Bawang Merah: Potensi, Masalah dan Solusi Penyelesaiannya

Oleh : Reza Mardhiyah Amir
Sebagai negara yang terletak di garis kha­­­tulistiwa dan me­ru­­pakan salah satu ne­gara yang termasuk dalam wilayah tropis, Indonesia memiliki po­tensi pertanian yang sangat baik, terutama un­tuk pertanian tropika. Salah satu produk per­tanian tropika Indonesia yang berpotensi men­jadi andalan adalah produk pertanian segar dalam bentuk buah-buahan dan sayuran.

Bawang merah, siapa yang tidak kenal dengan komoditi yang selalu ada di dapur rumah setiap orang. Komoditas yang tergolong ke dalam sayuran rempah unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif ini banyak digunakan sebagai bumbu masakan guna menambah cita rasa dan kenikmatan makanan serta obat tradisional. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah.

Meskipun bawang merah bukan termasuk bahan pokok, akan tetapi permintaannya se­­bagai bahan pangan t­e­rus meningkat dari tahun ke ta­hun, sejalan dengan per­tum­buhan penduduk, se­makin ber­kembangnya in­dustri ma­kanan jadi dan pe­ngem­bangan pasar. Begitu juga dengan penawaran bawang merah. Setiap tahun hampir selalu terjadi peningkatan produksi.

Produksi bawang me­rah In­donesia megalami trend yang po­sitif pada 2011 mencapai 893.124 ton, naik menjadi 964.­195 ton pada 2012, ke­mu­dian 1,01 juta ton pada 2013, selanjutnya pada 2014 mencapai 1,22 juta ton. Pada tahun 2015 produksi bawang merah berkisar 1.233.984 ton sedangkan per­mintaannya diperkirakan meningkat hingga mencapai 1.011.140 ton. Artinya terjadi surplus pasokan bawang merah sebesar 222.844 ton.

Prospek perkembangan ba­wang merah Indonesia di kan­cah dunia cukup baik, me­ngingat Indonesia merupakan salah satu negara eksportir bawang merah di dunia. Ber­dasarkan data Food and Agriculture Or­ga­nization (FAO) tahun 2011-2014, Indonesia menempati urutan keempat setelah New Zealand, Prancis dan Netherland. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan pertama. Meskipun ekspor bawang merah Indonesia cenderung berfluktuasi setiap tahunnya, namun hal ini dirasakan sudah cukup baik.

Berdasarkan data dari Tra­demap, pada tahun 2015 ekspor bawang merah di Indonesia m­eningkat hingga 8.418 ton dibandingkan pada periode sebelumnya yaitu tahun 2014 yang hanya sebesar 4.438 ton. Secara nilai, ekspor bawang merah Indonesia pada 2011 sebanyak US$ 6,59 juta, ke­mudian naik menjadi US$ 8,55 juta pada 2012, pada tahun 2013 dan 2014 turun menjadi US$ 2,98 juta dan US$ 2,97. Sedangkan pada tahun 2015 naik lagi menjadi US$ 7,85 juta.

Adapun negara tujuan ekspor bawang merah Indonesia yaitu Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam dan Timor-Timor. Meskipun Indonesia mengekspor dengan jumlah yang terbilang masih sedikit, namun ini dapat menunjukkan bahwa Indonesia mampu memproduksi komoditi yang bersaing di tingkat dunia.

Ekspor bawang merah di­dukung oleh produksi yang juga tinggi pada tahun ini. Pro­duksi yang tinggi tidak ter­lepas dari peran beberapa pihak pada sentra bawang me­rah. Sentra produksi bawang merah adalah Provinsi Jawa Te­ngah, Jawa Timur, Jawa Ba­rat dan Nusa Tenggara Barat. Keem­pat provinsi ini mem­berikan kontribusi 86,24% dari total produksi bawang merah Indonesia (rata-rata produksi tahun 2010-2014).

Namun produksi bawang merah di Indonesia bersifat musiman seperti hasil pertanian lainnya, produksi akan berkurang di musim hujan dan melimpah di musim kemarau. Sementara kebutuhan akan bawang merah hampir digunakan setiap hari bahkan pada hari-hari besar keagamaan permintaannya cenderung melonjak.
Bersambung…
Seringkali kebutuhan bawang merah di luar musim panen tidak dapat dipenuhi, dan begitu juga sebaliknya ketika terjadi over stok akibat panen yang berlebih, maka harga bawang ditingkat petani akan anjlok. Kebijakan proteksi harga di tingkat petani harus dilakukan demi menjaga kestabilan harga didalam negeri.

