Bisakah Hapus Gojek?

Ojek selama ini dikenal sebagai usaha/pekerjaan/bisnis informal. Dan di Indonesia, berasal dari Jakarta kemudian merembes hingga kemana-mana, termasuk ke Medan. Bila di Jakarta, yang punya jalan macet dan semerawut, ojek bisa dibilang biangnya solusi buat transportasi cepat efisien dan ekonomis.

Yang dimaksud bisnis informal disini adalah bisnis yang tidak bisa dicampur tangan sama pemerintah, sebagai usaha yang diluar sistem yang ada, dan tidak tersentuh pajak.Tapi bisnis ini sering disorot bukan hanya karena statusnya yang seperti angin segar di antara hawa panasnya Jakarta.

Tapi juga karena penolakan dari mereka yang belum jadi bagian Go-Jek, atau merasa dirugikan oleh Go-Jek, dan juga mereka yang masih berpikiran konvensional dan tradisional.

Kemarin di Medan, Selasa (21/2), ratusan betor menggelar aksi demo menolak keberadaan gojek dan sejenisnya. Karena hal ini dirasa sangat urgent, lantaran menggerus pendapatan pengemudi betor secara drastis. Miris memang.

Selama ini tukang ojek punya pendapatan fluktatif dan punya pangkalan yang jadi tempat tongkrongannya. Mereka mengakui cara mereka mencari uang tidak terorganisir dengan baik dan masih banya celah di mana-mana, dan tidak efektif.

Hawa baru seperti Go-Jek seperti membawa sisi profesional dari bisnis ojek ini. Baik tukang ojek maupun pelanggan sama-sama merasakan nikmat positifnya dari bertiupnya angin profesionalisme di bisnis ini.

Meski demikian, perdebatan antara mereka yang pro dan mereka yang kontra sepertinya tidak akan pernah habis. Tapi semua ini pasti ada akhirnya, dan jawaban akhir hanya bisa dijawab oleh waktu dan selera pasar.

Pemerintahan Presiden Jokowi diminta tidak meninggalkan transportasi konvensional, karena mereka itu anak bangsa sendiri yang lahir, tumbuh dan besar Tanah Air. Kini, mereka terpuruk, diserbu transportasi online yang menghindar pajak.

Jadi, jangan sampai transportasi online yang murah itu menghindari pajak, sedangkan yang konvensional sejak dulu sudah taat pajak, patuh pada UU, dan lengkap dengan berbagai surat yang disyaratkan.

Bagaimana dengan Gojek dan Grabbike, alih-alih sebagai transportasi mudah dan murah. Bisa saja dengan kebijakan bersama membuat tanda khusus di sepeda motor dan diperbolehkan untuk ojek. Semisal dengan stiker sebagai bea pajak bisnis transportasi, atau kartu khusus ojek. Sama halnya dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang miliki sertifikasi dari Balai kerja BNPTKI. Nah resmi toh.

Namun, lagi-lagi hingga saat ini pemerintah belum ada semacam rapat kerja antara pemilik perusahaan transportasi, paguyuban pengemudi, Organda dan pemerintah. Padahal bisa saja dengan kepentingan masyarakat yang utama walaupun tidak ada niatan revisi UU saat ini bisa juga dikeluarkan Permenhub. Semua bisa saja asal mau.

Perkembangan e-commerce meningkat tapi sisi hukumnya lemah, tanpa disadari ketika pengguna transportasi online mendaftarkan nama, email, nomor telepon, alamat jemput, tujuan dan kartu kredit.

Pertanyaannya, apakah aman? Data kita benar-benar disimpan dengan baik atau malah ada jual beli data. Ini yang lemah dan tak banyak kita sadari hanya ribut tentang teknis tanpa disadari kejahatan cyber crime bisa menjamur dengan data pribadi kita diamanatkan kepada perusahaan asing yang numpang bisnis di Indonesia.

Siapakah yang merugi. Bukan pengguna tapi akhirnya kekisruhan ini berakhir dihancurnya mata pencaharianyang nota bene masyarakat kelas menengah bawah. Sehingga lagi-lagi karena uang perpecahan horizontal masyarakat terjadi.
(*)

Close Ads X
Close Ads X