Meski Nilainya Rp1,12 Triliun DPR-Pemerintah Sepakat Beli Satelit Pertahanan Negara

Direktur Utama BRI Asmawi Syam (ketiga kiri bawah) bersama jajaran direksi BRI menyimak penjelasan Director of CSG/CNES Bernard Chemoul sehari menjelang peluncuran Roket Ariane 5 yang membawa satelit BRI, BRIsat, saat mengunjungi ruang kontrol misi Jupiter Arianespace di Kourou, Guyana Perancis, Kamis (16/6). ANTARA FOTO/Ismar Patrizki/pras/16.
Direktur Utama BRI Asmawi Syam (ketiga kiri bawah) bersama jajaran direksi BRI menyimak penjelasan Director of CSG/CNES Bernard Chemoul sehari menjelang peluncuran Roket Ariane 5 yang membawa satelit BRI, BRIsat, saat mengunjungi ruang kontrol misi Jupiter Arianespace di Kourou, Guyana Perancis, Kamis (16/6). ANTARA FOTO/Ismar Patrizki/pras/16.

Harga Satelit Pertahanan Negara cukup fantastis, nilainya mencapai Rp 1,12 Triliun mengalahkan harga satelit BRI kemarin yang telah diluncurkan. Meski demikian Pemerintah dan DPR ngotot untuk tetap melakukan pembelian karena kebutuhan mendesak.

Wakil Ketua Komisi I DPR, Asril Hamzah Tanjung mengatakan DPR dan pemerintah sepakat untuk membeli satelit pertahanan negara yang pengadaannya maksimal tahun 2018 ini tercapai, sebab menurutnya satelit pertahanan sangat mendesak.

“Intinya selama ini kita memakai satelit asing untuk kepentingan keamanan negara. Itu seharusnya kita bisa punya sendiri yang bisa kita atur operasionalnya secara bebas, karena ini menyangkut ketahanan dan pertahanan negara,” kata Asril di Jakarta, Rabu (28/9).

Asril mengatakan kesepakatan itu diambil berdasarkan rapat kerja yang beberapa kali diadakan, dan semua pihak menyetujui pengadaannya baik itu Menteri Keuangan selaku pengucuran dananya dan Menteri Komunikasi dan Informatika selaku pengatur hak patennya.

Menurut dia, apabila masih me­nyewa satelit pertahanan dari ne­gara lain maka negara lain yang meng­operasikannya dan tentu akan ber­­­­bahaya untuk keamanan nasional Indonesia.
“Perlu dipercepat pengadaannya agar Indonesia tidak kehilangan orbit satelit,” ujarnya.

Selama ini Indonesia meminjam negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat dengan sistem sewa dan selain itu, kerap kali Indonesia memanfaatkan satelit komunikasi Garuda-1 milik Asia Cellular Satellite buatan Lockheed Martin AS.

Namun, satelit Garuda-1 kini telah digeser dengan alasan ada sistemnya yang tidak beres sehingga harus segera diisi yang baru. “Oleh karena itu ini perlu diper­cepat supaya kita tidak ke­hilangan hak atas orbit 123 bujur timur karena itu kami kebut per­te­muan rapat dengar pendapat termasuk dengan sekjen Kemenkeu,” tuturnya.

Asril mengatakan, pengadaan satelit ini dari aspek strategis juga tidak bisa ditawar karena sesuai aturan Internasional Telekomunikasi Dunia atau ITU sejak satelit Indonesia “Garuda-1” dinyatakan de-orbit Januari 2015, maka Indonesia harus mengisi slot orbit 123 Bujur Timur dengan satelit L-band paling lambat Januari 2018.

Menurut politikus Partai Gerindra itu, apabila tidak dilakukan, Indonesia akan kehilangan hak atas alokasi spektrum L-band tersebut selama-lamanya. “Nantinya Indonesia bisa amankan negara atas kemauan sendiri dan pihak Kementerian Pertahanan yang akan mengoperasikannya. Pengadaan ini perlu mengingat negara-negara lain pun sudah memiliki satelit pertahanan sendiri, sebab memang sudah seharusnya seperti itu karena bersifat rahasia,” ujarnya.

Menurut dia, persoalannya saat ini ada di pendanaan, untuk itu dirinya berharap adanya kearifan dari Kementerian Keuangan untuk segera merealisasikan ajuan anggarannya. Asril juga meminta bantuan ke Kominfo, sebab merekalah yang paling tahu Kominfo teknisnya dan berharap nantinya Satelit Pertahanan Indonesia juga bisa digunakan untuk memenuhi berbagai kepentingan kementerian.

Selain itu, anggaran sempat tidak disetujui untuk pengajuan pengadaan Satelit Pertahanan karena harganya tinggi yang diajukan, namun sudah menyusut. Kementerian Pertahanan saat ini mengajukan anggaran sebesar 699 juta dolar AS dari semula diajukan sebesar 849 juta dollar AS.

Sempat Sebut Kemahalan
Sedangkan sebelumnya, anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sukamta, mengatakan anggaran pengadaan satelit keamanan Kementerian Pertahanan senilai US$ 849,3 juta atau Rp 1,12 triliun terlalu mahal.

Menurut Sukamta, dari spesifikasi yang dibutuhkan, harganya diperkirakan hanya dua pertiga sampai tiga perempatnya. Sukamta mengatakan saat ini yang mendesak ialah mengamankan slot orbit yang terancam hilang karena tidak ada lagi satelit.

Kekurangan slot orbit itu bisa diatasi dengan menyewa satelit. “Tapi sewa hanya jangka pendek,” katanya, Senin, 29 Agustus 2016. Opsi sewa dianggap paling murah untuk program jangka panjang. Namun mencari satelit yang memenuhi syarat dan bisa disewa jangka panjang sulit.

Menurut Sekretaris Fraksi PKS tersebut, yang paling logis memang membeli satelit baru. Namun, setelah dipelajari, harganya tidak sampai US$ 849 juta. “Jadi tidak sebesar itu,” ujarnya.
Senada dengan Sukamta, Ketua Komisi Pertahanan Abdul Kharis Almasyhari berpendapat harga itu kemahalan. “Saya berharap harga tersebut dapat dikoreksi,” tuturnya. Meski kemahalan, pengadaan satelit ini dianggap penting.”

Kharis menjelaskan, satelit itu bertujuan mendukung komunikasi dan data pertahanan dan keamanan yang spesifik. Sukamta pernah membandingkan satelit keamanan itu dengan satelit milik Bank Rakyat Indonesia.

Kementerian Pertahanan mengajukan dana pembelian satelit sebesar US$ 849,3 juta. Sedangkan harga satelit BRI hanya sekitar US$ 200 juta. “Saya usulkan rasionalisasi lagi jumlahnya sesuai dengan kebutuhan,” tutur Sukamta. Sisa dana tersebut nantinya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan mendesak Kementerian Pertahanan. (ant/tc)

Close Ads X
Close Ads X