Oleh : Rum Ahmad Yusuf
Kasus Mega korupsi E-KTP sampai hari ini belum tuntas dan tidak semua orang yang menjadi “pemain” di proyek besar ini terungkap, apalagi nama-nama besar ikut terseret dalam pusaran kasus ini yang melibatkan anggota legislatif hingga eksekutif. Alhasil membuat penulis berfikir, bahwa siapa saja yang kelak menjadi pejabat di negara ini pasti akan otomatis mendapatkan “jatah” uang dari APBN atau APBD.
Pasalnya, hampir disetiap daerah di Indonesia hingga pada tingkat eksekutif dan legislatif dan yudikatif dipemerintahan pusat, wajah-wajah pejabat ini kerap sekali muncul menghiasi layar kaca televisi maupun segala pemberitaan di berbagai media massa mengenai kasus korupsi yang menjerat mereka.
Lihat kasus dugaan mega korupsi e-KTP. Meski saat ini prosesnya masih dakwaan terhadap dua orang, yakni mantan Dirjen Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Sugiharto, namun kasus ini sudah cukup untuk membuat banyak mata warga Indonesia terbelalak.
Kasus ini menjadi begitu penting dan liar sebab ia menyeret banyak nama politisi dari berbagai fraksi partai. Korupsi berjamaah ini menjadi bukti mengerikan betapa bobroknya mental para pejabat yang berkuasa atas nama rakyat.
Seharusnya di tengah keterpurukan, keterbelakangan, dan kebodohan dan kemiskinan yang masih melanda sebagian besar masyarakat di jagad negeri ini, perilaku para pejabat kita di baik parlemen maupun di eksekutif dan yudikatif malah disibukkan dengan pengurusan harta dan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi. Di manakah moralitas dan sensibilitas kekuasaan akan realitas politik yang kian terpuruk?
Bangsa ini juga sudah terlalu lelah dikibuli dan diperalat dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Hampir semua program di pemeritahan selalu didalihkan untuk kepentingan publik dan dalam rangka memperjuangkan nasib ratusan juta penduduk negeri ini. Dengan berkedok aspirasi dan kepentingan rakyat, para legislator yang terhormat itu begitu gampang mengembangkan jurus-jurus ampuhnya dalam menggerogoti kekayaan bangsa ini.
Korupsi Yang Tak Pernah Usai
Sebagaimana kita sadari bahwa persoalan korupsi di pemerintahan dan parlemen merupakan persoalan yang tidak kunjung usai. Dalam sejarahnya, korupsi di tubuh parlemen bukanlah suatu hal baru lagi bahkan sudah menjadi rahasia umum yang semua orang sudah mahfum adanya.
Hingga saat ini sudah belasan bahkan sudah puluhan anggota parlemen, kepala daerah bahkan sampai menteri yang dipenjarakan karena kasus korupsi, gratifikasi, suap, calo, anggaran dan semacamnya. Fenomena ini sekaligus memperkuat rasa kecurigaan masyarakat bahwa “praktik korup mafia pejabat” yang dilakukan para wakil rakyat sudah berlangsung cukup lama dan secara sistematis. Hal ini juga selain telah mencoreng institusi lembaga pemerintahan secara kelembagaan kiranya juga berdampak kepada semakin menurunnya tingkat kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada para pejabat tersebut.
Beranekaragamnya bentuk praktik korupsi, suap, ataupun gratifikasi yang melibatkan para pejabat pada umumnya muncul di saat pembahasan rancangan perundang-undangan, penanganan kasus, pemekaran wilayah, kunjungan kerja ke suatu tempat/daerah, pembahasan anggaran, pengambilan suatu kebijakan oleh DPR/Komisi dengan pemerintah maupun kepada daerah, kemudian studi banding ke luar negeri, rapat dengar pendapat dengan perusahaan-perusahaan BUMN ataupun instansi swasta, juga pada proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bagi pejabat publik dan lain sebagainnya.
Masih ingat dalam ingatan kita, ketika anggota legislatif menyuarakan tentang betapa pentingnya jalinan komunikasi antara mereka dengan konstituennya. Untuk itu mereka beralasan perlunya pembangunan “rumah aspirasi” di setiap daerah asal pemilihan. Rencananya proyek ini akan menghabiskan uang negara ratusan miliar rupiah. Padahal kita ketahui bahwa substansi peraturannya sama sekali tidak ditemukan klausul yang mengharuskan DPR untuk membentuk/membangun rumah aspirasi.
