Ketum DPP Aceh Sepakat HM Husni Mustafa SE | Aset Aceh Sepakat Bukan Milik Pribadi

Medan – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Aceh Sepakat menegaskan Yayasan Aceh Sepakat dengan akte bernomor 13, tanggal 27 Oktober 2011 bukan milik organisasi Aceh Sepakat. Yayasan yang didirikan Irfan Mutyara, Fauzi Hasballah, dan sejumlah warga Aceh lainnya itu dituding ingin mencaplok aset-aset Aceh Sepakat untuk kepentingan pribadi.

“Mereka (Irfan Mutyara Cs-red) bukan ingin menyelamatkan aset-aset Aceh Sepakat, tapi justru ingin mencaplok dan menguasainya untuk kepentingan pribadi mereka,” kata Ketua Umum DPP Aceh Sepakat HM Husni Mustafa SE kepada wartawan di Coffe Box, Jalan Palang Merah, Medan, Jumat (19/5).

Husni menjelaskan jauh sebelum Yayasan Aceh Sepakat ‘versi’ Irfan Mutyara Cs berdiri, sudah berdiri yayasan dengan nama Yayasan Aceh Sepakat berdasarkan akte Nomor 25, tanggal 24 Agustus 2001 yang dibuat di hadapan Notaris Lila Meutia SH MKn di Medan.

Yayasan Aceh Sepakat “Akte 25” itu didirikan oleh lima unsur di Aceh Sepakat. Kelimanya yakni DPP Aceh Sepakat (diwakili Joefly Joeseof Bahroeny selaku Ketua Umum saat itu), Dewan Meusapat Aceh Sepakat (diwakili Irfan Mutyara selaku Ketua Umum saat itu), Panitia Pembangunan Masjid Raya dan Balai Raya Aceh Sepakat (diwakili Mustafa Sulaiman selaku Ketua Panitia saat itu), Dewan Pimpinan dan Dewan Pimpinan Cabang II Aceh Sepakat Medan (diwakili Ketua Dewan Pimpinan Cabang II), dan DPP Ikatan Wanita Aceh Sumatera Utara/IKWASU (diwakili Ketua Umum dan seorang Ketua DPP saat itu).

Sayangnya, saat pemerintah mengeluarkan UU No. 28/2004 tentang Yayasan, yang mengharuskan seluruh yayasan melakukan penyesuaian paling lama tiga tahun setelah UU itu diberlakukan, Pengurus DPP Aceh Sepakat periode sebelumnya termasuk Irfan Mutyara dan Fauzi Hasballah, tidak menjalankan perintah UU itu.

Belakangan mereka bersama sejumlah warga Aceh lainnya sebagai pribadi-pribadi malah mendirikan yayasan baru dengan nama yang sama, yakni Yayasan Aceh Sepakat dan ingin menguasai aset-aset Aceh Sepakat.

“Jadi Yayasan Aceh Sepakat ‘Akte 13’ itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan Aceh Sepakat. Yayasan yang mereka dirikan dengan nama yang sama itu tidak sah dan melanggar hukum,” tegas Husni didampingi Sofian Adami SH selaku kuasa hukum DPP Aceh Sepakat.

Husni yang dalam pertemuan itu juga didampingi sejumlah Pengurus DPP Aceh Sepakat lainnya, diantaranya Sekretaris Umum HT Bahrumsyah HT Munthadar T Arifin Husen, Bendahara Umum H Faisal Pawangleman, serta Ketua dan Sekretaris Dewan Meusapat Dr H Fauzi Usman dan H Banta Sarjani, mengakui Aceh Sepakat memiliki banyak aset.

Di antaranya seperti Rumah Sakit Malahayati di Medan, Masjid Raya, Balai Raya, serta sejumlah lahan dan bangunan lainnya. Namun aset-aset itu sekarang ‘dikuasai’ oleh oknum-oknum yang berada di balik Yayasan Aceh Sepakat “Akte 13” itu.

“Kami ingin klarifikasi tulisan Fauzi Hasballah di salah satu media yang menyatakan bahwa aset-aset tersebut milik pribadi adalah sama sekali tidak benar dan tidak berdasar,” ujar Husni.

DPP Aceh Sepakat, lanjut Husni, sudah meminta dilakukan audit secara menyeluruh terhadap aset-aset Aceh Sepakat. Tetapi pihak Irfan Mutyara Cs mengklaim kalau aset-aset tersebut bukan milik Yayasan Aceh Sepakat “Akte 28” melainkan milik pribadi-pribadi.

“Kami menduga Fauzi Hasballah banyak menyimpan dokumen-dokumen otentik terkait aset-aset Aceh Sepakat itu sehingga mereka ingin mengaburkan dan berupaya menguasai untuk kepentingan-kepentingan pribadi mereka,” ujarnya.

Dia mencontohkan seperti RS Malahayati. Banyak wakaf maupun sumbangan dari masyarakat maupun pengusaha Aceh untuk rumah sakit itu. Di beberapa dinding rumah sakit itu jelas terpampang nama-nama penyumbang yang diabadikan. Tapi sekarang sudah dihilangkan, diduga sengaja untuk dikaburkan.

Begitu juga dengan Balai Raya Aceh Sepakat di Jalan Dewa Ruci, Medan, yang sampai sekarang masih dikelola sebagai tempat untuk menggelar berbagai hajatan.

“Balai Raya itu selalu disewakan untuk berbagai kegiatan, terutama pada hari Sabtu dan Minggu untuk hajatan pesta perkawinan. Untuk sekali pemakaian, itu sewanya minimal Rp21 juta. Tapi sudah enam tahun lebih oknum yang mengelola Balai Raya itu tidak pernah melaporkan keuangannya kepada DPP Aceh Sepakat. Begitu juga dengan Rumah Sakit Malahayati, selalu dibilang rugi-rugi. Tapi bagaimana laporan keuangannya tak pernah dilaporkan kepada organisasi,” ungkapnya.

Menggugat
Terkait persoalan pendirian Yayasan Aceh Sepakat “Akte 13” ini, DPP Aceh Sepakat telah memberi kuasa kepada Sopian Adami SH, T Syaifuddin SH, dan Denny Agustriarman SH untuk menggugat ke Pengadilan Negeri Medan.

Sidang berkas perkara gugatan dengan nomor register 70/pdt.G/2017/PN Medan tertanggal 9 Februari 2017 sudah pula bergulir di pengadilan.

Sopian Adami menyebutkan, berdasarkan UU No 16 Tahun 2001 Jo UU No 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, maka perubahan di Yayasan Aceh Sepakat harusnya terlebih dahulu mendapat izin serta persetujuan dari pendiri yayasan sebelumnya. Bukan begitu saja mendirikan yayasan baru dengan nama yang sama.

Dia menyebut ada empat pihak yang mereka gugat dalam perkara ini. Pertama, Yayasan Aceh Sepakat “Akte 13” selaku tergugat I, Irfan Mutyara (tergugat II), Fauzi Hasballah (tergugat III), dan Fenty Iska (tergugat IV) selaku notaris.

“Yayasan yang didirikan ber­dasarkan akte pendirian Nomor 13 tertanggal 27 Oktober 2011 yang dibuat oleh dan di hadapan Fenty Iska SH SpN atas nama tergugat I, Yayasan Aceh Sepakat tidak sah dan batal demi hukum. Apalagi sampai menguasai aset-aset milik orang lain secara tidak sah, jelas bertentangan dengan hukum,” tandas Sopian.

(khairul)

Close Ads X
Close Ads X