Cakrawala Integrasi Nasional

Oleh : Erni Sukmawati Harahap Sag
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang luasnya secara keseluruhan 5.193.250 km² masing-masing luas wilayah daratan 2.027.087 km² serta luas wilayah perairan 3.166.163 km². Sebagai Kepulauan Nusantara yang terdiri kurang lebih 17.508 pulau dengan sejumlah laut, selat, dan diapit dua samudera [Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pemisahan yang terjadi di antara pulau, serta laut dan selat, maka sesuatu yang wajar kalau adanya perbedaan daerah atau lingkungan alam dan budaya serta keragaman bahasa, etnis, dan adat istiadat. Suku bangsa yang menghuni Nusantara ini 362 suku dengan sejumlah 749 bahasa. Beberapa etnis lain merupakan imigran yang juga banyak di antaranya sudah ratusan tahun menghuni di Indonesia, antaranya dari Tiongkok, Arab, India, Pakistan, serta lain-lainnya, telah berasimilasi secara alami dengan penduduk dengan status Warga Negara Indonesia. Dan kesemuanya itu tetap menyatu secara utuh di bawah “Lambang Negara Garuda Pancasila dengan sem­boyan Bhinneka Tunggal Ika” [Pasal 36A UUD 1945].

Dari itu, berwujud integrasi mas­yarakat, oleh Agus Suyitno apabila setiap warga mampu mengendalikan prasangka yang ada di masyarakat sehingga takkan terjadi konflik atau dominasi. Dari integrasi masyarakat itu menjelma menjadi integrasi nasional. Perbedaan atau keragaman bukan sebagai faktor pemecahbelah, namun justru menjadi faktor perekat pada lingkungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dalam bingkai integrasi nasional. Karenanya, penyatuan nusa, bangsa, dan bahasa sebagai suatu sendi-sendi yang berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Pada Pasal 25A UUD 1945 [Amandemen Ke­e­mpat] dinyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara”. Republik Indonesia ini pada masa sekarang di­bagi atas 34 Daerah Provinsi serta 308 Kabupaten & 81 Kota sebagai Daerah Otonom. Dan sejak Sumpah Pemuda, tekad untuk menjadikan satu Tanah Air, Kebangsaan, dan Bahasa tetap dan makin mantap walau telah berulangkali terjadi pemberontakan separatis serta beberapa kali mengalami konflik horizontal di beberapa tempat. Tak terhitung peristiwa kegaduhan politik dan kerusuhan massal, namun tak menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Agus Suyitno mengemukakan bahwa integrasi nasional sebagai wujud solidaritas so­sial yang begitu kental merasuk ke dalam kalbu antargolongan pemuda pada Sumpah Pemuda tahun 1928. Kaum muda yang bergabung, berbaur, dan menyatu dalam kadar solidaritas sosial yang tinggi, supaya terwujudnya integrasi sosial-nasional. Di sisi lain, suatu filosofi bahwa bangsa dan budaya Indonesia pada hakikatnya satu. Walau kenyataan adanya berbagai suku bangsa, ras, dan corak ragam budaya yang ada itu justru menggambarkan kesatuan budaya nasional keseluruhannya. Sehingga menjadi modal dasar bagi terwujudnya integrasi nasional.

Integrasi nasional menurut pandangan James J. Coleman mempunyai dua dimensi, yaitu vertikal [elit-massa] dan horizontal atau teritorial. Pada dimensi vertikal bertujuan untuk menjembatani celah perbedaan yang mungkin ada antara elit dan massa dalam rangka pengembangan suatu proses pembangunan politik terpadu dan membangun partisipasi politik. Sedangkan integrasi teritorial adalah integrasi dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.

Mewujudkan integrasi nasional me­mang tak dapat dipisahkan dari komunikasi an­tara elit dengan massa serta perlu menghubungkannya dengan kultur dalam masyarakat, yang harus ada interaksi. Mengutip pemandangan Soerjanto Poes­powardojo, pengembangan bangsa Indonesia sebagai struktur terwujud dalam pola-pola serta relasi-relasi dari interaksi masyarakat. Setiap warga menjalankan kegiatannya sesuai dengan kemampuan dan keinginannya selama yang dilakukannya tidak merusak atau mengganggu lingkungan kehidupan. Dan dalam konteks struktur, maka kegiatan dan interaksi itu memperlihatkan pola-pola dan relasi-relasi tertentu.

Dari situ, tampak empat nilai dasar yang perlu dibina. Pertama solidaritas bangsa mengandung usaha untuk men­cegah setiap bentuk perpecahan, baik itu dalam kelompok, golongan, maupun suku, fragmentasi yang memecah belah nasionalisme serta disintegrasi sebagai pencerminan kelemahan ikatan budaya masyarakat, yang selanjutnya memupuk rasa kebersamaan, kerukunan, rasa kepekaan untuk kepentingan bersama. Kedua ialah partisipasi masyarakat, menghindarkan proses marginalisasi sosial terutama karena arus urbanisasi, isolasi, serta pengucilan individu dari lingkungannya, serta sebaliknya mendorong tumbuhnya alam kehidupan demokratis.

