Soal Kasus BLBI, Jokowi Bela Megawati

Presiden Joko Widodo bersiap memimpin rapat terbatas evaluasi peraturan tentang lahan gambut di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (26/4). Pemerintah telah menargetkan capaian restorasi gambut pada 2017 seluas 400 ribu hektar. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/kye/17.

Jakarta – Presiden Joko Widodo memberikan tanggapan soal penetapan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin A. Tumenggung dalam kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Menurut Jokowi, SKL yang keluar dari Instruksi Presiden Megawati tersebut sulit dipertanyakan. “Bedakan mana kebijakan dan mana pelaksanaan. Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, dan Instruksi Presiden adalah kebijakan, bukan pelaksanaan,” ujar Presiden Joko Widodo kepada wartawan di Inacraft, Jakarta Convention Center, Rabu (26/4).

SKL BLBI dikeluarkan Presiden Megawati lewat Inpres No.8 Tahun 2002. Inpres itu diterbitkan untuk memberikan jaminan hukum kepada debitur yang menyelessaikan kewajibannya membayar BLBI.

Dalam pertimbangannya, Inpres tersebut dikeluarkan berdasarkan pada ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham).

Dalam Inpres itu antara lain disebutkan bahwa kepada para debitur yang menyelesaikan kewajiban pemegang saham, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum.

Jokowi menambahkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan Megawati kala itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Jadi, tidak bisa langsung dikaitkan dengan dugaan korupsi yang ada. “Lebih detilnya, tanyakan ke KPK lagi,” ujarnya.

Diketahui bahwa pada Selasa kemarin KPK menetapkan Syafruddin A. Temenggung sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Tersangka Syafruddin A. Tumenggung selaku Kepala BPPN pada 2002 diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,” ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.

Menurut Basaria, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup atau dua alat bukti dalam pemberian surat pemenuhan kewajiban pemegang saham, yang dalam hal ini surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia pada 2004.

Kejar Obligor BLBI
Di lokasi terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mendukung upaya pemerintah mengejar pihak-pihak yang berkewajiban (obligor) dalam menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada krisis ekonomi 1998/1999 silam.

“Pada dasarnya, kewajiban yang belum dipenuhi, ya harus dikejar dan disertai bunga. Karena, ini kejadian sejak 20 tahun lalu,” tegas dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (26/4).

Kendati demikian, Sri Mulyani mengaku, tidak ingat nilai piutang yang masih dikejar. Namun, pemerintah sudah menyerahkan daftar piutang tersebut kepada Kejaksaan, Kepolisian, dan Interpol.

Bahkan, hingga kini, pemerintah masih memiliki dan mengumpulkan data mengenai BLBI dan status yang belum terpenuhi. Selama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga selalu dipasok informasi terbaru sesuai kebutuhan.

“Selama ini, kami sampaikan itu masalah law enforcement (penegakan hukum). Hal yang sudah di luar niat baik mereka (obligor),” tuturnya.

Adapun, salah satu yang belum melunasi utang, yaitu terpidana kasus BLBI Samadikun Hartono. Ia baru menyerahkan uang sebesar Rp21 miliar kepada Kejaksaan Agung. Padahal, Mahkamah Agung (MA) memvonis pemilik Bank Modern tersebut harus membayar pengganti kerugian negara senilai Rp169 miliar.

Selama beberapa tahun, Samadikun melarikan diri. Ia ditangkap Badan Intelijen Negara (BIN) ketika hendak menyaksikan balapan Formula 1 yang digelar di Shanghai, China.

Pemilik Bank Modern itu kabur mengangkut uang negara sebesar Rp169,4 miyar yang bersumber dari BLBI. Sebagai obligor BLBI yang telah menyelewengkan dana talangan, Samadikun kemudian divonis empat tahun penjara. Namun, ia kabur, kemudian jadi buronan sejak 2003. (ant/tc)

Close Ads X
Close Ads X