‘Siswa Siluman’ Tetap Harus Pindah Sekolah | KPK Endus Indikasi Suap

Medan – Kepala Ombudsman Republik Indonesia Per­wa­kilan Su­matera Utara, Abyadi Siregar, me­nya­­yang­kan sikap Ke­tua Komisi Nasional Per­lindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, yang ter­kesan membela de­ngan meminta agar 180 siswa ilegal di SMA Negeri 2 Medan dan SMA Negeri 13 Medan tetap dibiarkan bersekolah.

Menurutnya, Arist tidak memahami akar kis­ruh PPDB Online di SMAN 2 dan SMAN 13 Me­dan. Pasalnya sikap yang dilakukan Arist justru mengajarkan para siswa untuk berbuat curang.

“Kita sayangkan sikap Komnas PA itu. Bagaimana tidak sikapnya itu mengesankan dia menyuruh orang melanggar peraturan. Ada-ada saja. Sebab bang Arist jangan masuk di ujung-ujungnya. Seharusnya dia ma­suk dari awal biar tahu permasalahannya. Kalau begitu kita mengajari anak-anak berbuat curang. Menurut saya itu melanggar aturan,” kata Abyadi, Selasa (17/10).

Menurutnya jika para murid tetap bersekolah di sana, hal itu sama menyuruh pemerintah dan dinas pendidikan melanggar peraturan yang ada. Sebab dalam Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 52 Tahun 2017 sudah dijelaskan bahwa tata cara penerimaan murid baru adalah melalui jalur online.

Abyadi khawatir, jika 180 siswa ilegal itu tetap dibiarkan belajar akan ada protes dari peserta didik yang sebelumnya dinyatakan tidak lulus di SMA Negeri 2 Medan maupun SMA Negeri 13 Medan agar anak mereka kembali dimasukkan dengan alasan hak untuk mendapatkan pendidikan.

“Jika mereka tetap diterima yang ilegal ini, maka yang tidak lulus lainnya ini akan punya hak juga untuk masuk. Kita tidak mau jadi seperti itu,” kata Abyadi seraya menyatakan keheranannya ada 180 siswa bisa lulus yang diduga 180 orang ini sudah menyetor sejumlah uang.

“Kenapa hanya 180 yang masuk. Apa mereka kasih uang. Di SMA N 2 itu sudah penuh ada 12 lokal, tapi ternyata ada tambahan lima lokal. Kalau begitu asumsi kita ada uang,” tegasnya.

Dia kembali menegaskan agar Arist Merdeka Sirait tidak memaksakan agar para murid tetap bersekolah di sana dengan dasar ada pelanggaran hak anak.

Disebutkannya semua siswa itu harus dibantu. Bukan dikeluarkan. Karena mereka masuk ke sekolah itu dari jalur enggak benar, makanya harus dipindahkan ke swasta. Bukan meminta mereka berhenti sekolah.

Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menyambangi SMA Negeri 2 Medan terkait kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Online 2017. Dalam kunjungannya, Arist membela 180 siswa yang masuk dari jalur di luar PPDB Online. Menurut Arist para peserta didik itu tidak bersalah.

-Segera Diselidiki KPK
Kisruh penerimaan peserta didik baru (PPDB) di beberapa sekolah negeri terus berlanjut dan tak kunjung selesai. Selama kasus ini bergulir, muncul fakta adanya dugaan unsur pidana berupa suap terhadap oknum sekolah dan dinas pendidikan.

Terkait masalah ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara. Tim KPK yang kebetulan berkunjung ke kantor Ombudsman RI Perwakilan Sumut mengaku akan mendalami unsur pidana menyangkut dugaan permainan PPDB online.

“Kalau ada indikasi pidana, tentu harus ditindaklanjuti. Menurut saya harus ada sanksinya. Apalagi bagi mereka yang terlibat (bermain) dalam masalah ini,” kata Kepala Satgas Korsupgah KPK, Adliansyah Nasution, Rabu (18/10) siang.

Seperti halnya di SMA Negeri 2 Medan, diduga Kepala sekolah bernama Sutrisno menerima sesuatu dari orangtua siswa siluman. Disinggung mengenai hal ini, Tim KPK juga akan mendalaminya.

“Harusnya Inspektorat yang lebih dulu bertindak. Kasih sanksi yang tegas. Karena kan itu masih wilayah mereka,” ungkap Adliansyah.

Menyangkut kisruh PPDB di SMA Negeri 2, belakangan Kepala Sekolah bernama Sutrisno diduga sengaja menggandeng Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait untuk memunculkan isu undang-undang anak.