Idealnya harga penjualan bawang merah di tingkat petani yaitu berkisar antara Rp 10.000 – 12.000 per kilogram. Jika harga jual di bawah itu, dipastikan petani tidak akan menuai keuntungan sama sekali. Selain itu, pemerintah telah menetapkan pembelian bawang merah untuk Bulog sebesar Rp 18.500 per kilogram. Selanjutnya pada masalah teknis di bagian pasca panen, petani sangat kekurangan modal untuk menyediakan tempat penyediaan yang layak dikarenakan risiko cepat busuk pada tanaman ini.

Adanya perbedaan pola produksi dan permintaan menyebabkan terjadinya gejolak harga pada waktu tertentu, berupa lonjakan kenaikan harga pada saat permintaan lebih tinggi dari pasokan, atau harga merosot pada saat pasokan lebih tinggi dari permintaan.

Saat ini saja contohnya, ketika memasuki bulan puasa, harga bawang merah melonjak mencapai Rp. 40.000 per kilogramnya. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, maka konsumen kalangan menengah ke bawah tentu tidak akan mampu untuk membeli komoditi yang sangat mereka butuhkan.

Untuk itu, pemerintah berencana melakukan upaya kebijakan impor. Kebijakan ini dilakukan untuk menekan harga yang ada di pasar agar semua kalangan masyarakat mampu membeli bumbu dapur ini.

Tetapi hal ini tentu menimbulkan pro dan kontra baik itu di tingkat pemerintah sendiri maupun petani. Adanya kebijakan impor tentu saja mengancam keberlangsungan produksi bawang merah. Ketika impor diberlakukan, maka akan menyebabkan harga bawang merah nasional menjadi anjlok dan ini mengakibatkan petani akan mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah.

Dan jika dibiarkan terus-menerus maka petani tidak mau lagi berusahatani bawang merah, mengingat biaya yang dibutuhkan dalam menjalankan usahatani sangatlah besar. Dikhawatirkan petani akan beralih ke tanaman jenis lainnya yang dirasakan lebih menguntungkan dan lebih kecil biaya usahataninya.

Di sisi lain, tingginya harga bawang merah bukan disebabkan karena produksi yang sedikit, akan tetapi disebabkan karena rantai pemasaran yang terlalu panjang dan banyaknya pedagang tengkulak yang memainkan harga. Ada pedagang yang menahan surplus produksi bawang merah sehingga harga naik di pasaran, padahal di tingkat petani harga masih standar.

Tingginya harga ini tidaklah menguntungkan petani, tetapi hanya menguntungkan beberapa pihak saja. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian perlu berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog untuk mengatasi masalah kenaikan harga yang kerap terjadi.

Pemerintah bisa memutus rantai tengkulak yang membuat sistem distribusi menjadi panjang dan mahal dengan mengelola perlakuan pascapanen saat stok menumpuk agar petani bisa mendapatkan harga yang layak. Diperlukan pembenahan dalam tata niaga dan Bulog didukung untuk membeli bawang produksi petani. Kemudian Bulog akan pasarkan langsung ke pasar dan dari pasar langsung diserap konsumen.

Sebenarnya jika dilihat dengan cermat, kebutuhan akan bawang merah yang semakin meningkat ini merupakan peluang pasar yang potensial dan dapat menjadi motivasi bagi petani untuk meningkatkan produksi bawang merah. Usaha budidaya bawang merah memiliki prospek dan peluang usaha yang sangat baik di masa yang akan datang.

Akan tetapi hal ini harus ditunjang dengan penyediaan benih yang bermutu, perbaikan sarana dan prasarana produksi yang ada serta penerapan SOP secara benar. Selain itu juga diperlukan penanganan pasca panen yang baik. Dengan adanya pasca panen dapat menambah nilai guna dan nilai jual dari bawang merah tersebut.

Besarnya peluang untuk menjangkau pasar nasional maupun pasar internasional menjadikan bawang merah sebagai salah satu komoditi prioritas dalam pengembangan sayuran di Indonesia, yang cukup strategis dan ekonomis dipandang dari segi keuntungan (profit) usahatani.

Semakin tinggi keuntungan usahatani yang dicapai oleh petani akan menunjukkan keberhasilan petani dalam menjalankan usahataninya secara ekonomi. Untuk itu, pengembangan usahatani bawang merah di Indonesia harus diarahkan untuk mewujudkan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing, berkelanjutan, dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani.
*) Penulis dari Institut Pertanian Bogor
(1)

Close Ads X
Close Ads X