Eks Kepala BPPN Tersangka Baru BLBI | Bersama Sjamsul Nursalim Tekorkan Negara Rp3,7 T

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) dan Juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan tentang penetapan tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4). KPK menetapkan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka yang diduga telah melakukan perbuatan merugikan keuangan negara sebesar Rp3,7 triliun. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/17.

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka korupsi dalam kasus penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dia dianggap bertanggung jawab dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

“KPK menemukan dua alat bukti permulaan, menetapkan SAT selaku ketua BPPN sebagai tersangka,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di KPK, Selasa (25/4).

KPK menjelaskan hal itu terkait dengan penerbitan SKL untuk BDNI dan diduga merugikan negara Rp3,7 triliun. BDNI sendiri merupakan milik Sjamsul Nursalim. Bank tersebut me­rupakan salah satu yang mendapat SKL BLBI senilai Rp27,4 triliun.

Surat lunas tersebut terbit pada April 2004 dengan aset yang diserahkan diantaranya PT Dipasena (laku Rp2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun).

Atas perbuatannya itu mereka disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang No­mor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi.

Seperti diketahui, KPK telah menyelidiki penerbitan SKL BLBI kepada sejumlah pengusaha, yang diterpa krisis 1997-1998, sejak 2013 silam. Sedikitnya, ada 48 bank yang menerima bantuan Bank Indonesia, dengan total Rp144,53 triliun.

Sejumlah pejabat BPPN hingga menteri era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri pun telah dimintai keterangannya.

SKL BLBI sendiri dikeluarkan BPPN di era Megawati, berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. SKL tersebut dipakai Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/ SP3) terhadap sejumlah debitur bermasalah.

Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, dari Rp144,53 triliun dana BLBI yang dikucurkan, Rp138,7 triliun dinyatakan merugikan negara.

Sementara itu, penasihat hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail menuturkan kliennya belum pernah diperiksa soal ini. “Lebih baik tanya ke mantan pimpinan BPPN mengenai SKL,” kata dia

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan tak menjawab lugas ketika ditanya peran Presiden ke-5 Indonesia Megawati Soekarnoputri dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

SKL itu keluar karena aturan Megawati yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemenang Saham.

Basaria hanya menjawab bahwa penerbitan SKL kepada obligor BLBI itu memang kebijakan pemerintah saat itu. Menurutnya, tak semua kebijakan merupakan tindak pidana korupsi.

Namun, kata Basaria, kebijakan pemerintah bisa dikatakan terindikasi korupsi bila menguntungkan diri sendiri ataupun pihak-pihak lain.

‘Kebijakan itu menjadi tindak pidana korupsi apabila di dalam proses berjalannya kebijakan itu ada sesuatu manfaat, yang diperoleh untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain,” kata Basaria.

Basaria menyatakan, bahwa tak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru. Menurut dia, penyidik KPK masih perlu mengumpulkan bukti-bukti lainnya. “Ini masih awal, penetapan tersangka tak hanya pada satu orang semata. Masih ada pengembangan,” tutur Basaria.

Sjamsul Nursalim sendiri kini masih berada di Singapura sejak 2015. KPK pun meminta yang bersangkutan untuk kembali ke Indonesia agar bisa memberikan keterangan atas penerbitan SKL yang pihaknya terima dari BPPN pada April 2004 lalu. (ant/dtc/kcm)

Close Ads X
Close Ads X