Oleh : Lidia SPd I
Setiap orang memiliki permasalahan tersendiri dalam mendidik anak, begitu juga seorang guru pasti memiliki problematika tersendiri dalam mendidik siswa. Permasalahan tersebut tidaklah harus dibiarkan begitu saja, tetapi harus dicarikan solusinya.
Untuk menanamkan karakter pada anak tidaklah semudah membalikkan telapak tangan dan harus dilakukan secara kontiniu.
Penanaman karakter pada anak dapat diibaratkan sebuah batu yang memiliki karakter keras. Namun untuk menghancurkan batu yang memiliki karakter keras tersebut tentunya kita memerlukan sesuatu yang lebih keras seperti baja misalnya.
Tetapi pada kondisi yang berbeda alam telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana tetesan-tetesan air yang lembut, mampu melubangi batu yang keras. Walaupun air tidak mampu menghancurkan batu dalam waktu cepat, namun seiring berjalanya waktu, tetesan-tetesan kecil yang ada setiap saat mampu menghancurkan karakter batu yang keras. Inilah pelajaran dari alam.
Dengan demikian, maka untuk menanamkan karakter kepada anak harus dengan kesabaran, sebab menanamkan karakter kepada anak harus dilakukan secara berkesinambungan. Kemudian antara penyelenggaraan pendidikan dan penanaman karakter memiliki hubungan yang berkaitan.
Karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki visi, yang salah satunya adalah mewujudkan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter. Namun sayangnya ekosisitem pendidikan karakter bangsa ini belum terbangun dengan baik. tentu kita masih ingat, kebijakan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan.
Beliau telah memberikan gebrakan baru dan merevisi regulasi bermasalah yang selama ini menjangkiti pendidikan nasional, salah satunya adalah penghapusan fungsi ujian nasional (UN) sebagai syarat kelulusan.
Faktanya kebijakan ujian nasional yang merupakan syarat kelulusan bagi siswa telah melahirkan berbagai macam tindakan yang tidak mencerminkan karakter yang baik, salah satunya adalah melahirkan berbagai macam kecurangan, baik individual maupun sifatnya terstruktur dan sistematis.
Karena itu, melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, merupakan langkah pemerintah untuk memperkuat regulasi pembentukan karakter di lingkungan pendidikan, khususnya lingkungan sekolah.
Misalnya, untuk menumbuhkan cinta tanah air, guru dan siswa di perintahkan untuk melakukan upacara bendera dan menyanyikan lagu-lagu wajib nasional di ruang kelas atau setiap apel pagi. Kemudian orang tua juga dihimbau untuk mengantar anaknya pada hari pertama masuk sekolah, sebagai langkah awal kerjasama antara orangtua dan guru dalam mendidik anak.
Jika dianalisis, apa yang di cantumkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tersebut tentang penumbuhan budi perketi tersebut, telah dipraktekkan oleh sebagain lembaga pendidikan.
Mengutib tulisan Doni Koesoema A, bahwa pada banyak sekolah, praksis pembentukan karakter yang memperkuat lembaga pendidikan sebagai komunitas moral belum banyak berkembang.
Yang banyak dilakukan masih bersifat kulit luar, seperti upacara bendera, 5S (senyum, salam, sapa, sopan, santun), menyanyikan lagu nasional, atau praksis ritual keagamaan.
Jika berbicara mengenai lembaga pendidikan yang merupakan sebuah komunitas pembentukan karakter, maka yang seharusnya menjadi fokus adalah pembentukan karakter peserta didik.
Dengan demikian, bagaimana seharusnya sebuah lembaga pendidikan khususnya sekolah mampu menumbuhkan karakter individu sebagai pembelajar sepanjang hayat, pelajar yang memiliki visi karakter dalam hidupnya.
Saat ini, lembaga pendidikan di negeri ini belum dapat menjadi sebuah ekosistem yang menumbuhkan pendidikan karakter bangsa. Hal ini terjadi karena, adanya beberapa contoh nyata dari beberapa kebijakan pemerintah yang terkait dengan pendidikan yang dirasakan kurang tepat.
Misalnya, pada satu sisi pemerintah telah mencabut fungsi UN sebagai syarat kelulusan bagi siswa, namun pemerintah tetap saja menjadikan UN sebagai syarat masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Tentunya kebijakan tersebut akan menjadikan posisi UN sebagai high-stakes testing sehingga potensi kecurangan dan manipulasi nilai tetap akan terjadi di lembaga pendidikan. Maka akibat yang muncul dari kebijakan tersebut adalah guru akan disibukkan dengan penanaman aspek kognitif saja, sedangkan penanaman aspek afektif (sikap) akan di nomor duakan, bahkan diabaikan.
Karena itu, jika pemerintah ingin mewujudkan ekosistem pendidikan yang berkarakter maka pemerintah harus berani membuat kebijakan dengan merevisi kebijakan pendidikan yang kontraproduktif bagi lahirnya ekosistem pendidikan yang berkarakter.
Kemudian, sebagai seorang pendidik mari kita selau membimbing anak didik kita, dalam melakukan hal-hal yang baik dan tidak pernah bosan untuk memotivasi mereka untuk berkarakter baik, sebab memang untuk meraih suatu perubahan pasti membutuhkan proses.
Karena itu, Budaya seperti inilah yang seharusnya diwujudkan dalam sebuah ekosistem pendidikan karakter yang dimanajemen dalam sebuah proses pendidikan yang dijalankan.
*)Penulis Alumni FAI UMSU.