UU Pilkada Paling Banyak Digugat ke MK

Sejumlah warga petani tembakau melakukan kirab saat berlangsung acara Syukuran Ganjar Pranowo Maju Gubernur Lagi, di Alun-alun Kota Temanggung, Jawa Tengah, Minggu (13/8). Sekitar seribu petani tembakau dari wilayah Magelang, Wonosobo, Temanggung dan Purworejo menyatakan dukungan mereka untuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang akan maju kembali menjadi pada Pilkada 2018 mendatang. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/kye/17

Jakarta – Undang-undang pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi yang banyak diuji Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam setahun ada 17 permohonan uji materi UU Pilkada.

Berdasarkan data lembaga riset Setara Institute, MK mengeluarkan 121 putusan yang menguji 258 pasal dalam 62 produk undang-undang. Laporan diterima periode 17 Agustus 2016 hingga 14 Agustus 2017.

Hasil putusan menyebutkan, putusan kabul 26, putusan tolak 38, tidak dapat diterima 41, putusan gugur 5, dan putusan yang ditarik kembali 11. Secara garis besar, putusan pengujian UU juga dibedakan menjadi 41 isu ekonomi, sosial, dan budaya, kemudian 51 isu politik, dan 29 isu sipil dan politik.

Direktur riset Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan, dari 62 UU yang diajukan ke MK pada periode tersebut, UU Nomor 10 tahun 2016 dan UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi undang-undang yang paling banyak diuji, bahkan hingga 17 kali permohonan pengujian.

“Sebagai UU yang menjadi dasar meraih kekuasaan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, UU Pilkada rentan menjadi arena kontestasi kepentingan partai politik,” kata Ismail dalam diskusi di Jakarta Selatan, Minggu 20 Agustus 2017.

Ismail mengatakan, tingginya permohonan pengujian pada UU Pilkada menunjukkan bahwa tingkat ketidakpuasan masyarakat pada regulasi pilkada, sekaligus menunjukkan tingkat kontroversi yang tinggi pada UU ini.

Selain UU Pilkada, aturan lain yang diuji dalam jumlah banyak adalah UU No. 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah, yakni 8 kali permohonan pengajuan. Menurut Ismail, penataan hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam aturan tersebut membuat berbagai pihak tak puas.

“Ini mengundang ketidakpuasan masyarakat dan para penyelenggara pemerintahan daerah, sebagaimana diindikasikan dengan banyaknya jumlah pengujian,” jelas dia.

Setara Institute juga mencatat sebanyak 40 pasal dalam 21 UU dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Aturan ini terkait putusan-putusan yang menuntut kepatuhan para penyelenggara dan warga negara. Ismail melanjutkan, warga diminta patuh pada aturan sementara pemerintah diminta merevisi atau mencabut aturan sesuai keputusan MK.

“Karena dalam hukum administrasi negara, sekalipun produk hukum dinyatakan inkonstitusional, sepanjang belum dicabut, produk tersebut masih hukum positif,” beber Ismail. (mtv)

Close Ads X
Close Ads X