Dalam pola kemasyarakatan yang demikian itu akan terbukalah komunikasi timbal balik yang mendorong dinamika bangsa. Ketiga, pemerataan yang merupakan nilai dasar yang ditekankan dalam pembangunan nasional. Sehingga secara sistematis tercegah bentuk-bentuk eksploatasi dan tekanan terhadap golongan lemah. Serta keempat yakni otonomi, terkandung pengertian akan adanya kemampuan bangsa untuk mencegah ketergantungan serta menangkal usaha-usaha penetrasi dan dominasi.

Soerjanto Poespowardojo mengemu­kakan di antara pelaku dan struktur itu harus memiliki interaksi yang se­im­­bang. Di dalam lingkungan ke­hi­dupan masyarakat, pelaku-pelaku itu dituntut kreatif-dinamis, sehingga ma­m­pu mengadakan pembaharuan dalam struktur kehidupannya. Oleh sebab itu yang perlu dipelihara adanya keseimbangan yang progresif antara pelaku dan struktur. Dari interaksi itu terungkaplah nilai-nilai dasar yang mencakup pertama, keadilan sosial, dimaksudkan adanya mekanisme pe­ngaturan sedemikian rupa, sehingga sejatinya masing-masing anggota mas­yarakat tidak hanya sekedar diakui haknya, tetapi juga dapat menikmati haknya secara nyata.

Keadilan itu berlaku dalam mengatur hubungan antara individu terhadap individu, antara individu terhadap masyarakat, antara masyarakat terhadap individu. Kedua, keamanan bukan saja diartikan secara fisik, melainkan juga sebagai ketenangan batin yang selalu didambakan oleh setiap warga sebagai nilai dasar. Dan ketiga keseimbangan lingkungan, meru­pakan nilai dasar yang diharapkan menyelamatkan eksistensi manusia itu sendiri.

Mengingat berbagai masalah bangsa yang semakin membebani kehidupan ber­m­a­s­­ya­rakat, berbangsa, dan bernegara ser­­ta perjalanan bangsa Indonesia telah mengalami berbagai konflik, baik konflik vertikal maupun horizontal sebagai akibat dari ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, le­mahnya penegakan hukum, serta prak­tek korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Karena itu Sidang Tahunan MPR RI pada Tahun 2000 mempertimbangkan perlu ada kesadaran dan komitmen seluruh bangsa untuk menghormati kemajemukan bangsa Indonesia da­lam upaya untuk mempersatukan ke­hidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi tetap tegaknya NKRI menuju masa depan yang lebih baik. Seterusnya Sidang Tahunan MPR RI pada Tahun 2000 menetapkan Ketetapan Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Salah satu dari arah kebijakannya ialah meningkatkan kerukunan sosial melalui dialog dan kerja sama dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan, toleransi, dan salung menghormati. Intervensi pemerintah dalam kehidupan sosial budaya perlu dikurangi sedangkan potensi dan inisiatif masyarakat perlu ditingkatkan.

Seterusnya, MPR RI bersidang pada Sidang Tahunan pada Tahun 2001 dan bersepakat memutuskan Ketetapan Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, antaranya di Bab III menyebutkan “Tantangan Menjelang Tahun 2020” memperioritaskan pemantapan persatuan bangsa dan kesatuan negara antara lain menyatakan “Kemajemukan suku, ras, agama, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang harus diterima dan dihormati.

Pengelolaan kemajemukan bangsa secara baik merupakan tantangan dalam mempertahankan integrasi dan integritas bangsa” Salah satu upaya yang sangat mungkin dilakukan agar terwujudnya integrasi nasional ialah melalui lapangan pendidikan. Sebab pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dan salah satu aspek tujuan pendidikan nasional ialah menjadikan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kemudian, di antara prinsip penyeleng­ga­raan pendidikan dilakukan secara de­mok­ratis serta tidak diskriminatif dengan me­n­junjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dari aspek itu, proses pendidikan dan pembelajaran akan mampu memberi keteladanan kepada peserta didik sehingga berhasil membangun sikap saling memahami dan saling memelihara persatuan dan kesatuan nasional, membangun kemauan peserta didik agar saling memantapkan interaksi antar individu seterusnya akan dapat menerima kemajemukan di antara sesamanya, memupuk solidaritas sosial yang kuat antar peserta didik.

Serta mengembangkan kreativitas peserta didik secara terus-menerus, sehingga terinspirasi untuk membudayakan ke­ragaman sebagai suatu hal yang menjadi bagian hidup dan kehidupan. Secara bertahap tentunya diimpikan suatu integrasi nasional yang alami, dan bukan karena paksaan dan tekanan.
*) Penulis, Pengawas Pendidikan Agama Islam pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Simalungun.

Close Ads X
Close Ads X