Kebebasan Berpendapat Euforia Demokrasi

Ujaran kebencian yang menyebar dalam aktivitas di media sosial muncul karena eforia kebebasan menyampaikan pendapat dalam suatu negara yang demokratis. Ujaran kebencian tersebut efektif digunakan sebagai kampanye negatif pada saat pemilihan umum. Kelompok tersebut aktif memproduksi wacana, opini, informasi, isu dan rumors melalui media sosial. Konteks demokrasi tersebut turut mempengaruhi warga dalam menyampaikan pandangan mereka di media sosial, khususnya twitter dalam menstimulasi kebencian. Dalam hal ini, terdapat dua karakteristik kunci yang menentukan.

Karakter tersebut adalah bentuk spesifik dari berbagai jenis media sosial. Pertama, setiap bentuk yang spesifik tersebut memiliki kemampuan memobilisasi berbagai dukungan jika digunakan sesuai karakter spesifiknya. Twitter merupakan jenis media sosial yang paling memberi pengaruh terhadap perubahan politik melalui pembentukan opini publik karena memiliki fasilitas tanda pagar (hashtag). Hashtag tersebut memiliki tiga kekuatan sekaligus, melokalisir topik, memfokuskan topik dan memudahkan sistem pencarian berbasis internet.

Kedua, karena berlangsung secara virtual dengan kapasitas kalimat yang terbatas, konten status dalam twitter memiliki kemampuan membangkitkan kemarahan netizen. Survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bulan November tahun 2016 (APJII, 2016) menunjukkan bahwa sebanyak 129,2 juta (97,4%) dari total pengguna internet di Indonesia menjadikan media sosial sebagai jenis konten yang paling sering diakses.

Data tersebut menunjukkan bahwa setengah lebih penduduk Indonesia atau 129,2 juta dari 256,2 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial sebagai konten yang paling sering diakses untuk memenuhi segala kebutuhan informasi mereka. Kehadiran media sosial yang digunakan sebagai sumber informasi khalayak tersebut telah mengubah pola interaksi sosial atau interaksi antar individual.

Karakteristik media sosial yang spesifik dalam iklim demokrasi yang bebas tersebut, aktivitas media sosial di Indonesia menjadi sangat dinamis. Berbagai konten yang mengandung ujaran kebencian dengan karakteristik media sosial yang dinamis tersebut menjadi perbincangan terbatas pada jenis media sosial lainnya seperti grup WhatsApp atau grup fecabook. Karena bersifat terbatas, percakapan sebelumnya yang mengandung ujaran kebencian mengabaikan etika, moral dan attitude di media sosial terbuka seperti twitter dan facebook, kembali diperbincangkan ulang dengan penuh kemarahan, mengabaikan etika, moral dan attitude.

Sehingga, moral, etika dan attitude dapat pula mempengaruhi perbincangan media sosial atau di grup tertutup. Kemarahan tersebut kemudian menjelma menjadi kerumunan virtual. Kerumunan virtual tersebut pada giliran dapat saling memicu dan mendorong produksi ujaran kebencian di media sosial.

Ujaran kebencian (hate speech) merupakan bentuk penghinaan. ujaran kebencian juga digunakan untuk menunjukkan superioritas dan dominasi. Superioritas dan dominasi tersebut tidak berhubungan langsung dengan relasi mayoritas dan minoritas.

Di media sosial, kelompok mayoritas tidak serta merta menjadi superior dan dominan terhadap minoritas. Di Indonesia, superioritas dan dominasi melalui ujaran kebencian di media sosial lebih memiliki relasi pada penguasaan akses pada pusat kekuasaan dan wacana. Oleh sebab itu, menjelang pemilihan umum berbagai ujaran kebencian tersebut bisa meningkat, masif, gencar dan terbuka menjadi perbincangan yang ekstrim. berbagai ujaran kebencian yang ekstrim dan tajam tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di India dan Ethopia.

Di Indonesia, faktor sosial masyarakat yang suka berkerumun, berkumpul dan bergunjing membahas rumor atau isu tertentu menjadi salah satu faktor ramainya aktivitas di media sosial. Ujaran kebencian itu awalnya hanya ungkapan eforia kebebasan berbicara karena iklim demokrasi dalam kanal baru di media sosial. Ujaran kebencian tersebut dinilai efektif sebagai kampanye negatif pada pemilihan umum, kemudian digunakan sebagai teknik dalam perang siber.
Penulis adalah Alumni UMSU

Close Ads X
Close Ads X