Guru PAUD Bertahan dengan Kesejahteraan Terancam

Oleh :   Rumy Sartika Marpaung
“Gaji kami segini,”kata seorang wanita tengah baya  menunjukkan rupiah yang baru saja diterimanya sebagai upah menjadi seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Honor yang diterima Rp350.000 tiap bulannya. Fakta tersebut sungguh miris dan menyayat hati. Bagaimana tidak, belum ada hitung-hitungan logika yang mampu membagikan nominal kecil tersebut untuk mencukupi kebutuhan sang guru selama satu bulan apalagi untuk memberikan jajan anaknya di rumah.

Tak sebanding dengan apa yang telah ia ikhlaskan dalam mendidik anak-anak muridnya sejak pagi hingga tengah hari. Senyum ramah lalu mengajaknya bermain sambil mengenal sesuatu yang baru. Belum lagi ketika beberapa anak didiknya mengeluh, ingin buang air besar atau kecil, inilah, itulah dan terus-terusan merengek agar mendapat perhatian lebih dari sang guru. Cukup kesal tapi mereka tetap sabar menuntun mereka.
Mungkin kita jarang menyadari hal seperti itu. Bahkan hampir tidak memperdulikan hal yang sebenarnya tengah mereka cibir sejak lama. Seperti dianaktirikan oleh pemerintah. Seperti itulah tapi tak berkutik. Tak banyak yang dapat mereka lakukan untuk mencekal pandangan sinis orang-orang terhadap guru-guru PAUD. Sebab, belum adanya wadah yang mau berkomitmen memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Bekerja di Tempat Lain
“Kalau ibu berkenan, pindahlah ke sekolah milik kami. Gajinya lebih besar”.
”Kalau tidak suka dengan gaji seperti itu, ya sudah pindah saja menjadi pekerja di tempat lain.”
Beberapa orang guru PAUD tertawa mendengar kalimat opsi dan sugesti seperti itu. Tidak hanya sekali, beberapa pernyataan seperti itu sering sekali mereka dapat untuk mengubah kesejahteraan buruk  guru PAUD. Namun, mereka enggan meninggalkan PAUD  dengan alasan cukup mencengangkan. Tenaga pendidik di PAUD mayoritas merupakan wanita yang peduli dengan anak-anak, khususnya anak-anak yang kurang mampu.
Seperti komitmen hati mereka sejak awal. Anak-anak kurang mampu di sekitar mereka harus mendapatkan pendidikan. Sebab, anak merupakan aset yang kelak menggantikan pimpinan-pimpinan saat ini. Andai saja mereka pindah ke tempat lain, PAUD akan tutup. Sedangkan anak-anak itu, terlantar.
Entah apa jadinya jika perjuangan guru-guru PAUD ini berakhir. Mungkin anak-anak ini akan asyik dengan kesibukannya bermain, bekerja dan larut dalam kemiskinan. Wajar saja, mengingat ongkos pendidikan yang saat ini mulai mahal. Atau kedepannya angka buta aksara akan meningkat drastis serta tindak kriminalitas semakin tinggi. Kalau situasinya sudah seperti ini, pemerintah Indonesia, Medan khususnya bakal kebingungan sendiri menanganinya.
Butuh Perhatian
Mereka memang tidak begitu gencar mengatakan berbagai keluhan tersebut secara langsung kepada pemerintah dan publik lewat orasinya di depan gedung Dewan atau media massa.  Tapi, apa salahnya ketika ada sebuah perjuangan ikhlas dari guru-guru PAUD ini, pemerintah juga turut memperhatikan nasibnya. Toh, mereka ikut membantu pemerintah juga dalam mengentaskan buta aksara sejak usia dini. Tuntutannya tak banyak dan tak begitu memberatkan. Pastinya, mereka tak ingin dibeda-bedakan dengan guru-guru yang lain yang katanya sudah teruji secara akademisi. Memang, guru Taman Kanak-kanak atau guru formal lainnya sudah menyandang gelar sarjana. Namun, guru PAUD juga telah banyak yang melanjutkan jenjang sarjana kependidikan PAUD mereka.
Bila pun masih ada guru PAUD yang tamatan SMA, mereka belum beruntung. Sebab, kurangnya informasi serta kurangnya kemampuan ekonomi mamaksa mereka untuk tidak kuliah. Biarpun begitu, kualitas mereka mendidik anak-anak tidak diragukan lagi. Pengalaman dan skill mereka sudah ditempa dengan sendirinya. Hanya kurang gelar akademisi saja. Benar, pemerintah juga sudah menyisihkan anggaran untuk program beasiswa dan intensif bagi beberapa guru PAUD. Namun, kuotanya sedikit. Hanya segelintir orang saja yang bisa dapat. Sedangkan intensif yang diberikan pemerintah tak juga menutupi kekurangan guru-guru PAUD yang mulia ini. Mereka yang dapat intensif bersyukur dan yang tak dapat hanya bisa gigit jari. Begitulah permasalahan yang belum juga mendapat pencerahan setelah persoalan penyetaraan nama tutor PAUD menjadi guru PAUD diperjuangkan dalam berbagai forum pendidikan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Unimed FIG, PG PAUD Unimed dan Guru PAUD Sartika Jalan STM Gang Syukur No 15 Medan-Amplas

