Ironi Hidup di Negeri Agraris

Oleh : Salamun Nasution

Gemah ripah loh jinawi, kalimat ini pasti terfikir ketika kita berbicara tentang Indonesia. Kalimat tersebut disemetkan oleh Indonesia mengingat negeri ini sudah dikaruniai oleh Tuhan, alam yang sangat menyimpan banyak kekayaan.

Terletak di posisi yang strategis mulai dari sisi geografis serta beriklim tropis sehingga membuat curah hujan begitu tinggi sehingga menyuburkan tanah. Sampai-sampai ada yang mengatakan kayu dilempar pun jadi tanaman.

Tapi ternyata tak selamanya negara agraris itu selalu manis bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya. Hidup di negara agraris ternyata penuh dengan keironian. Ironi karena ternyata apa yang disampaikan dan di­agung-agungkan tentang ke­kayaan Indonesia hanya sebatas nama. Pasalnya, harga pangan di Indonesia selalu mengalami fluktuasi. Terkadang turunya sedikit dan naiknya begitu tinggi.

Belum lagi produksi yang sering menurun mengakibatkan Indonesia harus impor sana im­por sini demi mencukupi kebutu­han dalam negeri. Sebutan sebagai negara agraris yang gemah ripah loh jinawi rasanya terus menerus mengalami pe­mudaran. Tidak pantas rasanya dengan dikaruniai alam yang begitu kaya raya kita ma­sih mengharapkan impor untuk me­menuhi kebutuhan. Ada yang salah berarti dengan pe­man­faatan sumber daya alam kita sehingga membuat In­do­nesia yang katanya negara agraris merasakan pahitnya pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri.

Masih Ironi
Bisa jadi permasalahan ini dikarenakan kesejahteraan pe­tani yang masih penuh dengan ironi. Dilihat dari data Badan Pusat Statistik, 31,74% angkatan kerja di Indonesia atau 38,29 juta merupakan pekerja yang beker­ja di sektor pertanian.

Berdasar­kan data tersebut ada sekitar dua juta pekerja dari sektor per­ta­nian yang beralih profesi ha­nya dalam satu tahun. Kena­pa? Pasti itu pertanyaa pertama kali. Padahal dengan keadaan alam yang kaya seperti yang digambarkan, masyrakatnya hanya membutuhkan cangkul untuk mengeruk kekayaan alam di dalam bumi pertiwi ini.

Jadi wajar saja jika saat ini pemerintah pusing tujuh keliling menangani harga-harga bahan pokok yang terus mengalami kenaikan. Karena bisa jadi akar permasalahannya bukan hanya terjadi dikarenakan Indone­sia yang saat ini mengalami musim penghujan, sehingga menyebabkan banyak gagal panen dan stok yang terus berkurang.

Bisa juga dikarenakan ba­nyak masyarakatnya yang me­mi­lih berhenti bertani dan ber­alih menjadi buruh atau ber­­wi­raswasta. Tanah yang se­la­ma ini dipakai untuk bertani ke­mu­dian dijual ke pihak swasta dengan harga tinggi dan kemudian oleh pihak swasta dibuat pusat perbelanjaan atau perumahan elit kelas berbintang. Pada akhrinya tanah pertanian tiap tahun berkurang dan beralih fungsi menjadi perumahan atau­pun pusat perbelanjaan.

Sebelum jauh melangkah tentang harga pangan yang terus bergejolak yang berakibat kepada negara agraris yang tak selamanya manis, ada baiknya kita juga memperhatikan sektor tanah pertanian yang tergusur di setiap tahunnya. Hal ini bisa juga jadi alasan mengapa negara agraris seperti Indonesia masih membuka kran impor pangan untuk memenuhi kebutuhan.

Dekan Fakultas Ekologi Ma­nusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria yang juga Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Perta­nian mengatakan setidaknya ada 50.000 sampai 100.000 hektare lahan sawah yang hilang setiap tahunnya, baik karena beralih fungsi maupun yang tidak lagi tergarap oleh petani.

Sektor inilah yang pertama kali menjadi perhatian. Di kota-kota besar misalnya, lahan untuk pertanian sudah banyak yang hilang dan disulap jadi gedung-gedung pencakar langit.

Jika terus dipertahankan dan tidak diperhatikan, lama-kelamaan negara agraris bisa jadi kenangan yang pernah disematkan oleh Indonesia. Padahal sadar atau tidak sadar dengan memanfaatkan sektor inilah Indonesia bisa menjadi negara maju nantinya.

