Dokter dan Gratifikasi

Pasca Irman Gusman selaku Ketua DPD yang terjerat kasus suap sekaligus gratifikasi, KPK kembali membidik profesi kedokteran. Pasalnya, ditenggarai ratusan miliar rupiah dikucur oleh perusahaan farmasi kepada para dokter dalam hal ‘hadiah’ karena telah mempergunakan obat milik mereka.

Padahal sebelumnya sudah ada kesepakatan antara Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), Kementerian Kesehatan (Kemkes), dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bahwa perusahaan farmasi tidak boleh lagi memberikan sponsorship langsung kepada dokter secara pribadi untuk mengikuti seminar sebagai syarat mendapat poin kredit agar tetap bisa menyandang profesi dokter.

Selama ini, sponsorship diidentikkan sebagai gratifikasi, bahkan suap, oleh perusahaan farmasi kepada dokter, yang akhirnya bermuara pada melambungnya harga obat. Sesuai informasi pada pertengahan September kemarin, KPK menyebut angka di kisaran Rp800 miliar pertahun digelontorkan kepada dokter.

Sebenarnya simbiosis mutualisme antara perusahaan farmasi dan dokter telah berlangsung puluhan tahun hingga dianggap sebagai kewajaran. Salah satu akibatnya, harga obat semakin mahal dan cenderung merugikan konsumen.

Meski demikian, kita masih tetap menaruh harapan pada KPK untuk menjerat semua dokter yang menerima suap dari perusahaan farmasi, pascapertemuan bersama GPFI, Kemkes, dan IDI. Praktik gratifikasi dan suap harus bisa dihilangkan agar persaingan antarperusahaan farmasi berjalan lebih sehat dan masyarakat pun bisa membeli obat dengan harga wajar. Tak heran bila sejumlah kalangan menilai harga jual obat saat ini terlalu mahal!

Untuk menjerat para dokter yang berperilaku memalukan itu, setidaknya ada lima hal yang bisa dilakukan. Pertama, KPK perlu lebih serius menelusuri data nama perusahaan farmasi dan para dokter yang menerima gratifikasi telah disebutkan dengan jelas. Dan kita yakin di antara para penerima ada yang berstatus PNS. Dengan demikian, KPK jelas memiliki kewenangan untuk memproses mereka.

Kedua, untuk menjerat dokter non-PNS, memang perlu ada revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kita mengusulkan definisi tindak pidana korupsi bisa diperluas dan diperjelas dengan mencantumkan adanya kerugian masyarakat, tidak hanya kerugian keuangan negara dan perekonomian negara. Dalam kasus pemberian gratifikasi kepada dokter, jelas masyarakat dirugikan karena harus membeli obat dengan harga lebih mahal.

Ketiga, organisasi profesi dan perusahaan serta kedokteran bisa melakukan penyelidikan internal untuk membongkar kasus tersebut. Kalau saat ini, aparat penegak hukum belum mampu menjerat dokter non-PNS yang menerima gratifikasi, organisasi para dokter dan perusahaan farmasi bisa menjatuhkan sanksi.

Keempat, Kemkes hendaknya memperketat proses tender pengadaan obat buat rumah sakit milik pemerintah dan puskesmas untuk mempersempit ruang gerak perusahaan farmasi yang berdagang dengan cara-cara curang. Kalau memungkinkan, pemberlakuan aturan tersebut bisa diperluas ke rumah sakit swasta dan klinik.

Kelima, mematok harga obat generik bermerek. Sponsorship dan gratifikasi umumnya dilakukan perusahaan yang memproduksi obat generik bermerek karena pangsa pasarnya cukup luas.Apabila pemerintah juga berani mematok harga obat generik bermerek, kita yakin praktik gratifikasi bagi dokter bisa diminimalisasi.
(*)

Close Ads X
Close Ads X