Menyoal Wacana Rektor Asing

Oleh :Izuddinsyah Siregar MPd

Bulan Juni lalu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), M Nasir, saat mengunjungi Universitas Negeri Surabaya (UNESA) memberikan gagasan untuk merekrut rektor asing menjadi rektor perguruan tinggi negeri (PTN). Hal ini terkait adanya rencana pemerintah untuk mengarahkan agar pendidikan tinggi Indonesia mampu bersaing di kelas dunia.

Seperti yang disampaikan M Nasir, dengan memberi contoh pada salah satu universitas di Arab Saudi (King Saud University) yang dulunya berada pada rang­king 500 besar dunia, dan sekarang sudah masuk peringkat 200 dunia.

Wacana Menristek Dikti untuk mengimpor rektor pun menuai protes. Seakan-akan Indonesia kekurangan para akademisi yang mumpuni dalam mengelola perguruan tinggi. Padahal, banyak kalangan akademisi dalam negeri yang keberadaan mereka bisa di­manfaatkan secara maksimal.

Memang kita akui, untuk memasuki pergaulan in­ter­na­sional yang serba terbuka dan telah melahirkan budaya serba “world” seperti halnya bahasa Inggris yang menjadi bahasa dunia, pasar yang dikuasai oleh produk-produk industri Barat, dan dunia pendidikan pun berlomba-lomba menjadi World Class University (WCU).

Tetapi, apakah dengan jalan merekrut rektor asing perguruan tinggi (PTN dan PTS) dalam negeri akan lebih mudah meraih taraf WCU? Tentu harapan tersebut memiliki banyak pertimbangan dengan merekrut rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi.

Jelas merupakan cara instan dan menerabas untuk mengangkat perguruan tinggi di Indonesia ke level internasional. Padahal, sebenarnya tidak ada cara instan untuk memajukan lembaga apa pun termasuk perguruan tinggi. Semuanya membutuhkan proses dan manajemen pendidikan.

Keberadaan lembaga pen­didikan seperti halnya per­guruan tinggi bukanlah suatu lembaga yang bisa secara sederhana disamakan dengan lembaga lainnya. Proses imitasi atau pe­ni­ruan langkah dengan me­rekrut rektor asing dalam upaya meningkatkan kualitas pen­di­dikan pada perguruan tinggi tidak selamanya berhasil.

Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya benturan budaya dan iklim yang berbeda pada masyarakat Indonesia. Tentunya dengan konsep pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal lebih utama ketimbang meniru sistem atau langkah yang diambil dari negara lain dalam bidang pendidikan khususnya.

Konsekuensi bila rencana Menristek Dikti tersebut tetap dilakukan demi mencapai standar perguruan tinggi yang bertaraf WCU agaknya perlu didiskusikan. Jika dikaji secara cermat dengan terlebih dahulu mempertimbangkan bahwasanya kehadiran lembaga pendidikan berkualitas di luar negeri telah hadir sejak lama, sehingga memungkinkan perguruan tinggi luar negeri lebih berkualitas.

Apalagi dengan rencana merekrut rektor asing sama halnya dengan menampar harkat martabat bangsa Indonesia. Dengan kata lain bahwa di negeri ini sudah tak ada lagi anak negeri yang memiliki kemampuan, baik sebagai pendidik atau mungkin untuk memimpin sebuah lem­baga pendidikan.

Disinilah pemerintah perlu memberikan perhatian khu­susnya pada dunia pen­didikan khususnya perguruan tinggi agar tidak terjadi simpang siur dan kesalahan demi masa depan pendidikan dan martabat bangsa. Sebab, hanya dengan mem­berikan perhatian yang lebih pada dunia pendidikan adalah kunci utama bagi ke­majuan pendidikan suatu bangsa. Namun, jika persoalan pen­didikan ditangani setengah hati, maka pendidikan yang ber­kualitas akan mustahil bisa terwujud.

Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan adalah salah satu misi pembangunan nasional pemerintahan Jokowi-JK. Dalam hal ini, masyarakat yang berkepribadian dalam ke­budayaan adalah keadaan masyarakat dengan berbagai kebudayaan asli bangsa In­donesia sebagai bentuk kea­rifan lokal guna menghadapi globalisasi yang menawarkan gaya hidup yang makin pragmatis dan konsumtif.

Karena itu, akan menjadi suatu kekhawatiran tat­kala kita melakukan perekrutan rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi di negeri sen­diri yang dapat menyebabkan terjadinya benturan budaya yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat.

Seharusnya Pemerintah me­lalui Kemenristek Dikti men­jawab potret pendidikan tinggi yang masih terjadi di negeri ini, seperti akses pendidikan tinggi yang dirasa masih sulit oleh masyarakat ekonomi bawah dan kualitas daya saing pendidikan tinggi yang masih minim. Pendidikan belum menjadi prioritas pemerintah dalam usaha pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya se­batas 12 tahun saja.

Tetapi juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Apalagi, dalam kurun lima tahun terakhir, masih ter­jadi kesenjangan yang cukup lebar pada masyarakat ekonomi bawah dengan masyarakat eko­nomi atas yang ingin me­lanjut ke pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi di Indonesia masih terlampau tinggi har­ganya, sehingga seluruh lapisan masyarakat khususnya masyarakat ekonomi bawah belum bisa mendapatkan pen­didikan tinggi secara maksimal.

Selanjutnya mengenai kualitas dan daya saing pendidikan tinggi Indonesia masih minim. Pemerataan kualitas dan daya saing ini diperlukan sebagai salah satu langkah awal yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi besar bagi pemerintah dalam melakukan pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja sehingga akan mendorong produktivitas sumber daya manusia dan meningkatkan pertumbuhan Indonesia.

Meningkatkan kualitas pendidikan tinggi tidak harus merekrut rektor asing. Sangat tidak ada dasar dan alasan kuat untuk mencari rektor asing mengurus perguruan tinggi sendiri, melainkan dengan visi pengembangan bangsa dan memberdayakan bangsa dan orang Indonesia. Justru dengan perekrutan rektor asing akan menimbulkan masalah baru terkait kemandirian dan rasa cinta bangsa.

Karena itu, pemerintah me­­lalui Kemenristek Dikti men­­dorong PTN dan PTS meningkatkan kualitasnya. Meningkatkan mutu per­guruan tinggi sebanarnya bisa dilakukakn dengan merekrut konsultan pendidikan asing profesional yang mampu mem­­­berikan arahan dan pe­doman mengenai bagaimana meningkatkan pendidikan di Indonesia ketimbang melakukan rekrutmen rektor asing.

Begitu juga pihak pendidik sebagai fasilitator, mediator dan motivator harus siap siaga menajamkan potensinya untuk menggiring pendidikan dalam usaha melebarkan sayap persaingan yang luas dengan percaya diri.

Keterkaitan para pihak ter­sebut merupakan hirarki yang kokoh dalam mencapai tujuan dan cita-cita dalam usaha me­majukan pendidikan bangsa. Dengan menjadikan pendidikan sebagai sektor yang utama dalam suatu negara, maka kita akan lebih sadar dalam usaha pentingnya meningkatkan kualitas manusia.

Kualitas yang akan ditemukan melalui dunia pendidikan. Kualitas yang akan menentukan kemana arah pembangunan diri dan bangsanya. Bukan kualitas merekrut rektor asing untuk menentukan keberhasilan pendidikan bangsanya.

Adanya keinginan dalam me­ning­­katkan kualitas pen­didikan di Indonesia adalah baik dan wajib dijalankan, selama memang pemerintah tidak lupa dalam mengupayakan pemerataan pendidikan. Dan bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kesadaran yang tinggi akan kekurangan dan kompetitif yang harus dilaksanakan dalam menghadapi tantangan dunia.
*)Penulis Dosen Universitas Potensi Utama

Close Ads X
Close Ads X