Gemah ripah loh jinawi merupakan suatu kalimat yang selama ini membuat iri negara tetangga. Tapi belakangan kalimat itu tak membuat iri lagi. Karena kenyataanya negara yang wi­layahnya kecil dan otomotis hasil alamnya juga tidak sebanding jika dibandingkan Indonesia, masih bisa melakukan ekspor hasil pertanian ke negara yang katanya Gemah ripah loh jinawi ini.

Lahan pertanian yang tiap tahunnya berkurang merupakan keironian selanjutnya di te­ngah negara berlebel agraris. Tanah-tanah pertanian dan berkebunan sekarang banyak yang disulap menjadi gedung-gedung pencakar langit.

Hasil dari penjualan tanah juga telah membuat petani berwiraswasta. Mereka telah lelah, capek-capek bertani harga di pasar malah dimainkan oknum di pasar. Makanya lebih baik bekerja sebagai buruh yang gaji setiap bulannya jelas dan tidak ada yang memainkan.

Alhasil harga pangan di In­donesia pun terus bergejolak dan tidak pernah stabil. Lonjakan harga kini terjadi dikarenakan masalah stok yang berkurang dan langka. Bahan-bahan pa­ngan semakin sulit ditemukan karena banyak petani yang berhenti bertani.

Setelah itu harga pun naik dan kran impor kemudian dibuka lebar-lebar untuk menyetabilkan harga. Petani yang tersisa kemudian ge­leng kepala karena masyarakat beralih ke produk impor yang lebih murah. Jadilah mereka ikut beralih profesi. Bos-bos tanah juga telah menantikan mereka untuk menjual tanah agar digarap menjadi rumah mewah.

Setidaknya itulah gambaran kecil jika ditarik garis lurus tentang Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris jika terus mempertahankan cara pengolahan alamnya. Tak ada lagi aktivitas bertani, sejauh mata memandang hanya ter­lihat gedung-gedung tinggi menjulang. Kekayaan yang ada di perut ibu pertiwi Akan ter­tanam terus menerus.

Belum Selesai
Tapi tunggu dulu, terlalu cepat berfikir Indonesia menjadi negara industri yang tidak mempunyai penghasilan alam apapun. Itu hanya sebatas tembakan ke depan jika masih terus-terusan seperti ini.

Maksudnya, jika masih terus-terusan menutup mata untuk mengembangkan sektor pertanian sebagai garda terdepan untuk memajukan perekonomian bangsa. Jika masih terus-terusan petani tidak diperhatikan dan tak adanya aturan yang jelas tentang tergarapnya terus menerus tanah pertanian oleh swasta untuk membangun pemukiman mewah.

Perjuangan untuk menjadikan negara agraris yang berasa manis bagi seluruh masyarakatnya belumlah selesai. Sebagai negara agrarais, pertanian di Indonesia telah menghasilkan berbagai macam tumbuhan komoditas ekspor, seperti padi, jagung, kedelai dan sebagainya. Indonesia juga pernah merasakan swasembada pangan pada tahun 1980-an.

Negara agraris memang tak selamanya manis. Gejolak harga terus menerus terjadi. Hal ini tentunya pasti ada sebab dan akibatnya. Sebab dan akibat inilah yang jika tidak diselesaikan dengan cepat, maka gambaran tentang negara agraris berakhir tragis akan terjadi. Indonesia tetap menyandang gelar negara agraris yang rajin impor ini impor itu untuk memenuhi kebutuhan.

Dari sebab dan akibat ini kemudian dicarikan solusi, misalnya dengan melakukan tata kelola pangan yang baik, menangkap mafia pasar yang “seenak jidad” mempermainkan harga sehingga merugikan petani.

Lalu membuat aturan yang tegas agar tak ada lagi lahan pertanian yang tergusur, kemudian memberikan prioritas untuk menyejahterakan petani. Selalu melakukan pendampingan dan pelatihan bagaiamana cara menanam yang efektif sehingga menghasilkan produk yang baik.

Dengan begitu apa yang dikatakan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo tentang Indonesia yang akan swasembada pangan akan kesampaian. Tak selamanya memang negara agraris itu selalu manis. Ter­gantung posisi pemerintah saat ini, mau mengeksiskan sebutan negara agraris atau mau terus bersembunyi di belakangnya dan membuat masyarakatnya selalu menikmati keironian hidup di negeri agraris ***

*) Penulis adalah Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Close Ads X
Close Ads X