Imperialisme Modern ala Negara Impor (2-Habis)

Oleh : Datuk Imam Marzuki

Indonesia harus berhati-hati, karena MEA adalah bentuk liberalisasi pasar ASEAN. Indonesia harus belajar ke belakang, yaitu ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). ACFTA bertujuan untuk meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa antar ASEAN dan Tiongkok. Salah satu program dari ACFTA adalah Early Harvest Program yaitu menurunkan tarif komoditas Indonesia yang diekspor ke Tiongkok diturunkan harganya, dan juga sebaliknya. Barang-barang dari Tiongkok lebih membanjiri pasar Indonesia daripada barang Indonesia yang membanjiri Tiongkok dihambat untuk masuk di negaranya.

Jika dilihat dari aspek yang pertama yaitu aspek nilai, Indonesia merupakan negeri dengan keanekaragaman hayati yang melimpah dan dilalui oleh garis khatulistiwa yang beriklim tropis yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk mengembangbiakkan aneka ragam hayati yang ada. Teori ini berpendapat bahwa kemiskinan yang terdapat dinegara berkembang yang mengkhususkan diri pada produksi adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif.

Ada tiga komponen: Modal asing, Pemerintah local di Negara satelit dan kaum borjuasi, pembangunan hanya terjadi dikalangan mereka. Hubungan Negara metropolis selalu berakibat negatif bagi Negara satelit. Negara pinggiran atau satelit bisa juga berkembang, meskipun perkembangannya merupakan perkembangan tergantung. Diantaranya adalah: ketergantungan kolonial, ketergantungan finansial-industrial, ketergantungan teknologis-industrial.

Pemerintah mengeluarkan peraturan tentang hubungan kerja dan menjamin kepada para majikan perusahaan. Ancaman ketentuan kontrak kerja itu kemudian terkenal sebagai poenale sanctie. Praktek dari sistem kerja-kontrak ini telah membawa kehidupan yang buruk. Tak diragukan lagi, bahwa penegakan hukum telah memainkan peranan penting di dalam politik kolonial. Kritik-kritik yang paling tajam dilancarkan oleh kaum kapitalis, yang menghendaki agar pemerintah membuka daerah baru untuk investasi-investasi modal. Jelaslah bahwa kaum kapitalis sangat berkepentingan dengan dibuatnya kontrak-kontrak, karena kontrak biasanya diikuti oleh konsesi-konsesi untuk memperoleh monopoli.

Kondisi yang menyenangkan penanam modal dijamin oleh pemerintah “kolonial” seperti tenaga kerja dan tanah yang murah. Banyak bank kolonial didirikan sebagai lembaga kredit dan financial. Akan tetapi akhirnya mereka mengawasi dan menguasai perusahaan. Di sini kita melihat sifat imperialisme yang tipis, yaitu suatu fungsi antara modal industri dan modal finansial. Di dalam sistem baru ini penguasaha-pengusaha swasta mengambil-alih perusahaan-perusahaan perkebunan yang dahulunya diurus oleh pemerintah. Cara mengurusnya tetap berjalan seperti sedia kala. Bedanya kalau dulu hanya ada pemegang saham tunggal, sekarang jumlah pemegang sahamnya banyak. Perusahaan swasta menunjukkan tanda-tanda lebih menekan daripada pemerintah. Pengusaha-pengusaha dan kaum humaniter mengumpulkan kekuatan untuk bersama-sama mematahkan Culturstelsel. Pertama didorong oleh kepentingan ekonomi, bahwa kebebasan berusaha merupakan jaminan yang paling utama bagi.

Akhirnya uraian-uraian yang bersemangat ini mengecap ekspedisi-ekspedisi itu sebagai manifestasi tirani, barbarisme, dan perampasan yang kejam. Pada permulaan abad ke-20 itu timbullah ide-ide baru yang anti imperialism sehingga muncullah politik kolonial baru. Mencermati kebijakan ekonomi kolonial diwarnai oleh perkembangan moral kolonial, yakni dari kerakusan yang tamak menuju ke politik bermoral. Hal ini dapat diketahui perkembangan Culturstel, Politik Kolonial Liberal, Imperialisme Modern, dan Politik Etis. Meskipun secara lahiriah kebijakan ekonomi kolonial itu tampak ada perkembangan moral yang positif, tetapi kalau dilihat secara mendalam, terbukti perkembangan moral yang positif itu hanya suatu kedok untuk mengelabuhi parlemen atau dunia internasional yang memang sudah semakin liberal.

Dosen UMSU
Sekjen Pemuda Muhammadiyah
Kota Medan

Close Ads X
Close Ads X