Acuhkan Permendagri No.19 Tahun 2017 | Izin Gangguan (HO) Diduga Ajang Pungli

Medan – Meski Pemerintah Pusat telah me­ngeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.19 Tahun 2017 tentang Pen­cabutan Izin Gangguan (HO), untuk men­­dongkrak perekonomian industri daerah yang sedang lesu, ternyata tak digubris oleh Pemko Medan.

Buktinya hingga kini, Rabu (9/8), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPPT), tetap mengutip biaya retribusi bagi setiap pengurus.

Peraturan yang membawa angin segar bagi para pengusaha ini, ternyata belum bisa dinikmati oleh pengusaha maupun investor yang akan masuk di kota Medan.

Padahal, pada saat Permendagri No 19/2017 berlaku, maka segala regulasi sebelumnya perihal penetapan Izin Gangguan di Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku mulai penandatanganan aturan itu pada Rabu, 29 Maret 2017.

Saat ditanyai terkait hal tersebut oleh Jurnal Asia di ruang kerjanya, di jalan A.H Nasution Medan, Triharjo Wibisono selaku Kepala Seksi Pelayanan Izin Gangguan berdalih, bahwa Izin Gangguan tersebut ma­sih diberlakukan karena belum adanya pe­ngesahan dan instruksi dari DPR untuk hal tersebut.

“Kita sudah terima surat edarannya, tapi itukan surat edaran dari menteri yang belum disahkan dan disetujui oleh DPR. Selama belum ada persetujuan dan instruksi dari DPR terkait peraturan ter­sebut, ya kita tetap jalankan izin gang­guan ini. Tapi kalau DPR sudah ins­truksikan untuk mencabut, ya mana mungkin kita tetap jalankan izin gangguan tersebut”, ucap Triharjo.

Triharjo juga menambahkan, surat edaran yang belum disahkan oleh DPR ter­sebut sejauh ini hanya menjadi himbauan bagi pihaknya.

“Surat edaran itu ya kita anggap sebagai himbauan, karena belum ada instruksi dari DPR untuk mencabut izin tersebut. Sebaiknya tanyakan saja langsung ke DPR, kenapa sampai sekarang belum ada keputusan terkait Permendagri itu”, cetusnya.

Triharjo menyebutkan, surat edaran ini sudah diberikan kepada seluruh jajarannya di seluruh Indonesia. Tapi sejauh ini, baru sebagian kecil saja yang sudah menerapkannya, salah satunya Sumatera Barat dan salah satu wilayah di Sulawesi.

Ia juga menambahkan, bahwa se­benarnya sudah banyak juga ma­sya­rakat kota Medan yang mengetahui Permendagri tersebut, hal itu diketahui dari petugas lapangan yang mereka tugaskan di sejumlah kecamatan di kota Medan.

“Kita punya petugas lapangan, ada juga masyarakat yang bertanya tentang aturan izin gangguan yang katanya sudah dicabut itu. Tapi ya kita jawab saja, yang jelas izin bapak sudah masuk. Kenapa masih mengurus atau

perpanjang izin kalau sudah tahu peraturan izin itu sudah dicabut”, tutur Triharjo.

Dari hasil penelusuran Jurnal Asia, di lapangan membuktikan bahwa pengutipan biaya izin HO masih berlaku. salah satunya adalah di website http://www.bppt-pemkomedan.info/ di kolom informasi tentang besar pembayaran perijinan gangguan industri dengan nomor x7, bertotal Rp.747.952.

-Tak Ada Niat Baik
Pernyataan Triharjo Wibisono, dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Medan, mendapat reaksi keras dari Direktur Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera

Utara. Rurita Ningrum mengungkapkan Pemko Medan sepertinya tidak ada niat baik untuk menggairahkan dunia usaha, dengan tidak mencabut izin gangguan (HO).

‎”‎Sebenarnya kembali lagi pada niat baik Pemkot Medan untuk menggairahkan kewirausahaan dan menertibkan izin usaha,” ujar Rurita kepada wartawan, Rabu (9/8).‎

Ia mengatakan, jika Pemko Medan berkomitmen untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Hasil Daerah), hal itu dapat d‎iperoleh secara serius dari sumber-sumber lain. “Semisal izin mendirikan bangunan‎, pajak pendapatan dari penjualan, parkir, reklame, sudah dapat mendongkrak PAD,” ungkapnya.

‎”Sehingga retribusi dari izin gangguan dapat ditiadakan, dan (Pemko Medan) lebih fokus pada kajian AMDAL demi menuju Green city‎,” sambungnya.

Lebih jauh, dengan tidak patuhnya Pemko Medan terhadap Permendagri No 19 Tahun 2017 ‎untuk mencabut biaya izin gangguan (HO), juga berpotensi menjadi celah pungutan liar oleh oknum tertentu.‎

‎”Itulah indikasi selama Ini, adanya pungli terhadap izin gangguan. Apalagi selama ini model birokrasi kota Medan yang sangat berbelit-belit, maka tidak heran gedung Podomoro tetap dibangun walaupun tanpa AMDAL, karena proses AMDAL yang Tidak main-main, berbeda dengan HO (izin gangguan) yang dengan mudah dapat diakses,” pungkasnya.

