Degradasi Kota

Oleh : Boy Anugerah

Kota, sebuah kata magis yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah ruang hidup yang mampu menyihir ribuan bahkan jutaan masyarakat desa untuk berbondong-bondong mencari penghidupan,‭ ‬bahkan harga diri.‭

‬Kota,‭ ‬menjadi kata yang sangat istimewa karena diasosiasikan dengan hal-hal yang berbau gemerlap,‭ ‬level tinggi.‭ ‬Kita sering mendengar istilah‭ “‬gadis kota‭”‬,‭ “‬anak kota‭”‬,‭ ‬dan masih banyak lagi,‭ ‬yang dengan menyebutnya akan menimbulkan kesan impresif di telinga khalayak.‭

‬Yang lebih ajaib lagi,‭ ‬eksistensi kota mampu membunuh eksistensi apa yang menjadi oposisi binernya,‭ ‬yakni desa.‭ ‬Eksodus generasi muda desa ke berbagai perkotaan,‭ ‬menjadikan desa ibarat perawan tua yang tidak menarik untuk dijamah.

‭‬Seperti benda pada umumnya,‭ ‬kota juga memiliki siklus hidup.‭ ‬Ia tak selamanya kukuh berdiri dan dipuja-puja.‭ ‬Cendekiawan muslim,‭ ‬Ibnu Khaldun pernah berkata bahwa peradaban hadir seturut siklus manusia,‭ ‬lahir,‭ ‬tumbuh,‭ ‬berkembang,‭ ‬dewasa,‭ ‬renta,‭ ‬hingga punah.‭

‬Begitupun dengan kota dan peradabannya.‭ ‬Degradasi yang melanda terma kota tak lain tak bukan disebabkan oleh‭ ‬tindak tanduk para penghuninya,‭ ‬mereka yang kesohor dengan sebutan masyarakat kota.

‭‬Degradasi kota jika ditelaah dari kacamata filosofi terjadi karena cara pandang atau persepsi yang keliru mengenai kota itu sendiri.‭ ‬Penempatan kota dalam etalase kemapanan dan kemewahan di kepala masyarakat menjadikan khitah kota sebagai ruang hidup terkikis dari waktu ke waktu.‭

‬Sederhananya,‭ ‬kota yang semakin padat dari hari ke hari,‭ ‬menampung jutaan manusia,‭ ‬beton-beton berat yang tertancap di dalamnya untuk memuaskan syahwat konsumerisme para pemodal,‭ ‬menjadi‭ “‬ruang sakit‭” ‬bahkan‭ “‬ruang pembunuhan‭” ‬bagi mereka yang hidup di dalamnya.‭ ‬

Degradasi kota inilah yang langsung atau tidak langsung mengubah perilaku masyarakat,‭ ‬etika yang tidak senonoh,‭ ‬perilaku lucah,‭ ‬dan hilangnya sopan santun.‭ ‬Yang lebih fatal,‭ ‬masyarakat kota dijangkiti masokisme sosial,‭ ‬sadar kalau ini keliru,‭ ‬itu salah,‭ ‬tapi justru menikmatinya,‭ ‬walau dengan rasa sakit.

‭‬Ada banyak potret sederhana yang bisa kita cermati bahwa degradasi kota secara masif mengubah watak masyarakat.‭ ‬Kemacetan misalnya,‭ ‬yang menjadi hantu belau masyarakat perkotaan.‭ ‬Kondisi macet di jalanan dapat meningkatkan emosi masyarakat yang menggunakan kendaraan.‭ ‬

Mereka menjadi tidak sabar,‭ ‬pemarah,‭ ‬bahkan tidak segan-segan melakukan pelanggaran lalu lintas.‭ ‬Hal ini jika diakumulasi dari hari ke hari,‭ ‬bulan ke bulan,‭ ‬bahkan tahunan akan memproduksi masyarakat yang berwatak bengis.‭ ‬Sebagai contoh di Jakarta,‭ ‬terjadi dominasi mayoritas di lampu merah.‭ ‬

