Menanti Kehadiran Bioskop di Aceh

Aceh – Sejak konflik terjadi hingga tercapainya perdamaian sampai sekarang, Aceh belum memiliki bioskop. Masyarakat Tanah Rencong yang ingin menonton film terbaru harus terbang ke luar Aceh atau menunggu keluar di situs penyedia film.

Meski tidak memiliki bioskop, namun film layar lebar sudah beberapa kali diputar di Aceh di auditorium. Terakhir, film Ayat-ayat Cinta 2. Setiap kali pemutaran film, selalu ramai penonton.

Beberapa film yang pernah diputar di Banda Aceh di antaranya yaitu Bulan Terbelah di Langit Amerika, Night Bus, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak dan terakhir Ayat-ayat Cinta 2. Lokasi pemutaran ada dua yaitu di Gedung AAC Dayan Dawood dan Taman Budaya Banda Aceh.

Seorang warga Banda Aceh, Abdul Hadi, mengaku, dirinya sudah sekitar lima kali ikut menonton film-film kelas ‘bioskop’ yang diputar di Banda Aceh. Terakhir, dia datang ke Taman Budaya untuk menonton film Marlina dan Night Bus.

“Bioskop tidak dibuat di Aceh karena ada anggapan melanggar syariat. Tapi beberapa kali saya nonton film, panitia selalu memisah antara penonton cewek dan cowok. Padahal film itu diputar pada malam hari,” kata Hadi, Rabu (21/3).

Saat menonton film Bulan Terbelah di Langit Amerika yang ditayangkan di Gedung AAC Dayan Dawood, panitia memisahkan penonton. Padahal, gedung tersebut berkapasitas ribuan orang.

“Dengan kapasitas gedung AAC yang besar tapi panitia berhasil memisah cewek dan cowok agar tidak berbaur. Tapi memang butuh banyak panitia,” jelasnya.

Menurutnya, segmen film syariah di Aceh sangat banyak peminatnya. “Film Islami banyak yang nonton. Film Ayat-ayat Cinta 2 saja banyak keluarga kami ikut menonton,” ungkap Hadi.

Seorang warga Banda Aceh lainnya, Suryadi mengatakan, dirinya terakhir menonton film awal Februari di Bioskop Kalibata, Jakarta. Saat itu, dirinya menonton berapa film termasuk Dilan 1990.

Menurutnya, di Aceh sudah sangat cocok memiliki bioskop apalagi masyarakat sekarang sudah cerdas dalam memilih tontonan. Beberapa film yang diputar di bioskop juga bernuansa Islami.

“Bioskop di Aceh (bisa) untuk edukasi. Apalagi banyak film yang Islami saat ini seperti film Lima Penjuru Masjid. Film ini juga ada mengambil lokasi syuting di Aceh dan masjid Aceh menjadi ikon. Dan film itu banyak diincar juga, menarik dan bangga untuk ditonton,” kata Suryadi.

“Sudah sangat cocok (ada bioskop di Aceh), apalagi anak-anak sudah cerdas dalam memilih film yang ditonton,” ungkap Suryadi.

Sementara itu, Komunitas Aceh Documentary menyarankan alternatif untuk pendirian bioskop di Tanah Rencong. Direktur Aceh Documentary Faisal Ilyas, mengatakan, agar bioskop bebas dari maksiat, Pemkot membuat tempat duduk terpisah antara laki-laki dan perempuan, dan membentuk tim kurasi film untuk memastikan film yang diputar bebas dari unsur-unsur maksiat.

“Kami berpikir, pihak wali kota perlu untuk memanfaatkan ruang-ruang alternatif sebagai ruang pemutaran, seperti gedung Garuda Theater, taman-taman kota yang hampir ada di semua desa. Jangan buang anggaran rakyat untuk studi banding hal-hal yang memang sudah menjadi aspirasi kebudayaan Islami masyarakat Kota Gemilang,” kata Faisal

Dipisah Pria-Wanita

“Jika para ulama membolehkan maka dipersilahkan, jika ulama melarang maka harus ditolak. Fatwa ulama lebih kuat untuk dijadikan pondasi dalam menjalankan rencana ini,” kata anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman dalam keterangannya, Rabu (21/3).

Menurut Haji Uma sapaan akrabnya, pada tahun 2015 dirinya pernah melakukan pengkajian dan dialog dengan masyarakat terhadap rencana hadirnya kembali bioskop di Aceh. Namun hasilnya waktu banyak yang menolak.

Dia menyebutkan kalau bioskop itu sifatnya komersil. Jika terealisasi, ia mengusulkan harus memiliki ruangan dengan penerangan lampu yang cukup. Soalnya, jika ada pemisahan antara perempuan dan laki-laki namun dengan ruangan gelap dinilai tidak menjamin tidak adanya pelanggaran syariat kecuali memang adanya pemisahan ruangan nonton antara laki dan perempuan.

Selain itu, dia juga mengusulkan film yang akan ditayangkan harus lebih dahulu disensor oleh badan yang dibentuk Pemerintah Aceh.

“Film yang diputar harus Islami. Memang jika dilihat dari segi manfaatnya cukup bagus, terutama bagi industri perfilman Aceh juga akan lebih hidup. Namun tidak boleh juga mengabaikan penerapan Syariat Islam,” tambah Sudirman.

Sebelumnya, Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman mengatakan Pemkot Banda Aceh telah membahas soal bioskop dengan para ulama dan pihak terkait lainnya. Dalam pembahasan tersebut, muncul kesimpulan bahwa terkait perizinan bioskop akan dilakukan studi banding terlebih dulu ke negara-negara Islam.

“Kesimpulannya, kami sepakat untuk melakukan studi banding bersama ulama kita ke Arab Saudi atau negara Islam lainnya untuk mempelajari bagaimana pengaturan soal konser musik dan bioskop di sana,” kata Aminullah dalam rilis kepada wartawan, Minggu (18/3). (dtc/put)

Close Ads X
Close Ads X