­ngem­bangan pendidikan masyarakat merupakan upaya peningkatan kemampuan personal orang de­wasa sebagai anggota mas­yarakat yang pada gilirannya dapat meningkatkan kapasitas masyarakat sebagai investasi masyarakat dalam proses pem­belajaran pendidikan sepanjang hayat.

Program apa pun yang kita jalankan tidak akan pernah tuntas kalau dalam pelaksanaannya tidak ada komitmen. Komitmen pun masih memerlukan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Eksekusi di lapangan, sinergi antara pemerintah daerah dengan masyarakat yang langsung terlibat di dalamnya juga menjadi kata kunci sukses tidaknya sebuah program.

Kata kunci lainnya adalah ketika sinergi sudah terbangun, maka akan muncul kepedulian. Ketika kepedulian kita sudah terbangun, maka kita akan merasa bersalah ketika melihat ada orang lain yang tidak bisa membaca, tidak bisa sekolah atau tidak mendapatkan hak­nya dalam pemenuhan pen­didikannya.
*) Penulis adalah tenaga pendidik di Sekolah Nanyang Zhi Hui Medan.

Close Ads X
Close Ads X