Isu ini disinyalir sengaja dihembuskan agar perhatian publik teralih dari persoalan oknum-oknum yang bermain dalam PPDB.

Kendati demikian, inspektorat Sumatera Utara sebelumnya telah mengajukan rekomendasi pemecatan terhadap Sutrisno sebagai kepala sekolah. Sampai saat ini, rekomendasi itu masih ditelaah oleh Dinas Pendidikan Sumut.

-Orangtua Ngaku Punya Bukti
Sementara itu, orangtua siswa siluman di SMA Negeri 2 mengaku punya bukti dan fakta adanya permainan oknum sekolah dan dinas terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sejumlah sekolah negeri. Hal itu disampaikan belasan orangtua siswa siluman saat mendatangi kantor Ombudsman RI Perwakilan Sumut di Jl Majapahit, Medan.

“Kami siap membongkar ini semua. Dan kami minta penegak hukum memproses ini. Karena ada oknum dinas dan pihak sekolah yang bermain,” kata Edianto, salah satu orangtua siswa siluman di SMA Negeri 2, Rabu (18/10).

Namun, Edianto enggan membongkar bukti-bukti ini karena khawatir kasusnya tidak akan diproses. Ia beranggapan, nantinya persoalan ini justru diabaikan.”Kami khawatir, nanti kami bongkar oknum dinasnya tidak diproses, anak kami tetap dikeluarkan. Kan sama saja,” kata Edianto.

Mendengar hal itu, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut, Abyadi Siregar justru menyarankan orangtua siswa untuk melengkapi bukti-bukti yang ada. Kasus ini harus diproses jika benar ada pelanggaran pidana.

“Silahkan bapak ibu laporkan pada pihak berwajib jika ada buktinya. Kita semua ingin dunia pendidikan di Sumatera Utara ini benar-benar bersih,” kata Abyadi.

Ia tetap kukuh untuk menegakkan peraturan yang ada. Anak-anak yang masuk dengan cara maladministrasi juga harus dipindahkan karena tidak sesuai dengan peraturan.(Ray/tribun-medan.com)

-Komnas Anak Ngotot
Di sisi lain, Sehari usai menemui siswa siluman di SMA Negeri 2 Medan dan SMA Negeri 13 Medan. Ketua Komnas HAM Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait melanjutkan kunjungannya Dinas Pendidikan Sumatera Utara, Rabu (18/10).

Merdeka bersama rombongan orang tua siswa siluman diterima oleh Kepala Seksi (Kasi) Kurikulum Dinas Pendidikan Sumut Saut Aritonang.

Menelisik kasus yang terjadi, pria berkemeja biru ini meminta kepada Dinas Pendidikan (Disdik) Sumut bersama Gubernur Sumatera Utara untuk melakukan moratorium menyelesaikan kasus siswa siluman.

“Saya melihat ada maladministrasi disini, kami sarankan adakan moratorium untuk diikutsertakan Gubernur Sumut bersama orangtua, Dinas Pendidikan Sumut dan Komnas Perlindungan Anak,” ujar Merdeka.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi (Kasi) Kurikulum Dinas Pendidikan Sumut Saut Aritonang menerima baik masukan dari Ketua Komnas Perlindungan Anak.

Namun, dirinya menyebutkan moratorium tidak serta merta menjadi solusi permasalahan siswa siluman. Saut menyebutkan sistem penerimaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah sistem nasional. Artinya setiap siswa yang dinyatakan tidak lulus seperti kasus siswa siluman. Akan memunculkan data dengan nama siswa yang merah.

“Sistem PPDB online ini berskala nasional. Artinya bukan hanya di Sumut saja. Maka setiap siswa yang dinyatakan lulus memiliki data Dapodik yang sah. Ketika dia tidak lulus maka namanya merah. Maka apa yang terjadi di dua sekolah ini muncul nama-nama merah,” terangnya.

Hal ini dijelaskan Saut, bahwa sekalipun hasil moratorium nantinya akan menyepakati Gubernur mengeluarkan hak diskresi untuk membuat siswa siluman itu menjadi sah. Hal tersebut harus dikoordinasikan di Kementrian Pendidikan pusat.

“Dapodik adalah bank data online semua tercatat disana. Jadi nggak bisa sembarang diubah, kata kuncinya ada dipusat,” tegas pria berkemeja putih ini.

Ia menegaskan, hingga hari ini Disdik Sumut masih memegang tiga rekomendasi yang dikeluarkan Gubernur Sumut, dimana salah satunya adalah Siswa yang tidak yang tidak lulus sistem PPDB agar segera berpindah sekolah swasta.(swisma/tc)

Tinggalkan Balasan

Close Ads X
Close Ads X