Karena ternyata ambisi mereka ini juga gagal dan tidak mendapatkan dukungan publik, akhirnya kembali secara akal-akalan mereka sibuk menggelontorkan aneka macam bentuk renovasi/rehabilitasi terhadap beragam fasilitas yang mana salah satunya adalah “renovasi toilet” dan “Pembangunan Ruangan Baru” bagi anggota Badan Anggaran. Dengan menyedot anggaran yang cukup besar dan cukup fantastis.
Di samping praktik-praktik busuk para eksekutif dan anggota parlemen (legislatif) di atas, masih banyak lagi kasus-kasus korupsi, suap, dan gratifikasi yang dilakukan para anggota dewan di daerah. Mereka melakukan secara massif dan terorganisir seperti penyelewengan dana APBD bahkan APBN.
Kiranya juga sangatlah logis jika parlemen disebut sebagai lembaga yang paling subur dengan tindakan korupsi. Hal ini dikarenakan adanya kekuasaan yang dimiliki parlemen sebagai sebuah lembaga yang berfungsi melakukan “legislasi” dan “kontrol” atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lembaga eksekutif. Dengan demikian, tampak para anggota DPR dan DPRD begitu mudahnya mendapatkan kucuran dana di luar gaji resmi yang seharusnya mereka peroleh.
Tiga Alasan
Meskipun suap dan gratifikasi termasuk kategori korupsi yang dapat diancam dengan pidana penjara namun sangatlah kita sayangkan pengungkapan kasus yang bila melibatkan para eksekutif dan legislatif sering tidak pernah berujung hingga ke pengadilan.
Bahkan kita melihat lembaga super body seperti KPK terlebih lagi Kejaksaan hanyalah ibarat macan tua yang telah ompong dan tanpa taring. Lembaga penegakan hukum tersebut terkesan “menghindari” jika harus berurusan dengan praktik korupsi yang melibatkan para politisi/anggota parlemen.
Menurut penulis setidaknya ada tiga alasan paling mendasar yang menyebabkan masih maraknya praktik korupsi, khususnya di tubuh parlemen. Pertama, rekrutmen anggota parlemen sangat buruk. Jika melihat sejarahnya mayoritas partai politik di negeri ini tidak pernah menyaring secara ketat atau bahkan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bagi para calon legislatif yang akan mewakili partai. Loyalitas dan kemampuan keuangan (financial) sering menjadi faktor menentukan diterima atau tidaknya seseorang menjadi kader atau calon anggota legislatif. Sementara kriteria kualitas dan intergritas bukanlah prioritas utama dan terkadang malah dikesampingkan.
Kedua, lemahnya fungsi pengawasan internal partai dan institusi DPR. Setelah terpilih menjadi anggota DPR, pengawasan relatif menjadi lemah, baik dari internal partai politik maupun institusi DPR sendiri. Fungsi pengawasan yang dilakukan DPR juga terkesan seadanya dan hanya mengandalkan yang namanya Badan Kehormatan (BK). DPR juga harus melibatkan kalangan seperti KPK, media ataupun masyarakat untuk bersama-sama melakukan kontrol terhadap kinerja dan perilaku para anggota dewan. Ketiga, perlunya aksi cleaning terhadap lembaga DPR dimana yang sejak lama lembaga terhormat tersebut dikenal sebagai lembaga yang tidak tersentuh hukum. Apalagi dalam era keterbukaan sejak reformasi bergulir, sudah jelas bahwa tidak ada satupun lembaga yang sakral dan kebal hukum termasuk lembaga parlemen.
Penutup
Pada akhirnya penulis berpendapat bahwa dengan demikian sudah sebuah keharusan bagi KPK menggeledah lembaga korup tersebut guna mewujudkan sebuah sistem negara yang bebas dari tindak penyelewangan berupa korupsi, kolusi, dan transaksi kekuasaan. Dan adalah sebuah langkah strategis untuk pemberantasan korupsi bila KPK bernyali mengcleaning lembaga –lembaga yang dianggap berpotensi melakukan korupsi seperti dipemeritahan daerah hingga parlemen yang dikenal sebagai surganya para koruptor. Terlebih eksekutif dan legistaif dengan segala kekuasaannya adalah episentrum dari segala tindakan penyelewengan dan penggelapan dana negara. Bisa-bisa setiap tahun APBN dan APBD terus merasa miliki mereka semata.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.