Galakkan Ber-KB

Jokowi kembali menggalakkan program KB. Karena disebutkan bahwa dengan ber-KB, maka perencanaan keluarga untuk menggapai masa depan lebih akan lebih baik. Namun di benak orang banyak, yang mendengar kata Keluarga Berencana (KB), pemikiran selalu tertuju pada jumlah penduduk, pembatasan kelahiran dan yang lebih parah adalah KB sama dengan alat- alat kontrasepsi, mulai dari kondom, pil, suntik, dan lain- lainnya.

Di masyarakat pun yang sangat ramai justru penggunaan secara teknis apa yang dipakai, lebih menguntungkan memakai alat kontrasepsi yang mana, kelebihannya apa dan kekurangannya apa. Sangatlah wajar apabila masyarakat mempunyai pemahaman seperti itu, yang itu tidak terlepas penerimaan dan pemahaman masyarakat yang dibentuk oleh kampanye yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Strategi kampanye dilakukan lebih ditekankan pada teknis penggunaan alat kontrasepsi dan lebih mengenalkan produk- produk kontrasepsi, bukan pada hakikatnya mengapa harus menggunakan alat tersebut.

Indonesia bisa menjadi proyek percontohan dunia dalam hal keberhasilan pengendalian jumlah penduduk, atau kebehasilan penggunaan alat kontrasepsi. Jika ditinjau lebih jauh, pemaknaan Keluarga Berencana (KB) lebih dari sekedar alat kontrasepsi. Secara jangka panjang, Keluarga Berencana lebih menekankan pada kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga.

Yang secara mikro pembentukan keluarga berkualitas meliputi aspek sejahtera, sehat, harmonis, bertanggungjawab, dan bertakwa. Dan keharmonisan itu dapat terwujud, apabila dalam keluarga sudah membudaya sifat egaliter (setara) antara satu orang dengan orang lainnya, antara suami dan istri, juga penghuni yang lainnya. Keharmonisan tidak akan muncul, jika ada dominasi dan sikap otoriter dalam keluarga. Entah suami, istri atau anggota yang lainnya. Banyak kejadian di masyarakat menunjukan pola- pola semacam itu berdampak negatif dan paling banyak dirasakan oleh perempuan.

Secara teknis penggunaan alat KB justru menjadikannya sakit, kegemukan, dan gangguan alat reproduksi lainnya. Sehingga menuju kesetaraan tersebut dapat ditempuh dengan selalu mendialogkan tentang perencanaan keluarga secara matang. Contoh kecil secara teknis juga membahas alat kontrasepsi apa yang akan dipakai untuk keluarga atau bahkan tidak menggunakan alat kontrasepsi, karena dianggap merugikan dalam perencanaan keluarga tersebut.

Slogan banyak anak banyak rezeki sudah tidak bisa diterapkan di Indonesia lagi. Anak itu memang anugerah dari Tuhan YME. Oleh sebab itu, memiliki anak sebaiknya merupakan hasil dari perencanaan yang matang. Kapan sebaiknya ingin memiliki anak, berapa lama sebaiknya jarak kelahiran antara anak pertama dengan anak selanjutnya serta berapa banyak anak yang ingin dimiliki agar kita semua tidak menyia nyiakan ‘titipan’ Tuhan tersebut.

Kalau kita ikut KB maka kita merupakan dari orang orang yang tidak egois. Kenapa begitu ? Karena dengan mengikuti KB artinya kita menyadari tanggung jawab besar dalam mengasuh anak anak. Kalau anak kita cuma dua, maka kita bisa merawat dan membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Kita masih bisa membantu orang tua secara optimal, masih bisa membantu anak-anak yatim dan juga bisa membantu saudara saudara yang membutuhkan uluran tangan. Apalagi bila dilihat dari kaca mata makro, kita turut serta memajukan bangsa Indonesia dengan mendidik anak-anak yang berkualitas tinggi agar tidak kalah dengan bangsa lain. (*)

Close Ads X
Close Ads X