Oleh : Sagita Purnomo
Tingginya permintaan pasar akan karet ditambah dengan stabilitas industri karet, menjadi salah satu fakor melejitnya harga di penghujung tahun 2016 lalu yang membuat para petani tersenyum. Sayangnya, meski harga karet tengah naik, permintaan internasional akan karet nasional, khususnya yang berasal dari Sumut justru kurang bergairah.
Setiap tahunnya nilai ekspor karet dari Sumut mengalami penurunan yang cukup drastis. Hal ini tentu amat disayangkan mengingat harga jual karet ekspor yang cukup tinggi, harusnya petani karet di Sumut dapat memperoleh pendapatan lebih dari ekspor produknya.
Lesunya pertumbuhan ekonomi global dan faktor krisis keuangan, memberi dampak sangat besar bagi nilai ekspor karet Sumut. Bahkan harga karet nasional di pasar internasional juga sangat rendah, yakni dibawah 1.5 USD/Kg.
Singkat cerita, Indonesia khususnya Sumut belum dapat bicara banyak terkait karet di dunia internasional. Hal ini tentu amat disayangkan, mengingat produksi karet di Sumut cukup melimpah dengan kualitas baik pula.
Indonesia saat ini tengah bersaing ketat dengan Malaysia sebagai negara pengekspor sejumlah komoditi perkebunan sebagai bahan baku industri, seperti karet dan sawit.
Namun karena kurang rapinya manajemen dan perencanaan jangka panjang, sepertinya Malaysia akan berada jauh diatas Indonesia sebagai negara pengekspor karet kelas dunia. Harusnya ditengah bergairahnya harga karet nasional, para petani dapat mengambil keuntungan lebih dari pasar internasional.
Sejak bulan September hingga Desember 2016 harga karet di Sumut berada di angka yang menggembirakan, yakni diatas Rp. 10.000/Kg. Bahkan diprediksi pada tahun 2017, harga karet dapat menyentuh Rp. 20.000/Kg-nya.
Meski demikian, petani karet tidak terlalu berlebihan berharap, mereka hanya ingin harga karet tetap stabil dan apabila turun tidak terlalu terjun bebas ke titik terendah.
Tingginya harga karet ini memberi motivasi tersendiri bagi para petani untuk memantapkan usahanya. Dengan meningkatnya pendapatan, petani juga mencoba menambah produktivitas serta memperbaiki kualitas karetnya dengan melakukan pemupukan.
Pasalnya, karena harganya sempat anjlok seanjlok-anjloknya, selama 3 tahun terakhir petani karet di Sumut tidak melalukan pemupukan. Hal ini berimbas pada semakin menurunnya produksi.
Menurut salah satu petani karet di Dusun Damar Itam Desa Mekar Makmur Kabupaten Langkat Suparno, menjelaskan dengan tidak memupuk, petani hanya bisa menghasilkan getah antara 110-120 kg per hektare. Padahal, jika melakukan pemupukan secara rutin, produksi yang diperoleh bisa 150-170 kg per hektare.
“Petani sudah tidak memupuk selama tiga tahun. Jadi wajar saja produksinya turun. Nah, dengan harga yang kini di atas Rp 10.000 per kg, tentu petani bisa punya biaya (modal) untuk memupuk,” (MedanBisnisdaily.com).
Sama halnya seperti sawit, jumlah kebun karet yang ada di Sumut sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan karet sekala regional. Harusnya kita memiliki planing menjadikan Sumut sebagai salah satu sentra pemasok karet internasional dari Indonesia.
Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Sumut, total luas lahan kebun karet di Sumut mencapai 394.113,57 hektare dan yang perlu dilakukan peremajaan hanya sebesar 10,14%. Dengan modal ini, harusnya pasar potensial karet di Amerika Serikat dan Jepang harusnya berada di tangan kita.
Bagaimanapun juga kondusivitas perekomomian suatu negara memang sulit untuk diprediksi, namun mengingat selama pasar dan industri masih membutuhkan bahan baku karet, menjadikan penghasil karet memiliki nilai tawar lebih. Untuk mencapai hal itu, petani karet hendaknya juga memikirkan kualitas produknya, bukan sekedar berpacu dalam kuantitas sejadi-jadinya.
Berkurang
Sejak tahun 2014, aktivitas ekspor karet Sumatera Utara (Sumut) melalui terminal peti kemas Belawan International Container Terminal (BICT) terus turun. Penurunan paling signifikan terjadi pada tahun 2014, mencapai 11,86%.
Sepanjang tahun 2014, aktivitas ekspor komoditas karet Sumut yang dikapalkan melalui BICT sebanyak 674.209 ton. Jumlah ini anjlok hingga 11,86% dibandingkan tahun 2013 yang jumlahnya mencapai 765.007 ton.
Kemudian tahun 2015, ekspor karet Sumut tujuan manca negara tercatat sebanyak 658.531 ton. Jumlah ini turun sekitar 2,32% dibandingkan tahun 2014 yang berjumlah 674.209 ton.
Kondisi serupa juga terjadi di tahun 2016, aktivitas ekspor karet Sumut yang dikapalkan melalui BICT sebanyak 558.942 ton. Jumlah ini mengalami penurunan sekitar 7,27% dibandingkan periode serupa 2015 yang jumlahnya 602.819 ton.
Meski masih rendah, harga jual karet di pasar internasional berkisar 1,5 USD/Kg. Itu artinya lebih tinggi dibandingkan dengan pasaran nasional. Dengan demkikian jika produksi regional sudah surplus, maka tidak ada salahnya jika petani meningkatkan nilai ekspor karet lesu belakangan ini.
Selain nilai ekonomis yang lebih menjanjikan, meningkatkan ekspor karet juga dapat menambah devisa negara dan mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia yang saat ini justru ketergantungan akan impor.
*)Penulis adalah Alumni UMSU 2014