Imperialisme Modern ala Negara Impor (1)

Oleh : Datuk Imam Marzuki

Indonesia sudah memulai babak baru untuk meliberalisasi semua aset nasional. Asing telah dianggap sebagai mitra yang baik untuk turut memajukan ekonomi nasional. Padahal jika belajar dari pengalaman terdahulu, kepemilikan asing yang mendominasi akan terus berusaha untuk menyetir peraturan pemerintah.

Arti kemerdekaan tentu saja bukan lagi masalah kedaulatan. Tapi justru karena artinya yang meluas dan makin abstrak. Seringkali kita tak menyadari bahwa bangsa kita masih terjajah. Mungkin bukan lagi penjajahan militer, tapi penjajahan ekonomi, sampai kehidupan sosial yang di dikte negara lain. “Tentara Kolonial” terus menerus melancarkan “peperangan” terhadap “penguasa local”, raja-raja kecil. Seperti para Gubernur, Bupati dan tokoh masyarakat untuk tunduk dengan “ancaman regulasi”. Beberapa di antaranya hanya merupakan perang kecil-kecilan. Sikap ini mulai mengalami perubahan dengan alasan, bahwa politik pintu terbuka dengan memasukkan kapital-kapital asing. Jika diamati lebih seksama, maka dalam kaitan berlomba-lombanya kaum kapitalis tersebut menunjukkan akan sifat imperialisme modern. Mereka mencari tanah jajahan itu dilakukan dengan cara yang kasar dan sewenang-wenang. Kekejaman yang dilakukan tentara kolonial sangat menggoncangkan pendapat umum. Dan banyak politisi yang menganggap tak ada alasan untuk melanjutkan perang ini

Ketergantungan adalah keadaan dimana kehidupan ekonomi negara dipengaruhi oleh ekspansi dari kehidupan ekonomi negara lain. Dimana negara ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Industrialisasi kapitalis tercapai dan perkambangannya cukup baik di negara berkembang. Penanaman modal di Indonesia terutama terjadi pada industri. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan, lalu, berkembang menjadi mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang.

Perubahan tersebut terjadi karena munculnya kaum liberal dibarengi dengan munculnya kaum borjuis yang mempergunakan slogan-slogan untuk membenarkan tuntutan mereka dan memperoleh kekuasaan politik. Memang kelas-kelas tertentu mempunyai kepentingan ekonomi di daerah-daerah “jajahan”. Setelah melaksanakan politik pintu terbuka memasuki periode kapitalisme modern, maka Hasil Revolusi Industri terwujud.

Misalnya seperti rencana pemerintah yang hendak mengimpor Liquied Natural Gas (LNG) dari Singapura. Karenanya perlu dilakukan audit neraca gas nasional yang komprehensif agar angka proyeksi kebutuhan sesuai dengan kemampuan produksi gas domestik. Rasanya aneh kita harus mengimpor LNG dari Singapura, karena secara faktual mereka tidak punya ladang gas. Impor ini dipastikan bukan transaksi yang langsung dari produsen utama tapi melalui perantara atau trader. Dimulai dari mahalnya harga gas bumi yang dikarenakan adanya trader bertingkat sebagai “pemburu rente”. Ironisnya, justru gas selama ini di ekspor dengan harga yang rendah dan kontrak yang panjang. Karena itu, impor sejatinya bukan jalan keluar untuk mengatasi kebutuhan gas nasional.

Kebijakan ekonomi pemerintah memaksa PLN membeli sumber energinya (BBM, gas, batubara) dengan harga yang dikehendaki oleh perusahaan-perusahaan asing, yang memegang kendali industri minyak, gas dan batubara. Pasokan Gas untuk PLN sangat minim. Sebaliknya gas produksi dalam negeri justru lebih banyak diekspor dengan kontrak jangka panjang. Hanya sekitar 30% untuk dalam negeri dan sisanya 70% dijual ke luar negeri.

Pangkalnya adalah UU yang dibuat DPR, yaitu UU No 22 tahun 2001 tentang Migas. Sebagian daya listrik PLN dipasok oleh pembangkit-pembangkit swasta atau Independent Power Producer (IPP), sehingga PLN membeli lebih mahal daripada harga yang semestinya. PLN mahal, kebijakan ekonomi pemerintah memaksa PLN membeli sumber energinya (BBM, gas, batubara) dengan harga yang dikehendaki oleh perusahaan-perusahaan asing, yang memegang kendali industri minyak, gas dan batubara. Pasokan Gas untuk PLN sangat minim, Sebaliknya gas produksi dalam negeri justru lebih banyak diekspor dengan kontrak jangka panjang. Hanya sekitar 30% untuk dalam negeri dan sisanya 70% dijual ke luar negeri.

Kaum humaniter percaya, bahwa perusahaan swasta dan modal bebas akan melepaskan daerah-daerah jajahan dari eksploatasi. Tetapi kenyataannya hanya ada pergantian pemeras. Mencolok sekali, perdagangan bebas dan kompetisi bebas berlangsung dengan model kapitalisme modern. Sejak dihapuskannya batig saldo (sistem keuntungan bersih), berkembanglah suatu mentalitas baru mengenai kesejahteraan bangsa Indonesia dan berpengaruh di antara para politisi.

Bersamaan dengan itu juga timbul suatu orientasi politik kolonial baru yang terarah ke prinsip orang pribumi. Dengan berpijak pada kepentingan orang pribumi diajukan tuntutan pembayaran kembali keuntungan bersih. Politik keuangan kolonial dikritik sangat pedas, rencana perbaikan dibuat. Janji-janji tertuju pada kepentingan penduduk pribumi terus menerus diucapkan. Tetapi hampir-hampir tak ada yang dikerjakan untuk meningkatkan penghidupan rakyat. Politik kolonial terbatas pada membuat penyelidikan dan persiapan untuk perbaikan. Kepasifan ini dengan jelas memperlihatkan adanya perbedaan besar antara teori dan praktek. Cukuplah dikatakan, bahwa cita-cita terlalu sering dipergunakan untuk menutup kegiatan yang kurang baik.

Bersambung

Close Ads X
Close Ads X