TDL Naik Lagi, Konsumen Bakal Terus Terjepit

Medan | Jurnal Asia
Rencana pemerintah yang akan memberlakukan kebijakan Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk pengguna rumah tangga untuk daya 1.300 VA dan 2.200 VA mengacu kepada harga minyak mentah dunia, nilai tukar rupiah terhadap US Dolar serta inflasi, akan membuat pengendalian inflasi menjadi lebih sulit tentunya. Pastinya kebijakan tersebut kembali menghimpit beban hidup masyarakat.

Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Dr. Farid Wajdi, SH, M. Hum mengatakan, kenaikan harga TDL yang dipatok pemerintah mengacu kepada sejumlah harga minyak dunia, rupiah dan inflasi. Karenanya, besar atau kecilnya beban biaya konsumen akan sangat tergantung dari kebijakan pemerintah dalam mengendalikan ketiga harga tersebut.

“Dalam menentukan harga TDL, Indonesia mengikuti kondisi pasar internasional. Dengan begitu, harus ada yang diperbaiki, apakah pelayanannya sudah standar Internasional atau akankan ada ganti rugi apabila konsumen dirugikan, ini harus diperhatikan terlebih dahulu,” katanya di Medan, Senin (6/4).

Ia menilai, PLN tetap harus memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk membiasakan diri dengan tarif baru. Sebab itu, kenaikan tidak dilakukan secara langsung sampai tarif non-subsidi, melainkan dilakukan bertahap.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang perlu dikritisi terhadap kebijakan penaikan tarif listrik oleh pemerintah. Pertama, penetapan tarif listrik mengikuti fluktuasi Rupiah terhadap Dolar AS menunjukkan Indonesia sebenarnya telah masuk dalam perangkap pasar bebas (liberalisme-kapitalisme).

“Dengan begitu, Indonesia tidak memiliki lagi kedaulatan energi. Tidak ada mekanisme perlindungan terhadap kedaulatan ekonomi rakyat. Indonesia telah menelan penuh sistem kapitalisme dan menerapkan sebagai sendi kehidupan bernegara tanpa filter,” tegasnya.

Kedua, sangat disesalkan penetapan tarif lsirik untuk golongan batas daya 1.300 VA dan 2.200 VA, padahal idealnya untuk pelanggan 3.500 VA ke atas. Pelanggan 1.300 VA, belakangan adalah pelanggan yang terpaksa menyambung aliran lsitrik, karena ketiadaan jaringan batas daya 900 VA.

Ketiga, penetapan tarif listrik yang merujuk kurs Rupiah, harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesian crude price -ICP), serta inflasi terasa agak menyalah. Sebab selama ini pelayanan PT PLN masih di bawah standar. Masih sering terjadi pemadaman bergilir, sehingga begitu digunakan standar atau indikator internasional, semestinya pelayanan PT PLN juga harus mengikuti indikator pelayanan internasional.

Keempat, tahun 2015 Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Sudah dipastikan daya saing produk dalam negeri bakal kalah bersaing, karena ongkos produksi termasuk ongkos listrik semakin mahal.

Kelima, karena tarif listrik fluktuatif bagaimana rumah tangga dan industri dapat merencanakan dengan baik biaya produksi. Dengan kata lain, mekanisme tarif listrik yang naik turun ini juga membuat pengusaha lebih sulit dalam membuat perhitungan harga.

“Selanjutnya, jika nantinya harga minyak dunia dan nilai tukar Rupiah yang terus melemah, apakah tarif listrik juga akan ikut tarif selangit? Karena faktor yang menjadi pembentuk tarif listrik paling utama adalah nilai tukar Rupiah,” pungkasnya.

Sementara itu, ekonom Sumut Gunawan menilai, kebijakan seperti ini jelas akan membuat bingung masyarakat. Pengeluaran menjadi sulit dikendalikan, bisa banyak atau sedikit, namun tentunya perencanaan keuangan rumah tangga menjadi tidak menentu.

“Dengan kondisi seperti ini, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) sebaiknya tetap konsisten melakukan pemantauan dan pengendalian harga pasar. Baik itu dalam kondisi tekanan inflasi tinggi ataupun rendah,” tandasnya. (netty)

Close Ads X
Close Ads X