Oleh : GNC Aryani
Skema perdagangan global yang inklusif, mungkinkah? Bagi kelompok Ekonomi 20 (G20) maka itu adalah sebuah target berkelanjutan yang membutuhkan upaya yang tidak sedikit serta jauh dari mudah. Selama satu tahun masa kepemimpinannya atas kelompok G20, Turki, yang mengambil alih kepemimpinan dari Australia, mencoba mendorong mitra-mitranya di G20 untuk menyepakati bersama sebuah dunia yang lebih terbuka. Sebuah sistem kerja sama yang lebih luas.
Apabila selama beberapa tahun terakhir para anggota G20 mendorong peningkatan kerja sama perdagangan intra kelompok maka 2015 Turki membawanya selangkah lebih maju dengan merangkul negara-negara di luar G20.
Inklusivitas dalam skema perdagangan global dinilai oleh Pemerintah Turki sebagai satu-satunya cara untuk meraih kemakmuran bersama. Dalam pertemuan tingkat Menteri Perdagangan G20, Menteri Ekonomi dan Perdagangan Turki Nihat Zeybekci bahkan menyebut perdagangan memiliki peran vital untuk mengamankan perdamaian dan kemakmuran, belajar dari masa sulit di abad 20 yang harus dilalui dengan dua kali Perang Dunia dan sejumlah perang kawasan.
Ia bahkan menilai jika satu negara memiliki kemakmuran dan perdamaian, maka hal itu tidak akan abadi tanpa melibatkan negara-negara tetangganya. “Berbagi sumber daya yang ada dengan cara-cara yang adil,” tegasnya. Ia meyakini jika seseorang ingin mencapai kesuksesan, maka ia harus membiarkan orang lain juga sukses.
Oleh karena itu, G20 harus memimpin pencapaian kemakmuran bersama dengan membantu negara-negara tetangganya. Salah satu upaya untuk mencapai skema perdagangan global itu Zeybekci mengajak para anggota G20 untuk menghapus semua hambatan yang ada, termasuk rintangan-rintangan tak kasat mata yang menghalangi berkembangnya perdagangan.
Mengingat G20 menyumbang hampir 80 persen perdagangan dunia, keputusan G20 –Turki, Australia,Tiongkok, Indonesia, Argentina, Brazil, Kanada, Prancis, Jerman, India, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa– akan memainkan peran yang sangat penting pada kesuksesan wacana tersebut.
Menuju Asistensi Ditemui seusai pertemuan tingkat menteri G20 di Istanbul, Turki, Selasa (6/10), Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengamini inklusivitas sebagai salah satu poin penting yang menjadi perhatian G20.
Ia mengatakan bahwa salah satu yang menjadi perhatian anggota G20 adalah upaya-upaya yang bisa dilakukan masing-masing anggota untuk mengurangi proteksionisme dan meningkatkan kerja sama di fora internasional.
Sejalan dengan upaya G20, Mendag menilai proteksionisme bukanlah solusi untuk mencapai kemakmuran bersama melalui peningkatan kerja sama perdagangan. Ia menjelaskan bahwa dalam sejarahnya tidak tercatat suatu negara yang menjadi sukses dengan menerapkan proteksionisme yang berlebihan. “Proteksionisme sering kali hanya menjadi jalan pintas,” ujarnya.
Menurut lulusan Universitas Harvard itu, kebijakan Pemerintah Indonesia saat ini adalah mencoba mengubah kebijakan proteksionisme menjadi asistensi atau dukungan. “Beberapa pihak berpikir dengan menghambat impor maka akan meningkatkan ekspor, faktanya semakin dihambat justru semakin sulit untuk meningkatkan ekspor,” katanya.
Namun, untuk menggeser kebijakan proteksionisme menjadi asistensi diakui oleh Mendag tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia menyebut komunikasi sebagai salah satu tantangan utama. Pemerintah, lanjut dia, harus aktif menjelaskan dan memaparkan kepada seluruh pihak terkait setiap perubahan kebijakan yang diambil agar tidak ada pihak yang merasa ditinggalkan atau dirugikan.
