Produksi Kopi Semakin Tertekan Akibat Erupsi Sinabung

Medan | Jurnal Asia
Produksi kopi di Sumatera Utara akan semakin menurun menyusul rusaknya tanaman di Desa Gamber, Simpang Empat dan kawasan lainnya di Kabupaten Karo akibat erupsinya kembali Gunung Sinabung dan diikuti luncuran awan panas pada Sabtu, 21 Mei.

“Karo juga menjadi salah satu sentra kopi Sumut, meski sebagian masyarakat seperti di Desa Gamber, kopi sebagai tanama sela,” kata Ketua Asosaisi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumut, Saidul Alam di Medan, Senin (23/5).

Luncuran awan panas diinformasikan merusak panen kopi yang tinggal sedikit. Dia menyebutkan, dengan produksi yang terganggu di Karo, maka hasil panen di Sumut yang memang tinggal sedikit akibat lagi memasuki masa-masa di ujung panen akan semakin menurun. Akibatnya, harga kopi di tingkat petani juga semakin mahal. “Mahalnya harga di tingkat petani akan semakin menyulitkan eksportir melakukan ekspor karena pembeli akan menahan pembelian,” ucap Saidul.

Menurut dia, pembeli atau “buyer” berharap kopi biji arabika dijual eksportir sekitar 4,6 dolar AS per kg. Sementara akibat produksi di Sumut atau dalam negeri lebih sedikit yang menyebabkan harga beli ke petani naik, maka eksportir menjual di atas 4,7 dolar AS per kg.

“Akibat belum ada titik temu harga, maka ekspor kopi sedikit terhambat atau melambat dalam beberapa bulan terakhir dan bencana Sinabung akan semakin menurunkan ekspor,” tutur Saidul.
Pada tahun 2015, ekspor kopi Sumut masing-masing sebanyak 70.784.579 kg untuk jenis biji kopi arabika dan 144.570 kg biji robusta.

Pengamat ekonomi Sumut, Wahy Ario Pratomo menyebutkan, pemerintah harus belajar dari berbagai bencana yang terjadi di sentra-sentra produksi komoditas unggulan seperti di Karo. Menurut dia, pemerintah harus memperluas berbagai penanaman tanaman ke berbagai daerah sehingga saat suatu daerah terganggu produksinya, daerah lain bisa membantu meningkatkan pasokannnya.

“Infrastruktur jalan ke lokasi perkebunan/pertanian juga perlu ditingkatkan agar biaya transportasi dapat lebih murah sehingga harga jual tidak menjadi beban dalam biaya produksi dan petani bisa lebih cepat menjual barang hasil panennya,” ujar Wahyu. (ant)

Close Ads X
Close Ads X