Kesucian, Keimanan dan Pandangan Sufisme

Oleh : M Sunyoto
Kata benda lebih tua ketimbang kata sifat. Ketika lembu berkeliaran di hutan-hutan purba India, makhluk herbivora itu sekasta dengan singa, ular, tikus dan penghuni lain belantara. Begitu Hinduisme lahir, lembu pun menyandang sifat suci yang membedakannya dari binatang lain.

Konon, lembu dipandang suci pertama-tama karena hewan ini memberikan seabrek faedah bagi manusia. Lembu tidak memangsa manusia seperti harimau; mengambil hanya air dan dedaunan dari alam dan memberi susu yang segar nikmat bergizi; bahkan tinja pemamah biak itu bermanfaat buat menyuburkan tanah. Kurang lebih seperti itulah terjadinya sakralisasi obyek-obyek duniawi. Kesucian itu bertaut dengan kemanfaatan jasmani.

Sungai Gangga, yang lebih dari dua kali lipat panjang Pulau Jawa, diyakini sebagai dewi yang pemurah seperti ibu: memenuhi kebutuhan harian anak-anaknya agar mereka hidup sehat dan senang.

Penduduk yang bermukim di sepanjang tepi sungai itu memanfaatkan airnya, ikan-ikannya, arusnya dan panoramanya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, terjadilah kemerosotan mutu lingkungan. Sebagian besar sungai yang melintasi kota besar, termasuk Gangga, kian tercemar. Sampah industri, sampah rumah tangga mengotori air dan membunuh ikan-ikan di dalamnya.

Tentu Gangga masih diyakini sebagai sungai paling sakral oleh sebagian pengikut Hindu. Kesakralannya kini bertaut dengan sisi keruhanian. Ribuan pemeluk Hindu melakukan upacara keagamaan dengan mencebur dan membersihkan diri di sana.

Yang menyandang sifat suci tak terbatas pada hewan dan sungai. Manusia, bahkan siklus waktu, juga diyakini menyandang nilai-nilai kesucian. Orang Hindu Bali punya kalender hari-hari suci. Nyepi adalah salah satu hari suci dalam perspektif Hindu.

Dalam perspektif Islam, bulan puasa, Ramadhan, adalah bulan suci. Ada manfaat duniawi yang bisa diunduh dari sakralisasi siklus waktu ini. Pesan etisnya, antara lain: berempatilah pada kaum yang sering lapar; banyak-banyaklah bersedekah di bulan itu sebab bisa mendatangkan pahala lebih besar.

Agaknya, hampir semua teologi yang melandasi eksistensi agama mengenal sakralisasi obyek duniawi. Meskipun demikian, makna suci itu tak pernah universal. Yang suci menurut pengiman A belum tentu suci menurut pengiman B. Yang keramat menurut C tak harus sakral menurut D.

Sebelum ide demokrasi di­praktikkan, pertikaian berdarah-darah berulang kali meletus karena gesekan yang keras antara dua pandangan yang bertolak belakang itu. Penghancuran tempat-tempat suci, rumah-rumah peribadatan, menjadi bukti sejarah bahwa pemahaman tentang kesucian yang ditawarkan sistem kei­manan apapun tak bisa uni­versal. Demokrasi mencegah pertumpahan darah karena perang perebutan makna kesucian.

Di setiap Ramadhan, saat kaum Muslim menunaikan ibadah puasa, gairah keberagamaan tumbuh sedemikian rupa, baik dalam bentuk peningkatan ritualisme maupun pemenuhan kebutuhan keseharian. Kaum sufi selalu mengajak kaum Muslimin untuk mengutamakan sisi keruhanian dalam mengagungkan kesucian sepanjang bulan itu, tentu dengan harapan menghadirkan manfaat lahir batin bagi yang berpuasa.

Yang berperspektif lain berharap bulan puasa tak menjadi ganjalan buat mencari penghasilan. Terhadap perspektif pengiman non-Muslim, selama ini pemerintah belum dapat memenuhi keinginan mereka. Pemerintah masih me­ngeluarkan seruan resmi mengajak pemilik tempat-tempat hiburan malam untuk membatasi aktivitas mereka dengan memperpendek jam kegiatan komersial mereka.

Di tataran pemerintah daerah di sejumlah provinsi, seruan serupa juga dikeluarkan untuk dipatuhi pemiliki warung-warung makan mewah atau sederhana agar mereka membatasi jam berjualan. Dalam perspektif keindonesiaan, seruan semacam ini sesungguhnya bisa semakin diminimalisasi di kemudian hari sebab hukum positif tak mengatur soal itu, biarlah yang berjualan makanan tetap melayani kalangan non-Muslim yang tak menjalankan puasa.

Membiarkan pedagang ma­kanan berjualan di kala Ra­madhan, dipandang dalam perspektif sufistik justru menjadi parameter ke­terujian iman seseorang. Jalaluddin Rumi, dedengkot kaum sufi, pernah bertutur bahwa kualitas keimanan seseorang itu diuji terutama bukan saat berada di lingkungan kaum yang saleh tapi di lingkungan penuh godaan duniawi.

Apa yang dipersepsikan Rumi itu tampaknya pararel dengan kata-kata filsuf Yunani Kuno Socrates yang berkata: hidup yang bernilai bagi manusia adalah hidup yang teruji. Dari sini bisa ditarik analogi untuk mengukur kedalaman dan keterujian iman manusia.

Hubungannya dengan bulan suci? Ya, pengiman yang teguh tetap berpuasa dan tak akan tergoda meskipun semua restoran tetap buka dan mengeluarkan aroma harum sedap di hidungnya . Dia juga tetap berpuasa dan tak tergiur sekalipun panti-panti pijat tetap buka menerima pelanggan di bulan suci.

Akhirnya, bulan puasa pun bisa dipakai sebagai parameter untuk mengukur seberapa selarasnya antara Islam dan demokrasi. Bukankah publik sering mendengar tokoh-tokoh dan cendekiawan Islam berbicara bahwa Islam dan demokrasi itu kompatibel, rukun, cocok, pas dan harmonis? Malaysia memperlihatkan bahwa penjualan minuman keras ditoleransi, kehadiran tempat perjudian bagi kalangan elite dimungkinkan sehingga nilai-nilai demokrasi, yang antara lain ditandai oleh kepatuhan warga Muslim di sana untuk menjalankan hukum positif yang disepakati, memang tak bertabrakan dengan nilai-nilai yang diyakini kaum Muslim.

Tampaknya, yang masih menjadi ganjalan di sini adalah asumsi yang dipegang oleh sejumlah elite Muslim di Tanah Air bahwa sebagian besar kaum Muslim di Indonesia masih belum punya kedalaman dan kekuatan keyakinan yang mengakar kuat sehingga segala bentuk godaan yang bertolak belakangan dengan nilai keberagamaan perlu dijauhkan dari tatapan publik.
(ant)

Close Ads X
Close Ads X