Keluarga Butuh Tuhan untuk Anak-anaknya

Oleh : T Prasetiyo SI Kom

Modernisasi berhasil menyebarkan kebesarannya. Lebih dari sekadar sakral, gaya hidup metropolis kian merusak tatanan pola sosialisasi dan interaksi anak-anak hingga ke pelosok. Fasilitas canggih, akses cepat dan serba praktis. Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa menolak. Anak-anak pun menikmati kelezatan hidup ala “kebaratan-baratan”.

Apalagi, untuk dapat bersaing di era yang serba canggih ini, anak harus disuguhkan dengan hal-hal baru yang tengah nge-trend. Tapi, dalam penyajian tersebut orang tua harus lebih super aktif untuk mengawasi buah hatinya. Salah-salah, anak akan terjerembab dalam hal-hal negatif.

Di sini, pentingnya peranan keluarga dalam memainkan pe­rannya untuk memberikan pen­didikan kepada anak-anak mereka. Seperti yang dika­takan Hurlock, Keluarga meru­pakan training centre bagi penanaman nilai (2001:138). Namun, masih banyak orang tua yang menganggap pendidikan hanyalah berupa memasukkan anak-anak mereka ke sekolah formal atau kursus lalu selesailah tanggung jawab mereka.

Ini yang menjadi problema dalam membentuk karakter positif anak. Belum lagi kita menjumpai orang tua yang mengeluh bahwa ia tidak memiliki materi untuk mendidik anaknya sekolah. Bahkan adalagi yang menyatakan tidak ada waktu untuk menemani anaknya belajar di rumah karena sibuk dengan pekerjaan.

Pendidikan formal, sebenarnya berperan kecil dalam melakukan pen­didikan terhadap anak. Keluar­galah yang memiliki andil besar untuk memperkuat pendidikan anak. Sesuai dengan UUD Re­publik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pen­didikan Nasional dalam keten­tuan umum pasal 1 butir 16 menyatakan bahwa “penyelenggaraan pen­didikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat”.

Berbagai alasan yang dilon­tarkan kerap menjadi pemicu awal munculnya problema-problema sosial yang menimpa anak seperti, anak dipekerjakan, anak terlibat narkoba, anak melakukan tindak kriminal atau anak ingin merasakan kasih sayang hingga ia terjerumus untuk melakukan seks bebas dengan pacaranya. Semua hal buruk tersebut sudah terjadi, baik itu anak menjadi korban maupun menjadi pelakunya.

Contoh konkrit yang paling update, polisi menciduk gembong penyewaan bayi di jakarta selatan. Para pelaku yang menyewakan bayinya untuk menjadi pengemis di Ibukota (25/3). Di kota lain, Medan. Sempat seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) menawarkan diri untuk melakukan hubungan intim hanya karena ingin merasakan kasih sayang, sebab di rumah ia tidak mendapatkan perlakuan adil dari orang tuanya (pengalaman teman di Kota Medan). Atau di kota dan pelosok lainnya juga terjadi problema sosial yang serupa dan tidak terpublikasi.

Kondisi seperti ini terus menerus bergulir hingga ke generasi seterusnya. Banyak orang tua yang tahu kabar ini. Namun, angka problema sosial anak 4.1 juta anak (KPAI,2015) terus bertambah lagi.

Jhon Lock dengan Teori Tabu­larasa mengungkapkan bah­wa anak diibaratkan dengan kertas putih, orang tualah yang menggoreskan sehingga melukiskan sesuatu. Namun, sebelum mulai memikirkan akan menggoreskan apa di kertas putih itu, ada hal-hal yang harus diperhatikan para orang tua agar tidak kesusahan dalam membentuk karakter positif pada anak. Tentu saja, ini dimulai dari orang tua itu sendiri.

Pertama, orang tua harus mengenal dirinya sendiri. Ini merupakan poin penting bagi orang tua untuk bisa melanjutkan tahap agar mudah memberikan arahan kepada anak. Identitas yang dimaksud adalah siapa dan apa otoritas seorang ayah dan ibu di dalam keluarga. Lumrahnya, sosok ayah sebagai kepala rumah tangga dan bertanggung jawab mencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Ibu, memanajemen dan memonitoring rumah, mem­perhitungkan kebutuhan sehari-hari serta merawat dan mendidik anak-anak.

Nah, bagaimana jika sang ibu wanita karir atau kedua-duanya sama-sama sibuk bekerja. Di sini berlu ada ketegasan dan komitmen antara ayah dan ibu. Mereka harus siap untuk saling bergantian menyisihkan waktu ekstra selesai pulang kerja untuk sejenak berkumpul dengan anak, menemani mereka belajar dan pada liburan. Jangan biarkan kedua orang tua membuat jarak dengan anak dan lebih dekat dengan orang lain. Komunikasi, sentuhan dan perhatian kepada anak membuat mereka merasa disayangi dalam keluarga. Jika tahap ini berhasil, maka anak akan lebih mudah memahami maksud dan arahan sesuai de­ngan keinginan dari orang tua.

