Ketua KPK: Fahri Hamzah Lecehkan Pengadilan

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Angket KPK (KOMAS TAK) membentangkan spanduk saat mendatangi gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/7). Kedatangan mereka untuk memberikan dukungan kepada KPK serta menyampaikan petisi untuk menolak hak angket DPR yang dinilai melemahkan KPK. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras/17

Jakarta – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menilai, pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tentang tudingan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP telah melecehkan pengadilan.

Fahri sebelumnya menyatakan kasus e-KTP adalah hasil ke­bo­hongan Ketua KPK Agus Rahardjo, penyidik KPK Novel Baswedan, dan mantan Bendahara Demokrat Muhammad Nazaruddin.

“Kalau dikatakan kasus itu sebagai omong kosong, ya artinya melecehkan pengadilan,” ujar Agus di gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/7).

Agus mengatakan, saat ini sidang kasus e-KTP masih berjalan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Dalam persidangan, terungkap sejumlah fakta dan bukti yang menunjukkan keterlibatan pihak-pihak dalam proyek e-KTP. Oleh karena itu, Agus meminta semua pihak termasuk Fahri menghormati proses persidangan yang masih berjalan.

“Pengadilan sedang berjalan, bukti-bukti juga sudah banyak diungkap. Jadi biarkan berjalan saja,” katanya.

Agus tak mau ambil pusing terhadap komentar yang menyerang KPK. Lembaga yang dipimpinnya itu akan tetap fokus bekerja menangani kasus-kasus korupsi.

“Kami bekerja lebih fokus saja supaya hasilnya bisa dilihat oleh rakyat,” ucapnya. Pratama) Fahri sebelumnya menyebut kasus e-KTP merupakan permainan Agus Rahardjo. Politikus PKS itu mengatakan, Agus ikut terlibat ketika masih menjabat sebagai ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP). Saat itu LKPP merekomendasikan agar pengadaan paket e-KTP tidak menjadi satu karena berpotensi korupsi dan menimbulkan kerugian keuangan negara.

Selain itu, Fahri juga menyebut temuan KPK terkait kerugian proyek e-KTP tidak sejalan dengan temuan BPK yang menyatakan kerugian negara dalam kasus ini hanya sebesar Rp18 miliar dari nilai anggaran Rp5,9 triliun.

Perbedaan nilai itu, kata dia, menunjukkan seolah-olah ada perbedaan cara penghitungan antara BPK dan KPK.

Tolak Hak Angket
Di lokasi yang sama, Koalisi Ma­s­­yarakat Sipil yang terdiri dari gabungan sejumlah aktivis an­ti­korupsi menemui Ketua Komisi Pem­berantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Rabu (5/7). Kedatangan para aktivis dari berbagai lembaga tersebut untuk menyampaikan petisi menolak hak angket DPR RI.

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil, Ray Rangkuti mengatakan, penyampaian petisi ini merupakan bukti bahwa KPK didukung oleh rakyat. Menurut Ray, masyarakat masih percaya bahwa KPK sejauh ini bekerja untuk membuat Indonesia bebas korupsi.

“Untuk itu, kami menyampaikan petisi tolak angket KPK ini sebagai bentuk perlawanan terhadap kesewenangan DPR dan sebagai dukungan kami terhadap KPK,” ujar Ray di Gedung KPK Jakarta.

Ada lima poin yang disampaikan Koalisi dalam petisi yang diserahkan kepada Ketua KPK.

Pertama, hak angket oleh DPR dinilai akan melemahkan KPK, yang berarti akan memperlemah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kedua, hak angket oleh DPR merupakan bentuk kesewenangan, melakukan intervensi politik atas proses penegakan hukum yang dilakukan KPK terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Ketiga, Koalisi menilai hak angket oleh DPR secara formal mengandung cacat hukum dan etika bernegara. Sebab, dari awal pembentukannya sudah menyimpang dari asas kepatutan moral dan nurani publik.

Keempat, hak angket oleh DPR dinilai gagal fokus, karena mengesankan DPR yang mencari-cari kelemahan dan kesalahan KPK. Hal itu terlihat dari upaya Panitia Khusus Hak Angket yang mulai meminta bukti rekaman pemeriksaan hingga melebar ke urusan keuangan dan kinerja KPK.

Kelima, hak angket oleh DPR akan menjadi preseden buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Hak angket terhadap KPK juga dapat mendegradasi kewibawaan DPR, sebagai lembaga tinggi negara yang mewakili aspirasi dan kehendak rakyat.

“Hal ini menjelaskan bahwa DPR lebih terlihat melakukan pendekatan kekuasaan di­ban­dingkan men­du­kung upaya pe­ne­gakan hukum dalam upaya pem­berantasan korupsi,” kata Ray.

Beberapa aktivis yang hadir yakni, Sebastian Salang dari Formappi, Ari Nurcahyo dari PARA Syndicate, dan Jeirry Sumampow dari Komite Pemilih Indonesia (Tepi).Kemudian, seniman Jajang C Noer, pengacara Muji Kartika Rahayu, dan beberapa aktivis lain.

(cnn)

Close Ads X
Close Ads X