Masalah Penyadapan: Cara Klasik Dinas Intelijen (2-Habis)
Oleh :     Otjih Sewandarijatun
Ada senda gurau kalaupun di dalam UU tidak disebut apakah sesuatu organisasi Dinas Intelijen boleh menyadap lawannya atau tidak, tidak satu orangpun bisa menjamin dinas intelijen yang bersangkutan tidak melakukan penyadapan. Cerita mengenai kecanggihan teknologi mikrofon yang kecil tidak kelihatan dengan mata tetapi sangat sensitif merekam getaran suara, bukan hal baru lagi di dunia intelijen.
Ada seorang pengamat intelijen berpendapat, sebenarnya disebutkannya di dalam UU tentang BIN tentang hak, wewenang dan izin bagi BIN untuk menyadap pesawat komunikasi lawan, tidak terlalu berpengaruh pada tugas BIN, karena pernyadapan bisa saja dilakukan oleh BIN apabila perlu dalam sesuatu operasi intelijen, meskipun hak, wewenang atau izin menyadap tidak ada dalam UU tentang BIN.
Tidak ada yang tahu, karena penyadapan adalah sebuah aksi tertutup, tidak pernah diekspose.
BIN apakah melakukan penyadapan atau tidak terhadap berbagai obyek yang dianggap sasaran tugas intelijennya, tidak ada yang tahu, mungkin tidak, mungkin iya.
Orang tidak dapat menuduh, meskipun semua tahu sesuai UU BIN, seperti juga KPK boleh menyadap sasarannya. Aktifitas penyadapan tidak pernah diumumkan kapan dan di mana dilakukan, meskipun KPK sering menggunakan hasil sadapannya sebagai semacam bukti dalam Pengadilan Tipikor.
Hal semacam inilah yang mungkin membuat berbagai pihak di Indonesia gregetan dengan BIN atau juga KPK yang secara hukum diberi hak, wewenang atau izin melakukan penyadapan dengan alasan demi tugasnya, tetapi tidak ada kewajiban bagi BIN atau KPK mempertanggungjawabkannya, baik kepada DPR atau kepada Presiden. DPR dan Presiden sendiri mungkin berkeberatan diikutsertakan bertanggung jawab dalam aksi penyadapan yang mungkin dilakukan BIN atau KPK.
Dalam momentum mencuatnya kejahatan yang dilakukan Snowden (pelarian CIA) yang membocorkan berbagai kejahatan CIA menyadap berbagai rahasia negara dan kepala negara dari negara lain tersebut itulah nampaknya berbagai pihak di Indonesia tergugah dan berkeingian untuk mempersoalkan kembali hak, wewenang dan izin bagi BIN atau mungkin juga KPK untuk melakukan penyadapan.
Mereka ingin agar hak, wewenang dan izin bagi BIN atau KPK untuk menyadap harus diatur sedemikian rupa sehingga terkontrol, terkendali dan bisa dihukum berat apabila terjadi penyalahgunaan. Isu yang digunakan adalah aksi penyadapan oleh intelijen asing dan agen-agenya di Indonesia harus adalah kejahatan terhadap HAM oleh karenanya harus ditanggulangi dengan Perpu.
Mereka mencaci maki AS, tetapi matanya bukan tidak mungkin melirik kepada BIN dan KPK yang dianggap memiliki wewenang memata-mati sesama WNI dengan bebas, dengan alasan demi keamanan. Padahal, memang KPK ada indikasi telah banyak menyadap omongan orang dicurigai, tetapi tidak ada indikasi BIN melakukan sesuatu penyadapan. Tidak ada alasan orang berprasangka terhadap BIN.
Sebenarnya dalam dunia spionase pengunaan alat penyadap bukan hal yang asing bagi kaum terpelajar di Indonesia, sejak berlangsungnya Perang Pasifik. Bangsa Indonesia tahu Admiral Yamamoto, Panglima Perang Jepang di Pasifik, pesawatnya dapat ditembak jatuh oleh AS, karena rencana perjalanan Admiral Yamamoto tersadap oleh AS baik berita maupun sandi yang digunakan.
Namun demikian, di Indonesia aktivitas penyadapan pesawat telpon merupakan masalah yang sensitif, lebih-lebih ketika di dalam UU Tentang BIN disebutkan BIN mempunyai hak/wewenang atau izin melakukan penyadapan terhadap obyek-obyek yang menjadi sasaran operasinya. Sikap masyarakat yang sensitif terhadap wewenang BIN untuk menyadap, semata-mata hanyalah karena rasa khawatir adanya penyalahgunaan.
Untuk mencegah penyalahgunaan inilah masyarakat selalu bereaksi keras apabila masalah penyadapan muncul ke permukaan. Prasangka buruk masyarakat kepada wewenang KPK untuk menyadap berkurang karena ada kompensasi tertangkapnya berbagai koruptor. (*)

Close Ads X
Close Ads X