657 ‘Wakil Tuhan’ Langgar Etik

Presiden Joko Widodo (kanan) melantik Hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri) di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/8). Guru Besar Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang juga Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham, Enny Nurbaningsih, dilantik menjadi Hakim MK perwakilan pemerintah, menggantikan Maria Farida yang berakhir masa jabatannya. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/kye/18

Perselingkuhan Hakim Jadi Tren

Jakarta | Jurnal Asia

Sebanyak 657 ‘wakil Tuhan’ melanggar etik sepanjang Komisi Yudisial (KY) masuk ikut mengawasi Mahkamah Agung (MA). Dari jumlah itu, terungkap perselingkuhan hakim mengalami tren signifikan.
“Sejak pertama kali berdiri hingga Juni 2018, Komisi Yudisial (KY) telah mengusulkan penjatuhan sanksi kepada 657 orang hakim yang dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Rekomendasi sanksi ini merupakan hasil pemeriksaan melalui proses Sidang Pleno Anggota KY,” kata Juru Bicara KY, Farid Wajdi kepada wartawan, Rabu (15/8).

Dari tahun 2009-2017 telah dilaksanakan sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang menyebabkan 49 orang hakim menerima sanksi. Diketahui tren kasus pelanggaran KEPPH yang ditangani dalam sidang MKH pada 2009-2012, mayoritas merupakan kasus penyuapan.

“Namun, mulai tahun 2013-2017 tren kasus pelanggaran KEPPH bergeser signifikan kepada kasus perselingkuhan,” cetus Farid.

Hal ini menunjukkan terjadinya pergeseran pilihan nilai-nilai oleh hakim. Yakni dari nilai-nilai ideal atau objektif hukum ke nilai-nilai pragmatik atau subjektif yang dipentingkan diutamakan oleh hakim dalam penanganan perkara tertentu.

“Artinya penanganan suatu perkara dapat menjadi sumber komoditi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, baik politik maupun ekonomi,” ujarnya.

Ragam masalah berkaitan dengan pelanggaran kode etik perlu diurai dengan cara membenahi secara terus menerus proses pengangkatan/rekrutmen yang benar-benar mempunyai kualitas untuk menjawab kebutuhan. Hakim juga harus mempunyai kemampuan profesional serta moral dan integritas tinggi.

“Selain itu, diperlukan pula penguatan lembaga pengadilan yang independen dan akuntabel (judicial accountability), bebas, tidak memihak dan penataan kembali struktur dan lembaga kekuasaan kehakiman yang ada (shared responsibility),” pungkasnya.(dtc/put)

Close Ads X
Close Ads X