Beijing – Militer Tiongkok akan melaksanakan pelatihan meskipun ada provokasi dan tekanan dari pihak asing, kata surat kabar Partai Komunis pada Senin, dengan menambahkan bahwa pelatihan dengan kapal induk satu-satunya milik mereka itu akan menjadi kerutinan.
Tiongkok menimbulkan keresahan pada beberapa negara di wilayah sekitarnya pada bulan lalu saat Liaoning, kapal induk mereka, bersama sejumlah kapal perang lain berlayar di sekitar Taiwan dan memasuki Samudera Pasifik, dengan Tiongkok menyebutnya pelatihan rutin.
Pada awal bulan ini, Taiwan mengerahkan pesawat jet tempur dan kapal angkatan laut saat Liaoning melewati perairan, yang memisahkan kedua wilayah itu.
Tiongkok mendapatkan peringatan dari orang yang ditunjuk sebagai menteri luar negeri kabinet Trump di AS, Rex Tillerson, bahwa Tiongkok sebaiknya tidak diberi akses terhadap pulau yang mereka bangun di wilayah sengketa Laut Tiongkok Selatan.
Surat kabar “Harian Rakyat” mengatakan bahwa komentar peringatan semacam itu tidak akan dapat menyurutkan niat Tiongkok untuk melakukan latihan militer.
“Provokasi, tekanan, keinginan dan pembesar-besaran yang demikian tidak akan mencegah dilakukannya latihan rutin kemiliteran Tiongkok,” kata surat kabar itu dalam tulisan.
“Campur tangan dan halangan dari negara lain di luar wilayah hanya akan merusak kepentingan bersama yang disepakati secara konsensus di wilayah ini dan di dunia,” tambahnya. “Demikian, latihan kelautan militer Tiongkok akan menjadi kegiatan rutin,” katanya.
Tiongkok telah menginvestasikan miliaran dolar dalam program modernisasi militer mereka, terutama untuk angkatan laut mereka.
Angkatan laut Tiongkok semakin sering melakukan latihan di perairan yang jauh dari wilayah mereka seolah ingin memperkuat kemampuan operasionalnya, dan mereka bergabung dengan patroli anti pembajakan di lepas pantai Somalia.
Pada 2015, lima kapal Tiongkok melaksanakan pelatihan di perairan internasional di Laut Bering di lepas pantai negara bagian AS, Alaska.
Tiongkok mengatakan mereka memerlukan pengembangan kemampuan angkatan laut mereka untuk melindungi jalur perdagangan yang diandalkan oleh perekonomian negara itu untuk mempertahankan kewajiban global dan warga negara mereka.
Pada 2015, kapal pengawal Tiongkok mengungsikan warga asing dari Yaman, pertama kali militer Tiongkok membantu negara lain mengungsikan warganya di tengah krisis internasional.
Ketegangan Masih Tinggi
Sementara itu, pengamat dari Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE), Ono Bintaro memprediksi, di bawah pimpinan Donald Trump, ketegangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) di Laut Tiongkok Selatan masih akan tinggi. Dia bahkan memprediksi, ketegangan itu akan meningkat.
“Saat ini Amerika ingin mundur (sebagai pimpinan dunia) dan Tiongkok mau maju. Tapi rasanya juga tidak seperti itu, Amerika ingin tetap menjadi pemimpin dunia, tapi tidak mau mengeluarkan banyak uang. Tiongkok banyak uang, tapi tidak mau mengambil posisi pimpinan dunia, mengingat tanggung jawab yang besar,” kata Ono pada Sabtu (21/1).
“Apakah akan ada konflik? mungkin tidak, tapi akan saling mengancam, akan ada ketegangan yang sangat tinggi di Laut Tiongkok Selatan. Makin lama mungkin akan ada eskalasi yang meningkat, tapi tidak akan terjadi apa-apa, karena untuk perang mereka juga harus minta izin pada masing-masing kongres,” sambungnya.
Sementara itu, ketika disinggung mengenai bagaiama dampaknya, dan apa yang harus dilakukan Indonesia. Dia mengatakan untuk dampak, Indonesia masih harus melihat bagaimana hal ini akan berlangsung. Namun, dia menyebut Indonesia harus mempersiapkan diri dengan memperkuat kekuatan di sekitar Laut Tiongkok Selatan.
“Pemerintah mau tidak mau harus mengerahkan lebih banyak armada, kita harus bersiap-siap,” tukasnya.
Hubungan AS dan Tiongkok sendiri dalam beberapa pekan terakhir ini memang sedikit menegang. Ini dikarenakan sikap acuh Trump terhadap kebijakan satu Tiongkok, yang ditujukan dengan melakukan pembicaraan dengan Presiden Taiwan, tidak lama setelah dia dipastikan menang dalam pemilu AS akhir tahun lalu. (ant)