Selain menyoroti tentang upaya untuk membuat skema perdagangan global makin inklusif, G20 tahun ini menurut Mendag juga menggarisbawahi faktor implementasi atau penerapan.
“Saya kira cukup gesit Turki menyoroti implementasi saat ini,” katanya.
Ia kemudian bertutur bagaimana Presiden Joko Widodo acap kali mempertanyakan acara-acara internasional yang terlalu banyak “pidato” namun sedikit mewujudkan hal-hal yang nyata atau konkret.
Di Istanbul, kata dia, anggota G20 diminta untuk lebih serius memperhatikan faktor implementasi.Namun terkait mekanisme pengawasan implementasi itu, senada dengan Zeybekci, Mendag juga mengatakan bahwa prosesnya masih mengarah pada laporan dari negara-negara pelaksana. Ia menyebut komitmen untuk memenuhi pernyataan dan kejujuran sebagai tolok ukur utama.
Merangkul yang Lemah
Sekalipun G20 mendorong penghapusan hambatan-hambatan kerja sama perdagangan dengan cara mengurangi proteksionisme, namun bukan berarti kelompok yang berawal dari pertemuan antara menteri keuangan dan gubernur bank sentral usai krisis keuangan Asia pada 1999 itu mengabaikan kelompok yang lemah.
Kelompok-kelompok yang selama ini terabaikan tampaknya justru mendapat panggung dalam G20 tahun ini. Upaya Pemerintah Turki untuk menciptakan skema perdagangan global yang inklusif, melibatkan negara-negara tetangga G20 khususnya negara Afrika dan berpendapatan rendah, bukan hanya satu-satunya upaya untuk merangkul kelompok yang selama ini belum terjamah.
Kelompok Bisnis 20 (B20) pun tahun ini mendorong para pemangku kepentingan di G20 untuk memberikan perhatian lebih pada sektor usaha kecil dan menengah (UKM), yang mereka sebut sebagai salah satu penopang perekonomian.
“Ketika bicara inklusivitas, kami juga ingin bicara tentang usaha kecil dan menengah yang selama ini belum pernah disinggung,” kata Ketua B20 Turki Rifat Hisarciklioglu.
B20 tahun ini menyerahkan 19 poin rekomendasi dalam pertemuan tingkat Menteri Perdagangan G20 dengan harapan untuk disampaikan dalam Pertemuan Puncak G20 di Antalya, Turki, pada November nanti.
Ia memaparkan bahwa usaha kecil dan menengah merupakan komponen penting di banyak negara namun karena skala usahanya yang kecil suara mereka acap kali tidak terdengar padahal setiap perubahan kebijakan ekonomi juga akan memberikan dampak pada usaha mereka. Berbeda dengan perusahaan besar, tambah dia, usaha kecil dan menengah tidak memiliki sistem lobi tersendiri. “Di sinilan B20 mencoba hadir,” katanya.
Dalam daftar rekomendasinya, dari 19 poin rekomendasi, B20 memberikan empat poin khusus untuk usaha kecil dan menengah. Rekomendasi B20 pada pemerintah terkait usaha kecil dan menengah antara lain mengimbau transparasi data nilai kredit UKM, meminta perluasan akses pendanaan alternatif bagi UKM, memberikan bantuan bagi UKM untuk memenuhi standar internasional, dan mendorong akses UKM pada ekonomi digital.
Terkait ekonomi digital, Mendag Thomas Lembong menyatakan bahwa Indonesia telah memulai upaya tersebut di Kementerian Perdagangan dan kini membantu kementerian-kementerian mitra untuk melakukan hal serupa. “Piranti digital ini akan sangat membantu meningkatkan perdagangan,” katanya.
Teknologi bagaimanapun juga diamini oleh banyak pihak sebagai salah satu alat yang ampuh untuk menjembatani dan bahkan menghapus jarak. Dan G20 yang separuhnya dihuni oleh negara-negara maju tentu tidak akan mengabaikan pemanfaatan teknologi dalam mencapai target menciptakan sebuah kemakmuran bersama yang berkelanjutan. Apalagi jika harapan untuk menciptakan blok ekonomi tunggal di dunia yang menjadi garis finisnya. (ant)
: