Hak Anak

Setiap tanggal 10 Desember dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Kelahiran Hari HAM dinyatakan oleh  International Humanist and Ethical Union (IHEU) sejak 65 tahun lalu sebagai hari resmi perayaan kaum Humanisme. Secara historis, tanggal ini dipilih untuk menghormati Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengadopsi dan memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia, pada 10 Desember 1948. Sementara peringatan dimulai sejak 1950 ketika Majelis Umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakan.
Di tengah suasana peringatan Hari HAM yang mengusung banyak persoalan, ada yang luput dari perhatian: hak anak dalam konteks pembangunan perkotaan.
Sebagaimana kita ketahui, ada 6 jenis HAM, yaitu hak asasi sosial, ekonomi, politik, sosial budaya, hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan, dan hak untuk mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan.Di Indonesia sesuai UU No 39 tahun 1999 bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya..
Mengacu kepada referensi itu, kita melihat hak-hak anak dalam pembangunan masih terabaikan. Anggapan ini bisa kita lihat mulai dari pembangunan infrastruktur kota yang mengesampingkan kebutuhan perkembangan anak. Contohnya, pembangunan ruang publik, dimana lahan terbuka tempat bermain anak-anak kini semakin sempit saja. Lahan kosong yang biasa digunakan anak-anak bermain petak umpet dan futsal telah dibangun rumah toko (ruko). Apa boleh buat, karena tidak ada pilihan, terpaksa  anak-anak bermain futsal, badminton atau sekadar kejar-kejaran, di jalan raya menunggu ada warga menutup jalan karena pesta. Kalau tidak ada warga yang pesta, anak-anak bermain di tepi sungai, lokasi alternatif yang masih menyisakan tempat terbuka.
Sebuah survey mencatat rata-rata, anak Indonesia bermain hanya selama  dua jam perhari, lebih rendah dari anak-anak dari negara Amerika dan Eropa yang menghabiskan waktu bermain selama 3 jam per hari. Di Indonesia anak cenderung bemain cenderung bemain komputer game, atau menonton TV di dalam rumah. Padahal di negara lain anak-anak pada umumnya menggemari permainan yang sifatnya olahraga dan TV game secara berimbang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan hingga tahun 2025, separuh dari 6,5 milyar penduduk dunia akan hidup di daerah perkotaan. Kota yang ideal adalah kota yang menyediakan berbagai fasilitas penghuninya termasuk yang dibutuhkan anak-anak. Namun pada kenyataannya, pembangunan kota belum berpihak pada anak-anak. Kebijakan pembangunan  fisik kota termasuk “pelit” pada anak-anak, kalau tidak ingin dibilang luput dari perhatian sama-sekali.
Pemerintah memiliki banyak perangkat peraturan yang mengatur kepentingan anak dalam perspektif pembangunan. Sayangnya, peraturan tinggal peraturan. Dalam tahap implementasi, peraturan diabaikan. Contohnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan Kepada Pemerintah Daerah. Permendagri itu mengatur setiap pengembang perumahan diwajibkan membangun sarana dan prasarana, di antaranya fasilitas tempat bermain. Kenyataannya, tidak semua pengembang mematuhinya. Padahal aspek  sosial dan pertumbuhan infrastuktur fasilitas umum menjadi penting untuk diperhatikan dalam konteks pembangunan sebuah kota. (*)

Close Ads X
Close Ads X