Pengusaha Menolak, Ribuan Buruh Segera Demo
Jakarta | Jurnal Asia
Pengusaha merasa berat dengan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8,03 persen yang ditetapkan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Di sisi lain, kaum buruh juga menilai kenaikan tersebut sangat kecil dengan kondisi ekonomi sekarang. Selayaknya, kenaikan itu mencapai 20-25% untuk seluruh propinsi.
Seperti halnya di Sumatera Utara naik 8,03% atau Rp 171.214, dari UMP 2018 Rp 2.132.188 menjadi Rp2.303.402.
Keberatan disampaikan oleh Wakil ketua Umum Kadin DKI Jakarta sekaligus anggota Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang.
Menurutnya, walau sudah sesuai dengan formula yang diatur dalam PP Pengupahan, kenaikan yang ditetapkan pemerintah tersebut sudah ditetapkan pemerintah tersebut cukup membebani pengusaha. Pasalnya, saat ini dunia usaha mendapatkan banyak tekanan, salah satunya nilai tukar rupiah.
Gejolak nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini telah membuat beban operasional pengusaha dalam menjalankan roda bisnis naik. “Terutama pengusaha yang bahan bakunya tergantung impor,” katanya, Kamis (18/10).
Selain tekanan dari nilai tukar rupiah, Sarman bilang pengusaha saat ini juga mendapatkan beban dari kenaikan tarif PPh impor. Sarman mengatakan meskipun mendapatkan banyak tekanan tersebut dunia usaha sampai saat ini bertahan tidak menaikkan harga karena tidak ingin mengganggu daya beli masyarakat dan ekonomi dalam negeri.
“Karena itu pengusaha berharap jika memungkinkan kenaikan UMP 2019 bisa di bawah 8,03 persen. Itu akan lebih memberikan ruang gerak dan mengurangi beban pengusaha,” katanya.
Di sisi lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana melakukan aksi demo menolak rencana kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03%. Aksi tersebut akan dilakukan di seluruh Indonesia, termasuk di depan Istana Presiden, Jakarta Pusat.
“Akan ada aksi akhir Oktober di seluruh Indonesia untuk menolak kenaikan upah minimum itu,” kata Presiden KSPI Said Iqbal, Kamis (18/10). Dia mengatakan, jumlah buruh yang akan menggeruduk istana sekitar 2.000 sampai 3.000 orang.
“Jumlahnya yang aksi kalau di Jakarta bisa 2.000 sampai 3.000an,” sebutnya. Para buruh berencana demo di depan istana untuk menuntut 3 hal ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Satu, tetap seperti tahun tahun sebelumnya, cabut PP 8/2015. Kedua, menolak kenaikan UMP 2019 8,03%. Ketiga meminta gubernur di seluruh Indonesia menetapkan kenaikan UMP berkisar 20-25%,” ujarnya.
Mereka ingin Jokowi mencabut PP 78. Pasalnya mereka tidak setuju jika kenaikan upah tahunan mengacu pada PP tersebut, yang mana formulasinya ditentukan oleh angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Ke presiden tentu menyuarakan, kan yang tandatangan PP 78 presiden. Kalau memang Presiden Jokowi mau didukung oleh buruh, dia harus mencabut PP 78,” katanya.
Sementara sekarang, dia menyebut upah terlalu rendah sehingga habis hanya untuk kebutuhan makanan, bayar ongkos transportasi, sewa rumah, dan biaya listrik. Dengan begitu, mereka tidak punya dana untuk membeli kebutuhan lainnya.
“Kita nggak bisa beli barang barang sekunder. Akhirnya produksi barang barang sekunder kan nggak meningkat. Orang beli rumah saja sudah susah kan,” lanjutnya.
Disamping itu, dia juga meminta pemerintah bisa lebih baik menjaga daya beli dengan kestabilan harga-harga, baik tarif listrik, ongkos transportasi, hingga penyediaan rusun murah yang diperbanyak. Menurutnya hal hal itu bisa diatur oleh pemerintah.
“Kalau itu bisa dilakukan pemerintah kan bisa kurangi beban pengusaha. Karena sebagian beban upah dalam item KHL itu sudah diambil alih pemerintahan,” tambahnya.
Kementerian Tenaga Kerja menetapkan UMP 2019 naik 8,03 persen. Kenaikan tersebut tertuang dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produksi Domestik Bruto Tahun 2018.
Dalam surat edaran tertanggal 15 Oktober, besaran kenaikan UMP sebesar 8,03 persen tersebut dibuat dengan mempertimbangkan dua faktor. Pertama, inflasi nasional yang sebesar 2,88 persen. Kedua, pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,15 persen. (dtf/put)