Gempa Hoax Mewarnai Dinding Medsos

Melalui media sosial, ratusan bahkan ribuan informasi disebar setiap harinya. Bahkan orang kadang belum sempat memahami materi informasi, reaksi atas informasi tersebut sudah lebih dulu terlihat. Sebagaimana kita ketahui bahwa akhir-akhir ini penyebaran berita ujaran kebencian, bentuk-bentuk intoleransi dan informasi palsu (hoax) sedang marak menghiasi jagad media sosial Indonesia.

Hal ini berlangsung khususnya pada situasi politik tertentu, misalnya pada saat Pemilu, Pilpres dan pada masa Pilkada serentak di beberapa wilayah di Indonesia, dimana terdapat indikasi adanya persaingan politik dan kampanye hitam yang juga dilakukan melalui media sosial.

Ambil contoh seperti tokoh perempuan kita Ibu Ratna Sarumpaet, ia mengaku merekayasa kabar penganiayaan dirinya di Bandung. Ratna meminta maaf kepada banyak pihak, termasuk kepada pihak yang selama ini dikritiknya. Ia mengakui pencipta hoaks terbaik yang ternyata menghebohkan semua anak negeri.

Ratna mengaku berbohong soal penganiayaan dirinya saat bertemu dengan sejumlah orang. Dirinya menemui dokter bedah plastik di Jakarta. Ratna mengaku menjalani sedot lemak di pipi. Berbeda dengan pemberitaan awalnya bahwa beliau dipukuli didalam mobil saat berada di bandara. Atau informasi video hoax pemukulan secara masa oleh salah satu korban pecinta sepakbola dengan meneriakkan kalimat tauhid.

Sampai sekarang siapa yang mengedit video itu menjadi misteri. Pemanfaatan media sosial di Indonesia saat ini berkembang luar biasa. Meski begitu, perkembangan teknologi informasi kehidupan di dunia nyata tidak pararel dengan kehidupan di dunia maya. Media sosial kini dipenuhi berita informasi palsu (hoax) sepertia di atas. Atau Kemajuan teknologi di era globalisasi membuat informasi begitu cepat beredar luas.

Keberadaan internet sebagai media online membuat informasi yang belum terverifikasi benar dan tidaknya tersebar cepat. Hanya dalam hitungan detik, suatu peristiwa sudah bisa langsung tersebar dan diakses oleh pengguna internet melalui media sosial.

Media sosial seolah-olah membawa masyarakat ke wilayah luas dan hampir tanpa batas dalam berkomunikasi. Kondisi yang tanpa tatap muka namun cepat tersaji dalam mengantarkan pesan ini kemudian berkembang pesat dan bahkan cenderung berkembang secara liar.

Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh sebagian orang yang kurang bertanggung jawab guna menebarkan informasi palsu (hoax) untuk menyerang pribadi orang lain demi kepentingan diri dan, atau kelompoknya. Kemunculan media sosial bukan saja menjadi sarana yang mudah untuk menghubungkan antar manusia, namun juga mengakibatkan semakin mudah tersebarnya informasi palsu (hoax). Masalah persebaran informasi palsu (hoax) di media sosial melalui media sosial mungkin belum pernah sepenuhnya dibayangkan oleh para pakar teknologi informasi dan komunikasi, karena pada awalnya kemunculan media sosial dimaksudkan untuk mempermudah komunikasi antar manusia di berbagai belahan dunia.

Dari sudut pandang sosiologis keberadaan media sosial terutama kemunculannya telah mempengaruhi tata cara manusia berkomunikasi, bersosialisasi, berteman, dan berinteraksi.

Berdasarkan konsep sosiologi yang memandang masyarakat sebagai kelompok manusia yang menghasilkan kebudayaan yang berkaitan dengan perkembangan peradaban masyarakat, dalam konteks merebaknya persebaran hoax, masyarakat dapat mengalami kemunduran moral yang dapat membahayakan peradaban khususnya bagi masa depan generasi muda.

Memang, media sosial memberikan kemerdekaan seluas-luasnya bagi para pengguna untuk mengekspresikan dirinya, sikapnya, pandangan hidupnya, pendapatnya, atau mungkin sekadar menumpahkan unek-uneknya. Termasuk memberikan kebebasan apakah media sosial akan digunakan secara positif atau negatif.

Kita patut prihatin dengan kondisi saat ini, cukup banyak orang yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian dan provokasi. Keadaan tersebut di satu sisi bisa menjadi potensi yang menguntungkan, namun di sisi lainnya bisa menjadi sebuah ancaman atau setidaknya malah memberikan dampak negatif yang mengarah pada perpecahan.

Masyarakat sebagai konsumen informasi bisa dilihat masih belum bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang palsu atau hoax belaka. Beberapa faktor mempengaruhi terjadinya hal ini diantaranya yaitu ketidaktahuan masyarakat dalam menggunakan media sosial secara bijaksana. Dengan mengatasnamakan kebebasan para pengguna internet dan media sosial khususnya banyak netizen yang merasa mempunyai hak penuh terhadap akun pribadi miliknya.

Kegaduhan yang terjadi di media sosial dinilai bisa merambat ke dunia nyata jika tidak segera diatasi. Perbincangan yang terdapat di media sosial berpotensi mengkonstruksi pemahaman publik mengenai suatu hal dalam kehidupan masyarakat. Kegaduhan di media sosial dapat berdampak dalam kehidupan riil karena media sosial ini juga membentuk konstruksi pemaknaan tentang asumsi sosial kita. Kegaduhan yang terjadi di media sosial semacam itu kerap kali menggunakan sentimen identitas yang bermuara pada hujatan dan kebencian dan karenanya dapat melunturkan semangat kemajemukan yang menjadi landasan masyarakat dalam berbangsa.

Pada akhirnya konsep tentang kebinekaan mengalami dekonstruksi oleh argumen-argumen yang ikut dibentuk melalui media sosial. Dalam merespon persoalan semacam itu, Kemenkominfo diharapkan dapat merumuskan konsep yang sesuai dalam mengantisipasi terjadinya kegaduhan di media sosial.

Dibarengi dengan perkembangan teknologi digital yang penetrasinya cukup tinggi dan menjangkau hingga berbagai kalangan, maka peredaran informasi menjadi kian sulit terbendung. Namun, rupanya hal ini menimbulkan suatu polemik baru. Informasi benar dan salah menjadi campur aduk.

Banyak netizen di Indonesia memiliki kecenderungan berlomba-lomba melemparkan isu dan ingin dianggap yang pertama. Hal ini nampak dalam pengiriman pesan melalui aplikasi WhatsApp, Facebook, Twitter, dan sebagainya. Meski demikian, persoalan persebaran informasi palsu atau hoax, tak hanya menjadi permasalahan di Tanah Air, tetapi menjadi isu global.

Dalam konteks semacam itu, kini pemerintah harus berfokus pada ‘hulu’ persebaran informasi palsu itu, dan bukan hanya melakukan pembatasan atau pemblokiran, melainkan lebih kepada bagaimana mengembangkan literasi masyarakat.

Masyarakat diharapkan lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial. Misalnya, memastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian menyebarkannya. (*)
Penulis Adalah Dosen UMSU

Close Ads X
Close Ads X