Oleh : James P. Pardede
Undang-undang Dasar Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Secara rinci kesamaan hak itu ada tertuang pada pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Ketika membaca pasal di atas, apakah pemerintah dan seluruh elemen masyarakat sudah benar-benar dalam menjalankan pasal ini? Warga Negara Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa, bahasa dan budaya. Selain itu, warga negara juga ada yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Ada yang dilahirkan normal tanpa ada cacat tubuh, namun ada juga yang tidak normal dan memiliki cacat tubuh sejak dilahirkan. Apakah kita ‘harus’ membeda-bedakan insan ciptaan Tuhan dimuka bumi ini dalam banyak hal?
Tak ada manusia yang menginginkan lahir cacat dan tak ada pula manusia yang ingin diperlakukan tidak manusiawi. Perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi sesungguhnya masih banyak terjadi terhadap warga negara kita, terutama dari kalangan tertentu seperti kaum difabel. Pada agenda Pemilihan Umum, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak di berbagai daerah, penyandang difabel masih dianggap sebagai warga negara kelas dua, meski undang-undang telah mewajibkan kepada penyelenggara pemilu untuk mengistimewakan keberadaan mereka, terutama yang sudah memiliki hak pilih.
Dari pengamatan penulis sewaktu pelaksanaan Pemilu, Pilpres dan Pilkada, penyelenggara pemilu sudah menyediakan sarana dan prasarana yang cukup untuk penyandang disabilitas. Hanya saja, kenyataan dilapangan masih banyak pelaksana pemilu di tingkat TPS yang belum ramah dengan penyandang difabel.
Aturan-aturan untuk hal itu sesungguhnya sudah ada tertulis, bahwa mereka (penyandang disabilitas) diistimewakan. Harapan ke depan semua elemen termasuk partai politik, masyarakat, pemuda dan media, harus ikut menginformasikan dan menegur penyelenggara pemilu di TPS agar memenuhi hak-hak pemilih difabel.
Dari perbincangan dengan beberapa orang kaum difabel, pengalaman yang mereka alami dimana akses dan keterlibatan mereka dalam Pemilu dan Pilkada masih tidak dianggap seperti manusia. Untuk memenuhi hak dan tanggungjawab mereka sebagai warga negara, hak mereka justru dilanggar. Persoalan memfasilitasi penyadang disabilitas bukan hanya soal menyediakan sarana dan prasarana, tapi juga soal memanusiakan mereka sebagai penyandang difabel.
Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy menyampaikan, bahwa penyandang disabilitas meminta lebih diperhatikan dalam Pemilu. Penyandang juga tak hanya ingin mendapat perhatian dalam pemilihan tapi juga dalam hak dipilih dan keterlibatan mereka dalam proses Pemilu, seperti menjadi panitia PPK, ikut serta dalam melakukan pendataan dan kegiatan lain yang bisa mendukung suksesnya Pemilu.
Soal hak difabel untuk dipilih juga mencuat ke permukaan, mereka ingin jadi DPR, jadi DPRD, DPD bahkan jadi Presiden. Selama ini, ada keterbatasan dalam undang-undang sehingga mereka tidak bisa dipilih. Yakni harus sehat jasmani dan rohani. Dengan syarat itu, rumah sakit maupun dokter belum membuka akses bagi mereka yang tidak bisa melihat maupun mendengar. Padahal, banyak dari penyandang sudah bergelar Doktor, S2 bahkan menjadi peneliti yang handal.
Definisi sehat jasmani dan rohani ini menurut Lukman Edi harus dijelaskan secara rinci supaya tidak diskriminatif. Berbagai masukan yang datang dari penyandang disabilitas bakal dibahas. Tak menutup kemungkinan bakal diubah dalam RUU Pemilu yang saat ini masih belum final.
Selain perdebatan tentang keberadaan mereka yang selama ini dianggap tidak ada dan seringkali hampir terlupakan, menyikapi hal ini beberapa organisasi penyandang difabel meminta hak memilih mereka lebih ditingkatkan. Setiap kali ada agenda Pemilu, Pilpres dan Pilkada, penyandang disabilitas masih ada yang kesulitan untuk memilih lantaran tidak bisa datang ke TPS atau sama sekali tidak terdata dan masuk dalam daftar pemilih.
Berkolaborasi
Menghadapi Pemilu 2019 mendatang, Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) serta Pemerintah harus lebih memperhatikan keberadaan dan keterlibatan mereka. Gagasan untuk membuat TPS khusus bagi difabel perlu dipertimbangkan, semua TPS nantinya harus dilengkapi sarana ramah disabilitas.
Jangan karena ingin mendapat ‘sesuatu’ panitia di lapangan memaksakan diri membuat TPS di tempat yang jauh, sulit diakses oleh pemilih dan tidak ramah kaum difabel. Untuk lebih memaksimalkan keterlibatan mereka dalam Pemilu, KPU ke depan bisa melakukan jemput bola dalam mengumpulkan suara dari disabilitas.
Dari pengamatan penulis selama ini, secara umum penanganan disabilitas masih kurang mendapat perhatian serius. Padahal, jumlah pemilih disabilitas untuk skala nasional antara 2,5 sampai 5 persen dari total pemilih. Pengurangan template braile dan kondisi TPS yang tidak bersahabat dengan kaum difabel jadi salah satu penilaian tersendiri dan perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan.
Adanya regulasi yang mengatur tentang kesamaan hak bagi para difabel dinilai hanya sekadar formalitas dan tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Diskriminasi terhadap difabel yang selama ini masih sering terjadi harus segera diperbaiki. Rendahnya partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada karena kurangnya sosialisasi dan pendataan yang dilakukan petugas kurang maksimal. Selama ini pendataan yang dilakukan petugas kepada penyandang disabilitas banyak menemui kesulitan.
Petugas pendataan yang turun langsung ke lapangan kurang memahami kondisi penyandang disabilitas. Hasil temuan di lapangan memang masih banyak keluarga penyandang disabilitas yang malu terhadap anggota keluarganya yang penyandang disabilitas, sehingga banyak yang disembunyikan. Hal itu yang membuat hak mereka di pemilu menjadi termarjinalkan. Selain itu, terdapat kasus petugas tidak mendata penyandang disabilitas yang multi handicap.
Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara pemilu perlu melakukan pendidikan pendataan bagi petugas KPU yang mendata penyandang disabilitas secara berkesinambungan, sehingga mereka memiliki pemahaman tentang penyandang disabilitas. Akan lebih baik lagi jika petugas yang akan mendata didampingi relawan penyandang disabilitas.
Petugas dari penyelenggara bisa juga mendatangi rumah penyandang disabilitas dan menyampaikan bahwa mereka mempunyai hak yang sama dalam pemilu. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam sebuah kesempatan menyampaikan bahwa pendataan pemilih difabel atau penyandang disabilitas bisa dilakukan dengan berkolaborasi bersama beberapa organisasi penyandang disabilitas terutama saat petugas melakukan pemutakhiran data.
Harapan ke depan, penyelenggaraan Pemilu, Pilpres dan Pilkada akan lebih bermartabat dan bisa memaksimalkan partisipasi pemilih dari semua kalangan termasuk dari kaum difabel dan pemilih pemula. Akses yang selama ini digaungkan sudah dilakukan maksimal jangan lagi hanya formalitas yang tertuang di atas kertas. Yang terpenting adalah bagaimana realisasinya di lapangan.
*)Penulis adalah tenaga pendidik dan peduli dengan masalah sosial.