Kedua, sebelum memberikan arahan kepada anak untuk mela­kukan sesuatu. Sebaiknya orang tua harus melakukan hal tersebut terlebih dahulu. Pahamilah bahwa anak adalah peniru yang ulung. Tidak sesuai saja antara pesan yang kita sampaikan ke anak dengan perilaku yang kita contohkan, itu akan menjadi respon negatif bagi anak.

Ketiga,siapkanlah diri untuk menjadi tempat anak mem­berikan berpendapat dan ber­cerita atas apa yang ia lihat, rasakan dan ia alami. Kembalilah memberi feedback berupa pan­dangan yang realistis dan nasihat terhadap anak. Di sini, anak akan benar-benar nyaman diposisinya dan merasa dianggap keberadaannya. Tapi, orang tua juga harus menunjukkan sikap authoritative (seimbang, artinya tidak memanjakan atau tidak mengekangnya) dan tegas terhadap apa yang baik atau yang buruk kepada si anak. Jika tidak, anak akan melunjak, terlalu manja atau tidak terlihat tidak menghormati orang tuanya. Akibatnya, orang tua akan kewalahan sendiri dengan tingkah sang anak.

Hal-hal sederhana tersebut terkadang sering diabaikan oleh para orang tua terhadap anak, sehingga anak merasa adanya pembatas yang mengaburkan komunikasi antara anak dan orang tua. Jika ketiga poin tersebut terlakasana, maka anak siap dikomandoi oleh orang tuanya. Saat-saat seperti inilah tepat bagi orang tua untuk melukis pribadi positif pada anak.

Beda keluarga, beda pula pembelajaran yang ditawarkan ke anak sesuai dengan kulturisasi mereka. Namun, dari semua hal-hal positif yang disuguhkan ke anak, akidah atau keyakinan terhadap Tuhan adalah hal me­narik yang harus dikenalkan oleh orang tua. Baik agama Islam, Kristen Protestan, Hindu, Katolik Budha dan Kong Hu Chu memilliki Tuhan dan kitabnya masing-masing.

Sekarang, sudah berapa banyak orang tua yang mem­per­­dulikan anaknya untuk mulai memperkenalkannya. Ketika anak-anak diajarkan untuk me­nerima kebaikan salah satu agama ini, anak akan menjadi pribadi yang baik.

Sayangnya, dominannya orang tua telah mengikuti jejak Eropa yang dimuali pada abad pertengahan lalu. Mereka menganggap bahwa agama adalah penghalang ke­majuan mereka. Lantas, be­berapa pe­mikiran juga timbul seiring diberitakannya kasus seperti teroris yang berasal dari golongan pe­juang agama, adanya koruptor dari kaum yang tekun agamanya dan berkeluaran orang-orang berperilaku negatif dari para religius. Ini adalah fenomena penghancuran oknum yang sen­timen dan apatis terhadap agama. Korbannya adalah me­reka yang hanya sekedar tahu tapi tidak paham dengan agama itu sendiri. Orang tua, seyogiahnya memahami hal-hal semacam ini.

Dalam buku Toward Global Civilization, the contribution of religions, Pakar Sejarah asal Inggris, Arnold J. Toynbee di­ceritakan pernah menelitian tentang peran dinamis agama dalam kelahiran dan kehancuran satu peradaban. Hasilnya adalah bahwa aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang spritualitasnya, ia akan mengalami penurunan (Patricia, 2001:6).

Sebagai orang tua sebaiknya poin ini harus terus diterapkan pada anak agar ketika ia besar, akidah sudah mengkristal pada hatinya. Mulailah perkenalkan anak pada Tuhan, Kitab dan nabinya dengan membacakan kisah-kisah religi, membawanya ke tempat-tempat ibadah dan mengajaknya melakukan ibadah.

Mungkin, pada poin ini orang tua merasa keberatan melakukannya karena orang tua tersebut juga tidak paham agama. Tidak usah canggung untuk belajar dari guru yang berkompeten. Lalu, ajarkan lagi ke anak. Ingat, jangan sampai salah memilih guru.

Kalau penanaman keyakinan sudah diterapkan pada anak, berarti anak sudah siap untuk diajarkan hal-hal yang lainnya. Dekatkanlah anak dengan Tuhan, Ia telah menyiapkan ilmu dan aturan sesuai firman-Nya. Apapun yang ia serap nantinya, anak akan mampu memproses hal baik dan buruk. Karna anak punya akal.

*)Penulis adalah Penggiat Sosial di Bidang Anak dan Perempuan dan Tenaga Pendidik Non Formal

Close Ads X
Close Ads X