Ka(pi)talis Pembangunan Desa

Korupsi dana desa di Kebumen terkuak gara-gara aspal, begitulah judul artikel yang termuat pada salah satu laman media daring.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis setidaknya sudah 900 kepala desa berperkara dengan hukum karena dana desa hingga akhir 2017 lalu.

Kebanyakan perkara level desa memang terjadi pada wilayah yang berurusan dengan lembaga anti-rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekitar 102 kepala desa telah menyandang jabatan baru sebagai tersangka korupsi.

Kasus yang terjadi di Desa Candiwulan Kecamatan Kebumen tersebut merupakan satu di antara sekian kasus korupsi di tingkat desa. Modus penyelewengan dilakukan dengan pengadaan proyek pemeliharaan jalan desa, dan kerugian negara sekitar Rp 307.162.150.

Sama seperti kasus korupsi umumnya, penyelewengan dana desa pun melibatkan relasional sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil.

Hasil penelitian ICW mengungkapkan bahwa ada 12 modus korupsi dana desa, yaitu rancangan anggaran biaya di atas harga pasar, mengklaim pembiayaan bangunan fisik dari sumber lain bersumber dari dana desa, meminjam dana desa untuk kepentingan pribadi, pungutan atau potongan oleh oknum pejabat, penggelembungan pembayaran honorarium dan alat tulis kantor, pungutan pajak/retribusi desa yang tidak disetorkan ke kantor pajak, privatisasi inventaris desa, alokasi untuk kepentingan perangkat desa, kongkalikong proyek dan proyek-proyek fiktif.

Singkatnya, modus-modus itu meliputi proses perencanaan, pertanggungjawaban, monitoring dan evaluasi, dan pelaksaan pengelolaan dana desa.

Desa dalam Nawa Cita

Melalui Nawa Cita ke-3, pemerintahan Presiden Joko Widodo berkomitmen membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pembangunan desa bertujuan untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dan menciptakan kemandirian desa-desa secara berkelanjutan.

Caranya dengan memberdayakan ekonomi lokal, penciptaan akses transportasi dan percepatan pemenuhan infrastruktur dasar.

Peraturan desa dan dana desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Program pembangunan di desa ini merupakan yang pertama di Indonesia dan terbesar di dunia. Menurut catatan Kementerian Keuangan, dana desa yang digelontorkan telah naik menjadi Rp 60 triliun pada 2017 dengan rata-rata desa mendapat alokasi sebesar Rp 800 juta.

Pengelolaan ini dirancang untuk melibatkan masyarakat dengan pola swakelola, yakni penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya lokal setempat. Outcome dari pemanfaatan dana desa telah mengantarkan gini rasio desa berada di angka 0.32 pada 2017.

Piramida Dana Desa

Jantung pembangunan adalah tindakan kolektif masyarakat, sektor pemerintah, dan sektor swasta. Dana desa sejatinya merupakan dana APBN yang diperuntukkan bagi desa dan ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota.

Dengan lain kata, dana dari pusat diterima oleh pemerintah daerah kemudian disalurkan kepada pemerintah desa untuk dikelola. Korupsi merupakan kegagalan implementasi akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran tersebut.

Kebijakan publik sangat rawan privatisasi dan dimotori kepentingan privat. Pengaruh kepentingan yang kuat berperan dalam pembentukan hukum, regulasi, dan politik melalui penyediaan manfaat ilegal dari keuntungan pribadi bagi pejabat publik (Corduneanu-Huci, Hamilton, & Ferrer, 2013).

Dalam pengelolaan dana desa, pemerintahnya dilimpahkan otonomi untuk mengelola demi kepentingan pembangunan desa yang bersangkutan. Secara khusus, perangkat desa sebagai birokrat mestinya memiliki dua arah tanggung jawab akuntabilitas, yaitu kepada pembuat kebijakan dan masyarakat.

Perlu disadari bahwa pengelolaan dana desa berada di tengah konstelasi piramida yang menempatkan rakyat di dasarnya. Lahirnya sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik mesti ditinjau kembali.

Prinsip swakelola seyogianya mengutamakan integritas dan solidaritas khas masyarakat wilayah perdesaan, yakni gotong-royong. Hanya saja, prinsip ini dapat menjadi sarana penyelewengan sebab keterbatasan akses masyarakat desa terhadap pengelolaan dana secara langsung.

Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan dana desa dengan jelas tertuang pada Undang-Undang 6/2014 tentang Desa, tepatnya pada Pasal 68 mengenai hak dan kewajiban masyarakat desa.

Komitmen membangun desa mengalami pergeseran seiring peningkatan anggaran desa. Peningkatan dana desa pada kenyataannya mendongkrak iklim kontestasi politik tingkat desa sehingga semakin kompetitif.

Kondisi ini membuka ruang atau mengundang penyakit biaya politik (political-costs illness) masuk ke tata demokrasi desa.

Pada akhirnya, kompetensi kepala desa tidak lagi diperhitungkan. Buntut sederhana dari biaya politik di tingkat desa adalah nepotisme birokrasi, dalam hal ini perangkat desa.

Teknis transparansi pengelolaan dana desa, pengadaan barang dan jasa, serta pertanggungjawaban keuangan sebenarnya sangat bergantung pada faktor kompetensi. Fenomena pasca-implementasi regulasi di lapangan tidak bisa dihindari.

Lembaga desa yang memainkan peranan penting dalam demokrasi di tingkat desa sepatutnya optimal. Lembaga satu dengan lainnya bertanggung jawab membentuk suatu perantara kekuatan pembangunan desa yang menghasilkan produk-produk publik.

Secara ideal, peranan dana desa mempercepat laju pembangunan dengan tidak mengalami perubahan kegunaan atau hanya termakan laju itu sendiri. Setiap sudut piramida yang mewakili tiga domain wilayah kepentingan semestinya proaktif dan memahami esensi pengelolaan dana desa.

Penguatan kerja sama aparatur desa dan peran aktif masyarakat desa adalah kunci sukses berinovasi dan berkreasi untuk mewujudkan kesejahteraan bersama masyarakat desa dalam pembangunan. ***
Mahasiswa FE Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Close Ads X
Close Ads X