Lampu lalu lintas berwarna hijau untuk pengendara di sisi kanan,‭ ‬namun karena jumlah pengendara di sisi tersebut sedikit,‭ ‬sedangkan jumlah pengendara di sisi lainnya sangat besar,‭ ‬meskipun lampu menunjukkan berwarna merah,‭ ‬pengendara dalam jumlah besar yang keluar sebagai pemenang.‭

Lampu lalu lintas menjadi saksi bisu kesantunan masyarakat kota yang sudah tergerus.‭ ‬Belum lagi jika kita menyaksikan semakin banyaknya jasad kucing di jalanan karena terlindas pengendara.‭ ‬Kucing sudah dianggap sama murahnya dengan tikus-tikus selokan.

‭‬Kota dilanda sekarat,‭ ‬mungkin kalimat tersebut tidak berlebihan.‭ ‬Coba lihatlah mereka yang hidup di pinggir-pinggir sungai,‭ ‬di dekat rel kereta api,‭ ‬di bawah kolong jembatan.‭ ‬Fakta ini tidak pantas lagi disebut sebagai‭ ‬City Undercover,‭ ‬karena sudah menjadi rahasia umum.‭ ‬

Jumlah merekapun tidak sedikit.‭ ‬Anehnya mereka yang hidup dalam suasana prihatin tersebut dijangkiti masokisme sosial.‭ ‬Sadar kondisi tersebut tidak sehat,‭ ‬namun tetap dijalani,‭ ‬bahkan menarik sanak saudara di pedesaan untuk napak tilas jejak mereka.‭ ‬Laku aparat negara dalam merespon fenomena ini juga lebih ajaib.‭

‬Penggusuran,‭ ‬relokasi paksa,‭ ‬bahkan tak segan menggunakan tentara.‭ ‬Semuanya dilakukan dengan dalih mencipatakan keamanan,‭ ‬ketertiban,‭ ‬memangkas sumber banjir dan kemacetan.‭ ‬Masokisme sosial masyarakat dihadapi dengan kebijakan simulakra.‭ ‬Klop.‭ ‬Semakin sekaratlah sebuah kota.‭ ‬Dalam sekaratnya kota,‭ ‬kaum berduit dan berkuasa jadi pemenang,‭ ‬yang lemah jadi pecundang.

‭‬Kondisi tersebut di atas terus terang menjadi kerisauan penulis.‭ ‬Benarkah sedemikian sakitnya kota-kota di Indonesia saat ini‭? ‬Dalam sebuah kesempatan berkunjung ke negara-negara Asia Tenggara tahun ini,‭ ‬penulis menyempatkan diri untuk memotret kehidupan masyarakat kota di negeri jiran sebagai bahan perbandingan.‭

‬Pertama,‭ ‬Kuala Lumpur yang menjadi ibukota Malaysia.‭ ‬Ada satu hal yang membanggakan,‭ ‬meskipun hendak naik bus sekelas Kopaja atau Metro Mini di Jakarta,‭ ‬masyarakat Kuala Lumpur tak sungkan membentuk antrian di jalan agar bus gampang mengakomodasi para penumpang.‭ ‬Ini terjadi di pinggir jalan‭! ‬Kedua di Singapura.‭

‬Dari segala aspek kita kalah apabila dibandingkan dengan negeri ini.‭ ‬Kota dipermak sebagai barang yang sangat mewah dengan ongkos hidup yang tidak sedikit,‭ ‬serta dibungkus kedisiplinan tingkat tinggi.‭ ‬Namun penulis sempat memotret sisi negatif masyarakat kota Singapura.‭

‬Kedisiplinan justru menghadirkan ketidakramahan.‭ ‬Di restauran-restauran Singapura,‭ ‬pengunjung rumah makan tidak diperkenankan mencuci tangan di toilet restauran.‭ ‬Pengunjung diminta untuk mencari wastafel terdekat di tempat lain.

