ASN dan Ujaran Kebencian

Kini kita hidup di era narasi di mana informasi dan kata-kata bisa menjadi energi untuk membangun sekaligus merusak. Pertumbuhan teknologi dan pola konsumsi memperparahnya. Jika dulu media amat terbatas, kini seseorang bisa memproduksi kata-katanya sendiri sekaligus menyebarkannya (distribusi) kepada pihak lain.
Media kini tak sebatas cetak atau audio visual saja, tapi online dan media sosial. Mereka tak bisa lagi dihitung dengan jari tapi harus dengan beribu-ribu jari. Bahkan untuk media sosial bisa mencapai puluhan juta orang memilikinya.
Dengan keadaan begitu informasi seperti mengelinding bebas di ruang-ruang yang tak sepenuhnya bersih dari konten-konten negatif. Kita selalu bisa menemukan para penyebar kebencian (ujaran kebencian atau hate speech) di mana saja. Baik di media online maupun di sosial media.
Maraknya ujaran kebencian di Indonesia cukup menimbulkan keheranan. Mengapa negeri yang masyarakatnya terkenal ramah, bahkan hasil survei Legatum Institute menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi pertama di Asia terkait keramahan, sekarang banyak diwarnai kasus penghinaan?. Semboyan Bhineka Tunggal Ika rasanya mulai pudar. Begitu banyak yang mulai intoleran terhadap perbedaan. Terdapat pula yang memainkan Isu SARA untuk memuluskan kepentingan tertentu.
Ujaran kebencian adalah kasus yang patut mendapatkan perhatian seluruh elemen bangsa. Tindakan komunikasi yang berupa provokasi, hinaan, atau hasutan kepada orang lain dalam berbagai aspek ini dapat mengganggu keharmonisan yang berujung konflik. Dalam skala yang lebih fundamental, ujaran kebencian merupakan sebab lahirnya gerakan radikalisme dan terorisme.
Menyadari betapa bahayanya akibat ujaran kebencian, kita sebagai masyarakat harus bersedia ambil bagian. Dimulai dari skala yang lebih kecil, yakni keluarga. Sejak dini orangtua harus mengajarkan generasi penerus bangsa ini untuk menghindari narasi kebencian. Tak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama bagi anak.
Secara sederhana kita ciptakan hari bebas kebencian (hate free day) dalam keluarga, minimal sehari dalam seminggu. Isi dalam sehari tersebut dengan komunikasi penuh kasih sayang. Kemudian kita ajarkan kepada anak rasa cinta untuk membaca. Sebab faktor menjamurnya ujaran kebencian adalah kurangnya minat baca di kalangan masyarakat Indonesia. Betapa banyak yang hanya membaca judulnya saja, lalu langsung membagikan berita tanpa mengintip isinya sama sekali.
Tidak hanya itu, kita juga harus memberikan pemahaman bahwa Indonesia kaya akan keberagaman. Maka, semboyan Bhineka Tunggal Ika harus menjadi landasan dalam kehidupan. Jika semua keluarga yang ada di Indonesia mampu menciptakan hari bebas kebencian, maka bisa dijamin negeri ini akan damai dan berkemajuan.(*)

Close Ads X
Close Ads X