Sedangkan di sisi lain, sejumlah pengusaha di Sumatera Utara (Sumut), mengakui hal tersebut. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut Johan Brien mengatakan, terkait pencabutan aturan izin HO tersebut, pihaknya sudah mensosialisasikan kepada pengusaha di Sumut. Regulasi ini ditetapkan pada akhir Maret 2017 dan ketetapan itu mulai diberlakukan pada awal April 2017 ini.

“Kita sudah sosialisasikan pencabutan peraturan tersebut. Dan sampai sekarang belum ada pengaduan dari pengusaha terkait “pungli” dari pembuatan izin HO tersebut. Pencabutan izin ini lebih nyaman bagi pengusaha,” katanya kepada Jurnal Asia, Selasa (8/8).

Seorang pengusaha aksesoris mobil di Jalan Pancing Medan, B (inisial) mengatakan, terkait pengurusan izin HO, pengusaha tidak dipersulit dan belum bermasalah. Selain itu, dirinya juga tidak dikutip biaya untuk izin HO.

“Kalau untuk aturan pencabutan HO itu saya sudah tahu dari teman pengusaha lainnya. Dan tidak dikutip biaya,” tukasnya.

‎-Harus Taat Peraturan Pusat
Senada dengan Direktur Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Utara, Pengamat ekonomi Sumut Gunawan Benjamin mengatakan, terkait dengan masalah perizinan HO, sebaiknya pemerintah daerah khususnya Pemko Medan menjelaskan kenapa masih ada pungutan.

Karena pada dasarnya dengan berlakunya peraturan tersebut maka aturan terkait dengan HO sudah tidak berlaku lagi.

“Daerah seharusnya mentaati peraturan tersebut. Jangan ada lagi pungutan jika tidak ada lagi masalah perubahan usaha, kapasitasnya maupun masalah gangguannya. Tetapi kalau masih ada pungutan baiknya diklarifikasi. Jangan sampai menimbulkan kebingungan dunia usaha,” katanya.

Menurutnya, jika seandainya kebijakan ini dilakukan dengan mengabaikan keputusan pemerintah pusat, maka yang paling dirugikan adalah dunia usaha. Dunia usaha kita butuh kepastian khususnya terkait dengan masalah izin.

Dan jika ada kutipan yang tidak sesuai dengan ketetapan perundang-undangan yang paling baru dalam hal ini adalah Permendagri no 19/2017, kata dia, maka pengenaan biaya tersebut bisa dikatakan pungli.

Gunawan menambahkan, dalam banyak hal memang kerap kebijakan pemerintah ini tidak selalu sejalan dengan yang ada di daerah. Sehingga sebaiknya pemerintah pusat melakukan evaluasi terhadap semua kebijakan yang pernah dibuat termasuk paket kebijakan ekonomi yang pernah dibuat pemerintah sebelumnya.

“Peraturan ini kan belum sepenuhnya 100 persen berjalan. Karena saat ini memang yang dibutuhkan itu adalah akselerasi, salah satunya dari penyederhanaan perizinan itu sendiri,” tandasnya.

-Gugat ke Pengadilan
Sementara itu, para pelaku usaha bisa mengajukan gugatan ke pengadilan bila merasa dirugikan jika masih adanya kutipan mengenai izin gangguan (HL) oleh pemkab/pemko, yang berdasarkan Permendagri No.19 Tahun 2017 telah dicabut.

“Para pengusaha ini melalui asosiasi yang mewadahinya bisa melakukan gugatan ke pengadilan,” kata Wakil Ketua Komisi A DPRD Sumut Syamsul Qadar Marpaung menanggapi keluhan pengusaha tentang masih diberlakukannya izin HO di gedung dewan, Senin (7/8).

Menurutnya, tentunya Permendagri No19 Tahun 2017 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 27 Tahun 2009 mengenai Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Izin Gangguan di Daerah dikeluarkan pemerintah pusat untuk meningkatkan gairah dan iklim usaha di daerah.

Namun demikian, sebut Syamsul Marpaung, Pemerintah pusat juga tidak bisa seenaknya saja mencabut suatu peraturan tanpa adanya sosialisasi agar pemkab maupun pemko bisa mengimplentasikan aturan tersebut.

“Apalagi, ini masalah retribusi yang menyangkut pemasukan daerah bersangkutan. Sebab, pungutan ataupun retribusi yang dilakukan pemkab maupun pemko itu juga berdasarkan peraturan daerah (perda) untuk mendapatkan penghasilan asli daerah (PAD) mereka.” sebut politisi PKS ini.

Disinggung apakah kutipan atau retribusi yang tetap diberlakukan pemkab maupun pemko itu merupakan pungutan liar, Syamsul mengatakan, kutipan baru dikatakan pungutan liar (pungli) jika pemerintah pusat sudah melakukan sosialisasi kepada pemkab maupun pemkot tentang penghapusan peraturan mengenai izin gangguan (HO) tersebut.

“Jika Permendagri 19/2017 tentang tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 27 Tahun 2009 mengenai Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah itu sudah disampaikan ke pemkab/pemko baru bisa dikatakan pungli. Bila ini yang terjadi laporkan saja kepada tim Saber Pungli,” katanya. (markus/netty/bowo/isvan)

Close Ads X
Close Ads X