‭‬Di Ho Chi Minh City Vietnam,‭ ‬penulis sempat mendapatkan pembelajaran menarik.‭ ‬Di tengah kemapanan yang belum menyentuh masyarakatnya,‭ ‬masyarakat Vietnam adalah masyarakat yang ramah.‭ ‬Mereka yang tak cakap berbahasa Inggris berlaku sangat ramah dengan turis.‭ ‬Mereka berusaha sekuat tenaga membantu para turis yang tidak tahu lokasi yang hendak dituju.‭

‬Mereka tak kehilangan akal dengan menggunakan gerak-gerik tubuh mereka agar bahasa mereka bisa dipahami.‭ ‬Dalam persepsi mereka,‭ ‬mungkin,‭ ‬mereka tak hendak mengecewakan para pengunjung kota yang mereka diami.‭ ‬Ada harga diri yang mereka pertahankan agar kota mereka dicap sebagai kota yang ramah oleh bangsa lain.

‭‬Pengalaman penulis di atas menghadirkan sebuah pemahaman bahwa memang benar kota tak selamanya buruk,‭ ‬ada sisi positifnya.‭ ‬Namun demikian,‭ ‬dalam konteks Indonesia,‭ ‬degradasi kota adalah sebuah permasalahan riil di depan mata.‭ ‬

Degradasi kota harus segera disikapi.‭ ‬Tidak bisa tidak.‭ ‬Terlebih bagi mereka yang berstatus pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan.‭ ‬Perlu dilakukan rekayasa sosial agar kota kembali sehat dan menjadi ruang hidup yang sejuk bagi para penghuninya.‭

‬Watak masyarakat kota yang kadung terlanjur menjadi bengis,‭ ‬intoleran,‭ ‬antipati bukanlah sebuah kondisi yang tidak bisa dikembalikan,‭ ‬bahkan dibalikkan.‭ ‬Lagi-lagi kata rekayasa sosial menjadi kunci.‭ ‬Segala pendekatan harus ditempuh,‭ ‬baik melalui mekanisme koersif,‭ ‬maupun mekanisme persuasif.

‭‬Dalam konteks mekanisme koersif,‭ ‬pemerintah wajib menelurkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata hidup masyarakat kota,‭ ‬mulai dari lalu lintas,‭ ‬kebersihan,‭ ‬keamanan,‭ ‬ketertiban,‭ ‬hingga hal-hal terkecil.‭

‬Yang terpenting dari peraturan ini adalah kapasitas peraturan yang mampu membangun dan menumbuhkan kesadaran sosial masyarakat,‭ ‬bukan yang bersifat menghukum apalagi mematikan.‭ ‬Peraturan seyogianya juga bukan pesanan para pemodal atau pihak-pihak yang memiliki‭ ‬vested interest.

‭‬Dalam konteks persuasif,‭ ‬dibutuhkan pranata-pranata yang tangguh yang mampu menguatkan kepribadian dan watak masyarakat kota ke arah yang lebih baik.‭ ‬Kontribusi pranata-pranata sosial seperti lembaga-lembaga keagamaan,‭ ‬kepemudaan,‭ ‬dan‭ ‬kemasyarakatan,‭ ‬bahkan keluarga sebagai pranata terkecil sangat dibutuhkan.‭ ‬

Di berbagai pranata itulah internalisasi nilai-nilai ditanamkan,‭ ‬juga tak tertutup kemungkinan untuk direjuvenasi sesuai dengan kondisi dan tantangan.‭ ‬Oleh sebab itu perlu dukungan dari pemerintah agar setiap pranata sosial kemasyarakatan kembali bergigi dan menjalankan fungsi dasarnya.

‭‬Kota adalah ruang hidup.‭ ‬Jangan jadikan kota sebagai kuburan masal bagi etika dan sopan santun masyarakatnya.‭ ‬Kita semua berharap agar definisi kota tidak lagi konotatif seiring dengan meningkatknya kesadaran dari segenap penduduknya,‭ ‬juga‭ ‬komitmen dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan.‭ ‬Semoga.

*) Penulis ‬Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia

Close Ads X
Close Ads X